Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

ADAB dalam FIQIH (F-003)


الآداب في الفقه

📌 Mempelajari fiqih akan sering menemukan perbedaan pendapat para ulama. Karenanya seorang muslim/ah perlu mengetahui dan mempraktekkan adab di dalam fiqih sebelum mempelajari masalah fiqih itu sendiri.

📌 Arti Adab

✅  Dalam Al-Mu’jam Al-Wasith disebutkan:

أَدُبَ فُلَانٌ يَأْدُبُ أَدَبًا: رَاضَ نَفْسَهُ عَلَى الْمَحَاسِنِ.
وَالأَدَبُ: جُمْلَةُ مَا يَنْبَغِي لِذِي الصِّنَاعَةِ أَوِ الْفَنِّ أَنْ يَتَمَسَّكَ بِهِ.

Fulan dikatakan beradab jika ia melatih jiwanya untuk berada di atas kebaikan-kebaikan.
Adab adalah sejumlah hal yang semestinya dipegang teguh oleh pemilik suatu disiplin ilmu atau keahlian.

✅  Diriwayatkan bahwa Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu berkata:

"تَأَدَّبُوا ثُمَّ تَعَلَّمُوا"

“Belajarlah adab, kemudian baru belajar ilmu.” (Al-Adab Asy-Syar’iyah wa Al-Minah Al-Mar’iyah, Ibnu Muflih).

✅  Berkata Abdullah bin Al-Mubarak rahimahullah:

"طَلَبْتُ الأَدَبَ ثَلَاثِينَ سَنَةً، وَطَلَبْتُ العِلْمَ عِشْرِينَ سَنَةً، وَكَانُوا يَطْلُبُونَ الأَدَبَ قَبْلَ العِلْمِ."

Aku belajar adab tiga puluh tahun, dan belajar ilmu dua puluh tahun. Dan mereka (para ulama) adalah orang-orang yang mempelajari adab sebelum ilmu.” (Ghayah An-Nihayah fi Thabaqat Al-Qurra, Ibnu Al-Jazri).

✅  Beliau juga berkata:

" كَادَ الأَدَبُ يَكُونُ ثُلُثَيِ العِلْمِ" 

“Adab itu hampir menjadi dua pertiga ilmu.” (Shifah Ash-Shafwah, Ibnu Al-Jauzi)

✅  Berkata Makhladah bin Al-Husain kepada Abdullah bin Al-Mubarak rahimahumallah:

"نَحْنُ إلَى كَثِيرٍ مِنْ الْأَدَبِ أَحْوَجُ مِنَّا إلَى كَثِيرٍ مِنْ الْحَدِيثِ"

“Kita lebih memerlukan banyak adab dari pada banyak hadits.” (Al-Adab Asy-Syar’iyah wa Al-Minah Al-Mar’iyah, Ibnu Muflih).

✅  Karena begitu banyaknya adab, dalam materi ini yang akan dibahas hanyalah adab yang berkaitan langsung dengan proses belajar fiqih.

📌 Adab dalam fiqih pada materi ini diambil dari Risalah At-Ta’alim karya Hasan Al-Banna rahimahullahu ta’ala, tepatnya pada prinsip ke-7 dan ke-8 dari 20 prinsip dalam memahami ajaran Islam yang beliau sebutkan.

Beliau menyatakan:

📌 ولِكُلِّ مُسْلِمٍ لَمْ يَبْلُغْ دَرَجَةَ النَّظَرِ فِيْ أَدِلَّةِ اْلأَحْكَامٍ الْفَرْعِيَّةِ :
📌 Setiap muslim yang belum mencapai kemampuan telaah langsung terhadap dalil-dalil hukum far’i’:

1. أنْ يَتَّبِعَ إِمَامًا مِنْ أَئِمَّةِ الدِّيْنِ
hendaklah ia ittiba’ (mengikuti) salah satu imam (pemimpin agama).

2. ويَحْسُنُ بِهِ مَعَ هَذَا اْلاِتِّبَاعِ أَنْ يَجْتَهِدَ مَا اسْتَطَاعَ فِيْ تَعَرُّفِ أَدِلَّتِهِ.
Lebih baik lagi kalau sikap ittiba’ tersebut diiringi upaya mengerahkan kemampuan dalam memahami dalil-dalil yang dipergunakan oleh imamnya.

3. وأَنْ يَتَقَبَّلَ كُلَّ إِرْشَادٍ مَصْحُوْبٍ بِالدَّلِيْلِ مَتَى صَحَّ عِنْدَهُ صَلاَحُ مَنْ أَرْشَدَهُ وَكِفَايِتُهُ.
dan hendaklah ia mau menerima setiap arahan yang disertai dalil, bila ia percaya pada keshalihan dan kapasitas orang yang memberi arahan tersebut.

4. وأَنْ يَسْتَكْمِلَ نَقْصَهُ الْعِلْمِيَّ إِنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ حَتَّى يَبْلُغَ دَرَجَةَ النَّظَرِ.
Bila ia termasuk ahli ilmu, maka hendaklah selalu berusaha menyempurnakan kekurangannya dalam keilmuan, sehingga dapat mencapai derajat mampu menelaah langsung.

5. والْخِلاَفُ الْفِقْهِيُّ فِي الْفُرُوْعِ لاَ يَكُوْنُ سَبَبًا لِلتَّفَرُّقِ فِي الدِّيْنِ وَلاَ يُؤَدِّيْ إِلَى خُصُوْمَةٍ أَوْ بَغْضَاءَ. وَلِكُلِّ مُجْتَهِدٍ أَجْرُهُ.
Perbedaan pendapat fiqih dalam masalah-masalah furu’ (cabang), hendaklah tidak menjadi faktor perpecahan dalam agama, tidak menyebabkan permusuhan, dan tidak juga kebencian. Setiap mujtahid akan mendapatkan pahala masing-masing.

6. ولاَ مَانِعَ مِنَ التَّحْقيْقِ الْعِلْمِيِّ النَّزِيْهِ فِيْ مَسَائِلِ الْخِلاَفِ فِيْ ظِلِّ الْحُبِّ فِي اللهِ وَالتَّعَاوُنِ عَلَى الْوُصُوْلِ إِلَى الْحَقِيْقَةِ. مِنْ غَيْرِ أَنْ يَجُرَّ ذَلِكَ إِلَى الْمُرَاءِ الْمَذْمُوْمِ وَالتَّعَصُّبِ»
Tidak ada larangan melakukan studi ilmiah yang jujur dalam persoalan-persoalan khilafiyah (masalah-masalah fiqih yang masih diperselisihkan oleh para ulama), dalam suasana saling mencintai karena Allah dan tolong-menolong untuk mencapai kebenaran yang sebenarnya. Studi tersebut tidak boleh menyeret pada debat yang tercela dan fanatik buta.

Adab-adab tersebut إن شاء الله akan dibahas dengan mengetengahkan dalil dari Al-Quran dan Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beserta penjelasan para ulama.

1. Adab ke-1:

أنْ يَتَّبِعَ إِمَامًا مِنْ أَئِمَّةِ الدِّيْنِ
Hendaklah ia ittiba’ (mengikuti) salah satu imam (pemimpin agama). 

Ittiba’ imam madzhab atau ulama bagi yang belum mencapai kemampuan telaah langsung terhadap dalil, dan juga tidak melarang orang lain melakukannya.

📌 Yang dimaksud dengan ittiba’ ulama adalah bertanya kepada ulama tentang hukum Allah dalam hal-hal yang tidak ia ketahui lalu mengikuti arahan mereka, sebagaimana firman-Nya:

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui. (QS. An-Nahl: 43).

📌 Jadi jawaban yang diikuti oleh orang awam atas pertanyaannya adalah jawaban yang memiliki dalil, bukan mengikuti hawa nafsu, meskipun ia tidak tahu dalil tersebut. Oleh karena itu, untuk menghindari atau memperkecil kemungkinan buruk tersebut, pihak yang diikuti haruslah seorang imam atau ulama lurus yang memahami syariat Islam, bukan yang lain. 

Dalam hal ini Al-Imam Asy-Syathibi rahimahullah berkata:

وَمَعْلُومٌ أَنَّهُ لَا يُقْتَدَى بِهِ إِلَّا مِنْ حَيْثُ هُوَ عَالِمٌ بِالْعِلْمِ الْحَاكِمِ. وَالدَّلِيلُ عَلَى ذَلِكَ أَنَّهُ لَوْ عَلِمَ أَوْ غَلَبَ عَلَى ظَنِّهِ أَنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِ ذَلِكَ الْعِلْمِ لَمْ يَحِلَّ لَهُ اتِّبَاعُهُ وَلَا الِانْقِيَادُ لِحُكْمِهِ. بَلْ لَا يَصِحُّ أَنْ يَخْطُرَ بِخَاطِر ِ الْعَامِّيِّ وَلَا غَيْرِهِ تَقْلِيدُ الْغَيْرِ فِي أَمْرٍ مَعَ عِلْمِهِ بِأَنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِ ذَلِكَ الْأَمْرِ. كَمَا أَنَّهُ لَا يُمْكِنُ أَنْ يُسَلِّمَ الْمَرِيضُ نَفْسَهُ إِلَى أَحَدٍ يَعْلَمُ أَنَّهُ لَيْسَ بِطَبِيبٍ إِلَّا أَنْ يَكُونَ فَاقِدَ الْعَقْلِ.
Dan sudah maklum bahwa tidak boleh diikuti kecuali ulama yang mengerti ilmu yang mengantarkan pada kesimpulan hukum. Jika orang awam (yang bertanya) telah tahu atau menduga kuat bahwa yang hendak ditanya bukan ahlinya maka tidak halal ia mengikutinya dan menaati hukum yang disampaikannya. Bahkan tidak boleh seorang awam hatta sekadar lintasan pikiran mengikuti orang lain padahal ia tahu bahwa orang tersebut bukan ahlinya, seperti orang yang sakit tidak mungkin ia menyerahkan dirinya kepada seseorang yang ia tahu bukan dokter, kecuali jika ia kehilangan akal. (Al-I’tisham, 2/859).

📌 Banyak ulama menggunakan istilah taqlid untuk perbuatan orang awam mengikuti arahan ulama. (Masalah taqlid ini akan dibahas tersendiri pada bidang studi ushul fiqih إن شاء الله).

✅  Berkata Ibnu Abdil Bar rahimahullah:

أَنَّ الْعَامَّةَ عَلَيْهَا تَقْلِيدُ عُلَمَائِهَا وَأَنَّهُمُ الْمُرَادُونَ بِقَوْلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ {فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ} [النحل: 43]
Bahwa orang awam hendaklah taqlid kepada ulama mereka, bahwa merekalah yang dimaksud dengan firman Allah azza wajalla (yang artinya): “maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (Jami’ Bayan Al-‘Ilm wa Fadlih, 2/988).

✅  Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :

كُلُّ مَنْ لَمْ يَبْلُغْ دَرَجَةَ الْمُفْتِي فَهُوَ فِيمَا يُسْأَلُ عَنْهُ مِنْ الْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ مُسْتَفْتٍ مُقَلِّدٌ مَنْ يُفْتِيهِ
Semua orang yang belum sampai tingkat mufti (pemberi fatwa hukum syar'i), maka ia adalah mustafti (orang yang meminta fatwa) dan muqallid (orang yang taqlid) kepada muftinya. (Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab, 1/54).

✅  Al-Imam Asy-Syathibi rahimahullah berkata

فَتَاوَى الْمُجْتَهِدِينَ بِالنِّسْبَةِ إِلَى العَوَامِّ كَالأَدِلَّةِ الشَّرْعِيَّةِ بِالنِّسْبَةِ إِلَى الْمُجْتَهِدِينَ. وَالدَّلِيلُ عَلَيْهِ أَنَّ وُجُودَ الأَدِلَّةِ بِالنِّسْبَةِ إِلَى الْمُقَلِّدِينَ وَعَدَمَهَا سَوَاءٌ؛ إِذْ كَانُوا لَا يَسْتَفِيدُونَ مِنْهَا شَيْئًا؛ فَلَيْسَ النَّظَرُ فِي الأَدِلَّةِ وَالاِسْتِنْبَاطِ مِنْ شَأْنِهِمْ، وَلَا يَجُوزُ ذَلِكَ لَهُمْ أَلْبَتَّة وَقَدْ قَالَ تَعَالَى: {فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ} [النحل: 43]. 
Fatwa ulama mujtahid bagi orang awam seperti dalil syar’i bagi mujtahid. Argumentasinya adalah bahwa keberadaan dalil bagi para pelaku taqlid sama dengan ketiadaan dalil, karena mereka tidak dapat mengambil manfaat darinya. Telaah dalil secara langsung dan penyimpulan hukum bukan urusan mereka dan tidak boleh mereka melakukan hal itu, dan Allah telah berfirman (yang artinya): “maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” An-Nahl: 43. (Al-Muwafaqat, 5/337).

✅  Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:

وَتَقْلِيدُ العَاجِزِ عَنِ الاِسْتِدْلَالِ لِلْعَالِمِ يَجُوزُ عِنْدَ الجُمْهُورِ
Dan taqlid seorang yang tak mampu menelaah dalil kepada seorang ulama adalah boleh menurut mayoritas ulama. (Majmu’ Al-Fatawa, 19/262).

✅  Ibnu An-Najjar Al-Hanbali berkata:

وَلَهُ أَيْ: لِلْعَامِّيِّ اسْتِفْتَاءُ مَنْ عَرَفَهُ عَالِمًا عَدْلاً، وَلَوْ كَانَ الَّذِي عَرَفَهُ بِالْعِلْمِ وَالْعَدَالَةِ عَبْدًا، وَأُنْثَى، وَأَخْرَسَ وَتُعْلَمُ فُتْيَاهُ بِإِشَارَةٍ مَفْهُومَةٍ وَكِتَابَةٍ؛ لأَنَّ الْمَقْصُودَ مِنْ الاسْتِفْتَاءِ: سُؤَالُ الْعَالِمِ الْعَدْلِ.
Dan menjadi hak orang awam untuk meminta fatwa kepada seseorang yang ia ketahui sebagai ulama yang terpercaya, sama saja apakah yang ia kenal sebagai ulama yang terpercaya itu seorang budak, ulama perempuan, atau ulama yang bisu yang dapat diketahui fatwanya dengan isyarat atau tulisannya. Karena esensi dari meminta fatwa adalah bertanya kepada ulama terpercaya. (Syarh Al-Kaukab Al-Munir, 4/541).

📌 Menyimpulkan hukum dari teks-teks Al-Quran dan Hadits adalah pekerjaan yang memerlukan perangkat ilmu yang kompleks, mulai dari penguasaan bahasa Arab yang dalam untuk memahami maksud ayat atau hadits, juga pengetahuan terhadap semua ayat dan hadits yang menjelaskan suatu masalah agar kesimpulan hukumnya tepat, karena ayat Al-Quran dan Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saling menjelaskan satu sama lain. Belum lagi pengetahuan dalil lain seperti keberadaan atau ketiadaan ijma’ ulama dalam masalah yang sedang dibahas, atau apakah masalah ini memerlukan qiyas atau tidak dan perangkat ijtihad lainnya.
Melarang seorang muslim yang awam untuk mengikuti imam madzhab atau ulamanya adalah pembebanan kepadanya di luar batas kemampuannya.

📌 Meskipun demikian, seorang muslim diwajibkan untuk belajar sesuai kesanggupannya agar semakin hari pengetahuan dan kemampuannya semakin meningkat sesuai arahan adab yang kedua إن شاء الله.

📌 Inilah pendapat yang moderat yang menyayangi orang-orang lemah dalam kemampuan menelaah dalil sekaligus tidak menghapuskan hak orang-orang yang mempunyai kemampuan berijitihad untuk tidak mengikuti ijtihad ulama lainnya sebagaimana akan dijelaskan pada adab ke-4.

📌  والْجُمْهُورُ يُجِيزُونَ التَّمَذْهُبَ وَيَعُدُّونَهُ فَرْعاً عَنْ جَوَازِ التَّقْلِيدِ  وَحُجَّتُهُمْ عَلَى جَوَازِ التَّمَذْهُبِ: أَنَّهُ إِذَا جَازَ لِغَيْرِ الْمُجْتَهِدِ تَقْلِيدُ مَنْ شَاءَ مِنَ العُلَمَاءِ جَازَ لَهُ أَنْ يَخْتَارَ مِنْهُمْ وَاحِداً فَيُقَلِّدَهُ دُونَ غَيْرِهِ، لِثِقَتِهِ فِي عِلْمِهِ وَعَدَالَتِهِ وَوَرَعِهِ. 

📌  Jumhur ulama membolehkan seseorang bermadzhab fiqih dengan madzhab tertentu dan menganggapnya sebagai cabang atau konsekuensi dari dibolehkannya taqlid dalam masalah fiqih. Alasannya adalah: Jika seorang yang awam boleh taqlid kepada siapa saja diantara para ulama yang terpercaya, maka tentu saja ia boleh memilih salah satu diantara mereka saja lalu ia mengikutinya, bukan yang lain, karena ia tsiqah (percaya) pada ilmu, kejujuran, dan sikap wara’nya. (Ushul Al-Fiqh Alladzi La Yasa’ Al-Faqih Jahluhu, ‘Iyadh bin Nami As-Sulami, hlm 478).

2. Adab Ke-2:

وَيَحْسُنُ بِهِ مَعَ هَذَا اْلاِتِّبَاعِ أَنْ يَجْتَهِدَ مَا اسْتَطَاعَ فِيْ تَعَرُّفِ أَدِلَّتِهِ.
Lebih baik lagi kalau sikap ittiba’ tersebut diiringi dengan upaya mengerahkan kemampuan dalam memahami dalil-dalil yang dipergunakan oleh imamnya.

📌  Menjadi orang awam yang buta sama sekali tentang dalil mengapa ia melakukan sesuatu, atau mengapa ia meninggalkan sesuatu, adalah kondisi tidak ideal bagi seorang muslim/ah. Karenanya ia harus berusaha meningkatkan kualitas dirinya dari tidak tahu dalil imamnya sama sekali menjadi sedikit demi sedikit tahu dalilnya. 

📌  Mungkin, inilah alasan Syaikh Hasan Al-Banna rahimahullah dan beberapa ulama lain lebih suka menggunakan istilah الاتباع (ittiba’) dari pada التقليد (taqlid), dimana ittiba’ lebih memberi kesan mengikuti imam dengan berusaha mengetahui dalilnya, meskipun seorang muttabi’ (yang melakukan ittiba’) ini tetap tidak keluar dari wilayah taqlid selama ia belum sampai pada wilayah ijtihad.

✅  Pensyarah Risalah Ta’alim dalam Kitab Nazharat fi Risalah At-Ta’alim menyatakan:

فَحَثَّ رَحِمَهُ اللهُ عَلَى اْلاِجْتِهَادِ بِقَدْرِ اْلاِسْتِطَاعَةِ فِي مَعْرِفَةِ الدَّلِيْلِ، لِيَكُوْنَ اْلاِتِّبَاعُ أَثْلَجَ لِلصَّدْرِ، وَأَهْدَأَ لِلنَّفْسِ، وَأَكْثَرَ نُوْرًا وَبَصِيْرَةً.
Ia (Hasan Al-Banna) –rahimahullah- menganjurkan bersungguh-sungguh sebatas kemampuan untuk mengetahui dalil, agar sikap ittiba’ (mengikuti) tersebut dapat lebih menyejukkan hati, menentramkan jiwa dan lebih mendapatkan kejelasan serta kepahaman. (Nazharat fi Risalah At-Ta’alim, Muhammad Abdullah Al-Khathib & Muhammad Abdul Halim Hamid, hlm 89).

3. Adab ke-3:

وَأَنْ يَتَقَبَّلَ كُلَّ إِرْشَادٍ مَصْحُوْبٍ بِالدَّلِيْلِ مَتَى صَحَّ عِنْدَهُ صَلاَحُ مَنْ أَرْشَدَهُ وَكِفَايِتُهُ.
Dan hendaklah ia mau menerima setiap arahan yang disertai dalil, bila ia percaya pada keshalihan dan kapasitas orang yang memberi arahan tersebut.

📌 Pada adab yang pertama, telah dijelaskan bahwa seorang muslim/ah diperbolehkan mengikuti seorang imam atau seorang ‘alim atau dengan kata lain mengikuti madzhab imam atau madzhab orang ‘alim yang diikutinya, meskipun ia tidak mengetahui dalilnya.

📌 Pada adab yang kedua, ia diminta berusaha memahami dalil-dalil imamnya, agar ia mempunyai pemahaman yang mendalam bahwa pada hakikatnya yang wajib ia ikuti adalah dalil. Adapun imam atau ulama yang dia ikuti hanyalah pemandu baginya untuk memahami dalil yang mengantarkannya pada pengetahuan tentang hukum fiqih. 
Diharapkan pula dengan mengkaji dalil, sedikit demi sedikit ia mengetahui sebab-sebab perbedaan pendapat para ulama madzhab, dan bagaimana mereka tetap saling menghormati satu sama lain. Dengan demikian ia tidak terjebak pada sikap ashabiyah (fanatisme) terhadap pribadi ulama atau madzhab fiqih yang dianutnya dengan memusuhi orang yang berbeda pendapat dengannya. Tentang hal ini terdapat atsar yang menyatakan:

«لَيْسَ أَحَدٌ إِلَّا يُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِ وَيُتْرَكُ إِلَّا النَّبِيّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ»
Tidak ada seorangpun kecuali pasti ucapannya dapat diambil dan ditinggalkan, kecuali Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. 

(Hilyah Al-Aulia, 3/300. Abu Nuaim meriwayatkannya dengan sanad yang shahih sampai kepada Mujahid, dan Mujahid menyandarkan ucapan ini kepada gurunya, Abdullah bin ‘Abbas, dan para sahabat yang lain radhiyallahu ‘anhum. Ucapan ini juga masyhur dari Imam Malik bin Anas rahimahullah).

📌 Bertitik tolak dari hal di atas, maka adab ketiga ini diharapkan dapat ia laksanakan, yakni menerima arahan yang disertai dalil yang lebih kuat dari orang yang ia percayai keshalihan dan kapasitasnya sebagai seorang ‘alim. Tidak mengapa jika dengan mengikuti arahan yang disertai dalil ini ia menjadi “berpindah madzhab” karena “perpindahannya” demi mengikuti dalil dan bukan ingin mencari-cari rukhshah (keringanan), sebagaimana yang dikemukakan oleh Al-Imam An-Nawawi rahimahullah:

وَالَّذِي يَقْتَضِيهِ الدَّلِيلُ أَنَّهُ لَا يَلْزَمُهُ التَّمَذْهُبُ بِمَذْهَبٍ، بَلْ يَسْتَفْتِي مَنْ شَاءَ، أَوْ مَنِ اتَّفَقَ، لَكِنْ مِنْ غَيْرِ تَلَقُّطٍ لِلرُّخَصِ. 
Yang menjadi arahan dalil adalah sesungguhnya seseorang tidak wajib (tetap) dengan satu madzhab, tetapi ia boleh meminta fatwa dari siapa saja yang ia kehendaki, atau siapa yang sesuai, dengan syarat tidak mencari-cari rukhshah. (Raudhah At-Thalibin, 11/111).

📌 Menurut hemat kami, adab ketiga ini secara tersurat memang ditujukan kepada orang yang ittiba’ kepada seorang imam atau ulama, namun secara tersirat juga ditujukan kepada pihak yang ingin memberikan irsyad atau arahan kepadanya.

📌 Artinya pihak yang ingin memberikan arahan hendaklah:

✅  Menyadari kapasitas dirinya, apakah ia telah layak memberi arahan dalam masalah hukum fiqih dengan mengetengahkan dalil secara bijaksana; terutama jika arahan dalil yang akan ia sampaikan akan mengubah kebiasaan seseorang. Jika ia merasa belum mampu mengarahkan dengan bijaksana, apalagi ia mengetahui bahwa kebiasaan yang dilakukan oleh saudaranya ini tidak keluar dari pendapat ulama madzhab yang diakui, maka sikap tahu diri adalah sebuah kebijaksanaan juga.

✅  Jika ia merasa dirinya sudah memiliki kapasitas itu, hendaknya ia tidak memaksakan arahannya harus diterima bila ternyata “keshalihan” dan “kapasitas”nya belum mendapat kepercayaan dari orang yang diberikan arahan. Sebab seorang yang tidak percaya kepada orang lain yang mencoba mengarahkannya, akan menganggap bahwa arahannya tidak lebih baik dari arahan ulama yang selama ini diikutinya. Jika ia memaksakan & bersikap negatif, maka yang akan terjadi adalah kerenggangan hubungan bahkan bisa sampai ke tingkat permusuhan yang merusak ukhuwah sesama muslim.

✅  Hal ini menunjukkan bahwa siapapun yang ingin didengar oleh masyarakat, mesti memiliki hubungan yang baik dengan masyarakat, hidup bersama mereka, mengetahui problematika yang mereka hadapi, dan turut membantu menyelesaikannya sebagaimana yang dilakukan oleh para ulama dan para imam terdahulu yang telah menjadi pemimpin ummat.

4. Adab ke-4

وَأَنْ يَسْتَكْمِلَ نَقْصَهُ الْعِلْمِيَّ إِنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ حَتَّى يَبْلُغَ دَرَجَةَ النَّظَرِ.

Bila ia termasuk ahli ilmu, maka hendaklah selalu berusaha menyempurnakan kekurangannya dalam keilmuan, sehingga dapat mencapai derajat mampu menelaah langsung.

📌 Adab keempat ini ditujukan kepada ahli ilmu syariah (ulama) yang belum mencapai derajat ijtihad untuk terus menerus menyempurnakan ilmunya agar mereka mampu memenuhi syarat-syarat ijtihad, untuk dapat menelaah langsung dalil-dalil syar’i dan menerapkannya pada masalah-masalah baru yang muncul di tengah masyarakat sehingga dapat diketahui hukumnya. Hal ini tentunya bukan pekerjaan mudah, meskipun bukan sesuatu yang mustahil, terutama bila ijtihad dilakukan secara kolektif dengan menggabungkan beberapa ulama dengan berbagai keahlian yang saling melengkapi.

📌 Paling tidak, adab keempat ini menganjurkan para ulama agar menambah semangat dan usaha mereka  untuk menelaah, mengkaji dan meneliti dalil-dalil yang beragam, serta menyaring, membandingkan, dan memilih pendapat yang lebih kuat. Dengan demikian, kemampuan dan potensi dapat dioptimalkan, terus berkembang dan tidak terbuang percuma. 

📌 Biasanya, para imam yang mulia melarang orang yang dipandang memiliki kemampuan memahami dan menelaah, untuk taqlid kepada mereka. Bahkan para imam melatih dan memotivasi mereka untuk menganalisa berbagai hukum dari dalil-dalilnya dan memilih pendapat yang lebih kuat. (Nazharat Fi Risalah At-Ta’alim, hlm 90).

5. Adab Ke-5

وَالْخِلاَفُ الْفِقْهِيُّ فِي الْفُرُوْعِ لاَ يَكُوْنُ سَبَبًا لِلتَّفَرُّقِ فِي الدِّيْنِ وَلاَ يُؤَدِّيْ إِلَى خُصُوْمَةٍ أَوْ بَغْضَاءَ. وَلِكُلِّ مُجْتَهِدٍ أَجْرُهُ.

Perbedaan pendapat fiqih dalam masalah-masalah furu’ (cabang), hendaklah tidak menjadi faktor perpecahan dalam agama, tidak menyebabkan permusuhan, dan tidak juga kebencian. Setiap mujtahid akan mendapatkan pahala masing-masing.

📌 Ikhtilaf (perbedaan) yang dimaksudkan di sini adalah perbedaan pendapat dalam masalah yang diperbolehkan ijtihad di dalamnya. Bukan perbedaan dalam masalah prinsipil yang dalilnya tegas baik dari sisi validitas riwayatnya maupun kepastian maksudnya, di mana indikator kejelasan dalil ini terlihat dari kesepakatan para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah di dalamnya, karena dalam masalah prinsipil ini para ulama telah sepakat tidak boleh ada perbedaan pendapat di antara kaum muslimin, seperti keselamatan dunia dan akhirat hanya ada dalam Islam, kewajiban bersatu dan berukhuwwah sesama muslim, kewajiban shalat lima waktu, zakat, puasa Ramadhan dan haji sekali seumur hidup, dan yang semisalnya.

📌 Perbedaan Pendapat Jangan Dimaksudkan Sejak Awal (Jangan Asal Beda)

✅  Para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan para imam sesudah mereka radhiyallahu ‘anhum tidak pernah meniatkan perbedaan, tetapi yang mereka lakukan adalah berusaha menepati kebenaran dengan berijtihad dalam permasalahan yang memang diperbolehkan berijtihad dengan kapasitas yang mereka miliki, kemudian hasil ijtihad mereka ada yang melahirkan kesepakatan, meskipun lebih banyak perbedaannya.

✅  Dr. Abdul Karim Zaidan rahimahullah berkata:

"الاِئْتِلَافُ وَالاِتِّفَاقُ خَيْرٌ مِنَ الاِخْتِلَافِ قَطْعاً، حَتَّى فِي الْمَسَائِلِ الاِجْتِهَادِيَّةِ السَّائِغِ الاِخْتِلَافُ فِيهَا، فَلَا يَجُوزُ الحِرْصُ عَلَى الاِخْتِلَافِ، وَالرَّغْبَةُ فِيهِ، وَإِنْ كَانَ سَائِغاً؛ لِأَنَّ مَعْنَى ذَلِكَ جَوَازُ تَعَمُّدِهِ وَوُقُوعِهِ، وَمَعْنَى ذَلِكَ جَوَازُ مُخَالَفَةِ مُقْتَضَى الدَّلِيلِ الشَّرْعِيِّ؛ حَتَّى يَحْصُلَ الخِلَافُ، وَهَذَا بَاطِلٌ قَطْعاً، وَأَيْضاً فَإِنَّ مِنْ شُرُوطِ الاِخْتِلَافِ السَّائِغِ تَجْرِيدَ القَصْدِ لِلْوُصُولِ إِلَى الحَقِّ وَالصَّوَابِ، وَهَذَا لَا يَتَّفِقُ مَعَ الرَّغْبَةِ فِي وُقُوعِهِ.

Persatuan dan kesepakatan jelas lebih baik dari perbedaan termasuk dalam masalah ijtihadiyah yang diperbolehkan berbeda, jadi tidak boleh bersikeras atau bersemangat ingin berbeda, karena jika demikian berarti boleh menyengaja berbeda dan menyengaja perbedaaan terjadi, berarti membolehkan menentang arahan dalil syar’i sehingga terjadi perbedaan, hal ini jelas-jelas batil. Juga bahwa diantara syarat ikhtilaf yang boleh adalah memurnikan tujuan untuk hanya mencapai yang benar dan tepat, syarat ini tentu tidak sejalan dengan semangat ingin memunculkan perbedaan. (Al-Wajiz fi Ushul Al-Fiqh, Dr. Abdul Karim Zaidan, hlm 338).

✅  Jadi perbedaan pendapat mereka lahir dari proses ijtihad yang dibenarkan oleh syariat secara wajar, bukan meniatkan sejak awal untuk berbeda dengan yang lain. Karena itu, masing-masing mengakui dan menghargai ijtihad saudaranya. 

📌 Menghargai Pendapat yang Berbeda dalam Masalah Ijtihadiyah

✅  An-Nawawi rahimahullah berkata:

أَمَّا الْمُخْتَلَفُ فِيهِ فَلَا إِنْكَارَ فِيهِ 

Adapun permasalahan ikhtilaf (perbedaan pendapat dalam masalah ijtihadiyah), maka tidak ada pengingkaran di dalamnya. (Syarh An-Nawawi ‘ala Shahih Muslim, 2/23).

✅  Al-Imam Asy-Safi’i rahimahullah berkata:

وَقَدْ حَكَمَ الْحَاكِمَانِ فِي أَمْرٍ وَاحِدٍ بِرَدٍّ وَقَبُولٍ، وَهَذَا اخْتِلَافٌ وَلَكِنْ كُلٌّ قَدْ فَعَلَ مَا عَلَيْهِ 

Dua orang hakim telah memutuskan satu perkara dengan berbeda: menolak dan menerima. Dan ini adalah perbedaan, akan tetapi masing-masing telah melakukan apa yang seharusnya ia lakukan. (Ar-Risalah, Al-Imam Asy-Syafi’i, masalah No 1407, hlm 494).

✅  Al-Qurthubi rahimahullah berkata:

وَأَمَّا حُكْمُ مَسَائِلِ الاِجْتِهَادِ فَإِنَّ الاِخْتِلَافَ فِيهَا بِسَبَبِ اسْتِخْرَاجِ الفَرَائِضِ وَدَقَائِقِ مَعَانِي الشَّرْعِ، وَمَا زَالَ الصَّحَابَةُ يَخْتَلِفُونَ فِي أَحْكَامِ الْحَوَادِثِ وَهُمْ مَعَ ذَلِكَ مُتَآلِفُون

Adapun hukum permasalahan ijtihadiyah, maka ikhtilaf di dalamnya disebabkan oleh upaya menyimpulkan yang seharusnya dan detil-detil maksud syariat. Dan para sahabat Rasulullah berbeda pendapat dalam hukum permasalahan yang baru muncul, meskipun demikian mereka tetap bersatu. (Al-Jami’ li Ahkam Al-Quran, Al-Qurthubi, 4/194).

✅  Al-Imam Abu Hanifah rahimahullah berkata:

اَلَّلهُمَّ مَنْ ضَاقَ بِنَا صَدْرُهُ فَإِنَّ قُلُوبَنَا قَدِ اتَّسَعَتْ لَهُ
وَيَقُولُ: مَنْ جَاءَ بِأَحْسَن مِنْ قَوْلِنَا فَهُوَ أَوْلَى بِالصَّوَابِ

“Ya Allah siapapun yang sempit dadanya karena kami, maka sesungguhnya hati kami telah lapang untuknya.” 
Beliau juga berkata: Siapa yang datang dengan sesuatu yang lebih baik dari ucapan kami, maka ia lebih utama mencapai yang benar. (Tarikh Baghdad, Al-Khathib Al-Baghdadi, 13/352).

✅  Berkata Ibnu Taimiyah rahimahullah:

.. وَالْقُنُوتُ فِي الْفَجْرِ أَوْ تَرْكُهُ، وَالْجَهْرُ بِالتَّسْمِيَةِ أَوْ الْمُخَافَتَةُ بِهَا، أَوْ تَرْكُ قِرَاءَتِهَا، وَنَحْوُ ذَلِكَ، فَهَذِهِ مَسَائِلُ الِاجْتِهَادِ الَّتِي تَنَازَعَ فِيهَا السَّلَفُ وَالْأَئِمَّةُ، فَكُلٌّ مِنْهُمْ أَقَرَّ الْآخَرَ عَلَى اجْتِهَادِهِ مَنْ كَانَ فِيهَا أَصَابَ الْحَقَّ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَمَنْ كَانَ قَدْ اجْتَهَدَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ، وَخَطَؤُهُ مَغْفُورٌ لَهُ، فَمَنْ تَرَجَّحَ عِنْدَهُ تَقْلِيدُ الشَّافِعِيِّ لَمْ يُنْكِرْ عَلَى مَنْ تَرَجَّحَ عِنْدَهُ تَقْلِيدُ مَالِكٍ، وَمَنْ تَرَجَّحَ عِنْدَهُ تَقْلِيدُ أَحْمَدَ لَمْ يُنْكِرْ عَلَى مَنْ تَرَجَّحَ عِنْدَهُ تَقْلِيدُ الشَّافِعِيِّ، وَنَحْوُ ذَلِكَ.

... dan qunut subuh atau tidak, mengeraskan bacaan basmalah atau tidak, atau tidak membacanya, dan yang semisalnya, maka ini adalah permasalahan ijtihad dimana salaf shalih dan para imam berbeda pendapat, masing-masing mengakui ijtihad yang lain, siapa yang tepat menemui kebenaran maka baginya dua pahala, dan siapa yang telah berijtihad lalu keliru maka baginya satu pahala, dan kesalahannya diampuni. Dan siapa yang memandang taqlid kepada Imam Syafi’i lebih kuat (dalilnya), tidak mengingkari orang yang menganggap bahwa taqlid kepada Imam Malik lebih kuat, siapa yang memandang taqilid kepada Imam Ahmad lebih kuat tidak mengingkari yang taqlid kepada Imam Syafi’i, dan seterusnya demikian. (Majmu’ Al-Fatawa, 20/292).

📌 Kapan Perbedaan Pendapat Adalah Rahmat dan Keluasan?

✅  Berkata Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakr rahimahullah:

لَقَدْ نَفَعَ اللَّهُ تَعَالَى بِاخْتِلَافِ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي أَعْمَالِهِمْ، لَا يَعْمَلُ الْعَالِمُ بِعَمَلِ رَجُلٍ مِنْهُمْ إِلَّا رَأَى أَنَّهُ فِي سَعَةٍ وَرَأَى أَنَّهُ خَيْرٌ مِنْهُ قَدْ عَمِلَهُ

Sungguh Allah telah memberi manfaat dengan ikhtilaf para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam amal mereka. Seorang alim yang beramal dengan amal salah seorang diantara mereka akan melihat bahwa ia berada dalam keluasan, dan melihat bahwa orang yang lebih baik darinya telah melakukannya. (Jami’ Bayan Al-‘Ilm wa Fadhlih, Ibnu Abdil Bar, 2/900).

✅  Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:

قَدْ يَكُونُ إِخْفَاؤُهَا خَيْرًا لَكُمْ لِتَجْتَهِدُوا فِي لَيَالِي العَشْرِ كُلِّهَا؛ فَإِنَّهُ قَدْ يَكُونُ إِخْفَاءُ بَعْضِ الأُمُورِ رَحْمَةً لِبَعْضِ النَّاسِ. وَالنِّزَاعُ فِي الأَحْكَامِ قَدْ يَكُونُ رَحْمَةً إِذَا لَمْ يُفْضِ إِلَى شَرٍّ عَظِيمٍ مِنْ خَفَاءِ الحُكْمِ؛ وَلِهَذَا صَنَّفَ رَجُلٌ كِتَابًا سَمَّاهُ "كِتَابَ الاِخْتِلَافِ" فَقَالَ أَحْمَدُ: سَمِّهِ "كِتَابَ السَّعَةِ" وَإِنَّ الْحَقَّ فِي نَفْسِ الأَمْرِ وَاحِدٌ وَقَدْ يَكُونُ مِنْ رَحْمَةِ اللهِ بِبَعْضِ النَّاسِ خَفَاؤُهُ لِمَا فِي ظُهُورِهِ مِنَ الشِّدَّةِ عَلَيْهِ وَيَكُونُ مِنْ بَابِ قَوْلِهِ تَعَالَى {لَا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ}

Boleh jadi, disembunyikannya waktu lailatul qadar lebih baik bagi anda, agar anda selalu bersungguh-sungguh di sepuluh malam semuanya. Disembunyikannya beberapa hal kadang menjadi rahmat bagi sebagian orang. Dan perselisihan pendapat dalam masalah hukum bisa jadi adalah rahmat jika tidak menimbulkan keburukan yang lebih besar dari ketidaktahuan terhadap hukum yang sebenarnya. Karena itu, ada seseorang yang menulis buku dengan nama “Kitab Ikhtilaf” maka Imam Ahmad berkata: “Berilah nama “Kitab Keluasan””. Dan sesungguhnya kebenaran pada saat yang sama adalah satu, dan mungkin saja di antara rahmat Allah kepada sebagian orang adalah ketidaktahuannya terhadap kebenaran tersebut, karena jika kebenaran dalam masalah tertentu itu jelas, mungkin hal itu menyebabkan kesukaran baginya, dan hal ini termasuk yang difirmankan oleh Allah ta’ala (QS. Al-Maidah: 101 - yang artinya): “janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu. (Majmu’ Al-Fatawa, Ibnu Taimiyah, 14/159).

📌 Inilah maksud ungkapan sebagaian ulama bahwa perbedaan itu rahmat atau keluasan, yaitu perbedaan dalam masalah ijtihadiyah, karena beberapa sebab, diantaranya:

✅  Seorang yang telah mencapai derajat mujtahid memperoleh keluasan untuk mengerahkan segala kemampuannya dalam meneliti dalil-dalil syar’i dan melakukan istinbath hukum dalam masalah-masalah ijtihadiyah.
 
✅  Kekeliruan hasil ijtihad diampuni oleh Allah ta’ala dan tetap mendapatkan satu pahala, sebagaimana disebutkan di dalam hadits:

إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَاب فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ 

Jika seorang hakim hendak memutuskan, lalu ia berijtihad kemudian tepat, maka baginya dua pahala. Dan jika memutuskan, ia berijtihad, kemudian salah, maka baginya satu pahala. (HR. Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud). 
 
✅  Bahwa mengikuti salah satu imam mujtahid bagi yang bukan mujtahid itu diperbolehkan dan tak boleh dimusuhi.

✅  Bahwa ijtihad yang berbeda dari para ulama yang mu’tabar (diakui kapasitasnya) dalam masalah-masalah yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan waktu, menjadi kebaikan bagi kaum muslimin di berbagai tempat dan waktu yang berbeda juga. Di mana seorang ulama dapat melakukan tarjih (memperkuat) pendapat seorang mujtahid yang paling sesuai dengan keadaan lingkungan dan zamannya.

6. Adab ke-6

وَلاَ مَانِعَ مِنَ التَّحْقيْقِ الْعِلْمِيِّ النَّزِيْهِ فِيْ مَسَائِلِ الْخِلاَفِ فِيْ ظِلِّ الْحُبِّ فِي اللهِ وَالتَّعَاوُنِ عَلَى الْوُصُوْلِ إِلَى الْحَقِيْقَةِ. مِنْ غَيْرِ أَنْ يَجُرَّ ذَلِكَ إِلَى الْمُرَاءِ الْمَذْمُوْمِ وَالتَّعَصُّبِ

Tidak ada larangan melakukan studi ilmiah yang jujur dalam persoalan-persoalan khilafiyah (masalah-masalah fiqih yang masih diperselisihkan oleh para ulama), dalam suasana saling mencintai karena Allah dan tolong-menolong untuk mencapai kebenaran yang sebenarnya. Studi tersebut tidak boleh menyeret pada debat yang tercela dan fanatik buta.

📌 Maksudnya adalah silakan melakukan diskusi untuk mencari pendapat yang benar atau mendekati kebenaran dalam masalah-masalah yang di dalamnya terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama, selama diskusi itu dilakukan dalam suasana saling mencintai karena Allah dan tolong-menolong untuk mencapai kebenaran yang sebenarnya, serta tidak boleh menyeret pada debat yang tercela dan fanatik buta. Jika dikhawatirkan diskusi akan menyeret pelakunya kepada debat kusir yang tercela atau permusuhan serta fanatisme, maka hal itu termasuk yang terlarang.

📌 Dasar dari adab ini adalah firman Allah ta’ala:

«وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ»

Dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang terbaik. (QS. An-Nahl: 125)

Ibnu Katsir menjelaskan:

أَيْ: مَنِ احْتَاجَ مِنْهُمْ إِلَى مُنَاظَرَةٍ وَجِدَالٍ، فَلْيَكُنْ بِالْوَجْهِ الْحَسَنِ بِرِفْقٍ وَلِينٍ وَحُسْنِ خِطَابٍ

Maksudnya: Siapa diantara mereka memerlukan diskusi dan perdebatan, maka hendaklah dengan cara yang baik, dengan kasih sayang dan kelembutan, serta bahasa ajakan yang baik.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/613).

Artinya debat adalah jalan terakhir setelah cara lain dalam penyampaian argumentasi tidak berhasil, dan mereka memerlukannya.

Ayat tersebut adalah arahan dalam berdakwah kepada orang-orang kafir dalam masalah yang sangat prinsipil. Tentu saja diskusi dengan sesama muslim dan dalam masalah ijtihadiyah lebih berhak lagi untuk dilakukan dengan cara yang terbaik.
 
📌 Juga berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu:

«مَا ضَلَّ قَوْمٌ بَعْدَ هُدًى كَانُوا عَلَيْهِ إِلَّا أُوتُوا الجَدَلَ»، ثُمَّ تَلَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذِهِ الآيَةَ:{مَا ضَرَبُوهُ لَكَ إِلَّا جَدَلًا بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُونَ}[الزخرف: 58] (رواه الترمذي)

Tidaklah suatu kaum tersesat setelah mereka berada di atas petunjuk kecuali karena mereka adalah para pendebat. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membaca ayat (QS. Az-Zukhruf: 58, yang artinya): “Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar.” (HR. At-Tirmidzi). 

📌 Juga hadits lain:

«أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِي رَبَضِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَإِنْ كَانَ مُحِقًّا وَبِبَيْتٍ فِي وَسَطِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْكَذِبَ وَإِنْ كَانَ مَازِحًا وَبِبَيْتٍ فِي أَعْلَى الْجَنَّةِ لِمَنْ حَسَّنَ خُلُقَهُ»  (رواه أبو داود)

Aku penjamin rumah (istana) di pinggir surga bagi yang meninggalkan debat kusir meskipun ia berada di pihak yang benar, rumah di tengah surga bagi yang meninggalkan dusta meskipun ia hanya bercanda, dan rumah di posisi atas surga bagi yang membaguskan akhlaknya. (HR. Abu Dawud).

📌 Para imam dan ulama salaf adalah orang-orang yang ikhlas mengikuti kebenaran, terbukti dari ucapan dan perilaku mereka yang siap menerima kebenaran meskipun berasal dari pihak yang berbeda pendapat dengannya. Dan sekalipun mereka “menang” dalam diskusi, mereka “menang” karena akhlak terpuji, dan tidak sedikitpun mereka bersikap ashabiyah (fanatik) terhadap pendapat mereka sendiri atau pendapat guru mereka.

✅  Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:

مَا نَاظَرْتُ أَحَدًا إِلَّا قُلْتُ اَللّهُمَّ أَجْرِ الْحَقَّ عَلَى قَلْبِهِ وَلِسَانِهِ، فَإِنْ كَانَ الحَقُّ مَعِي اتَّبَعَنِي وَإِنْ كَانَ الحَقُّ مَعَهُ اتَّبَعْتُهُ.

Aku tidak pernah berdiskusi dengan siapapun kecuali aku pasti berdoa: “Ya Allah, alirkan kebenaran di hati dan lisannya, jika kebenaran bersamaku ia mengikutiku, dan jika kebenaran bersamanya aku mengikutinya.” (Qawa’id Al-Ahkam, Al-‘Izz bin Abd As-Salam, 2/160).

✅  Ibnu Taimiyah rahimahullah menceritakan:

قَالَ أَبُو يُوسُفَ - رَحِمَهُ اللهُ وَهُوَ أَجَلُّ أَصْحَابِ أَبِي حَنِيفَةَ وَأَوَّلُ مَنْ لُقِّبَ قَاضِي القُضَاةِ - لَمَّا اجْتَمَعَ بِمَالِكٍ وَسَأَلَهُ عَنْ هَذِهَ الْمَسَائِلِ وَأَجَابَهُ مَالِكٌ بِنَقْلِ أَهْلِ الْمَدِينَةِ الْمُتَوَاتِرِ رَجَعَ أَبُو يُوسُفَ إِلَى قَوْلِهِ وَقَالَ: "لَوْ رَأَى صَاحِبِي مِثْلَ مَا رَأَيْتُ لَرَجَعَ مِثْلَ مَا رَجَعْتُ."

Telah berkata Abu Yusuf rahimahullah, sahabat Imam Abu Hanifah yang paling dihormati, dan orang pertama yang digelari hakimnya para hakim, saat beliau bertemu dengan Imam Malik dan bertanya kepadanya tentang berbagai masalah ini (ukuran sha’ dan mud, zakat sayuran, dll), lalu Imam Malik menjawab dengan riwayat mutawatir dari penduduk Madinah, maka Abu Yusuf mengikuti ucapan Imam Malik, dan berkata: “Andai sahabatku (Abu Hanifah) melihat apa yang aku lihat, pastilah ia akan kembali (kepada riwayat ini) sebagaimana aku juga kembali.” (Majmu’ Al-Fatawa, 20/304).

✅  Al-Ghazali rahimahullah menyebutkan dalam kitabnya Ihya Ulumiddin:

فَلَمَّا دَخَلَ حَاتِمٌ بَغْدَادَ اجْتَمَعَ إِلَيْهِ أَهْلُ بَغْدَادَ فَقَالُوا يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنْتَ رَجُلٌ وَلكِنْ أَعْجَمِيٌّ وَلَيْسَ يُكَلِّمُكَ أَحَدٌ إِلَّا قَطَعْتَهُ. قَالَ: مَعِي ثَلَاثُ خِصَالٍ أَظْهَرُ بِهِنَّ عَلَى خَصْمِي: أَفْرَحُ إِذَا أَصَابَ خَصْمِي، وَأَحْزَنُ إِذَا أَخْطَأَ، وَأَحْفَظُ نَفْسِي أَنْ لَا أَجْهَلَ عَلَيْهِ. فَبَلَغَ ذَلِكَ الإِمَامَ أَحْمَدَ بْنَ حَنْبَلٍ فَقَالَ: سُبْحَانَ اللهِ مَا أَعْقَلَهُ، قُومُوا بِنَا إِلَيْهِ.

Tatkala Hatim Al-Asham memasuki kota Baghdad, penduduk Baghdad berkumpul, mereka berkata: 
“Wahai Abu Abdur Rahman, anda seorang tokoh meskipun ‘ajam (bukan Arab) namun tidak ada orang yang berbicara dengan anda kecuali pasti anda membuatnya putus (tak mampu melanjutkan).” 
Hatim berkata: 
“Ada tiga hal yang aku miliki, dengannya aku menang menghadapi lawanku: 
aku gembira jika ia benar, 
aku sedih jika ia salah, 
dan aku jaga diriku dari berlaku jahil kepadanya.”
Hal itu sampai kepada Al-Imam Ahmad bin Hanbal, maka beliau berkata:
“Subhanallah, betapa cerdasnya beliau. Mari kita mendatanginya..”
(Ihya Ulum Ad-Din, Al-Ghazali, 1/67).

Posting Komentar untuk "ADAB dalam FIQIH (F-003)"