Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

KHABAR ATAU HADITS HASAN (MH-004)


📕 Diantara Khabar Maqbul adalah Khabar Hasan
(مِنَ الخَبَرِ المَقْبُولِ الخَبَرُ الحَسَنُ)

✅ Pada postingan sebelumnya telah dijelaskan khabar maqbul yang pertama yaitu khabar shahih. Pada postingan kali ini akan dijelaskan khabar hasan yang juga merupakan khabar maqbul.

📌 Definisi

Khabar atau Hadits Hasan adalah

مَا اتَّصَلَ سَنَدُهُ بِنَقْلِ العَدْلِ الَّذِي خَفَّ ضَبْطُهُ، عَنْ مِثْلِهِ أَوْ أَضْبَطُ مَنْهُ إِلَى مُنْتَهَاهُ مِنْ غَيْرِ شُذُوذٍ وَلَا عِلَّةٍ

khabar yang sanadnya bersambung (sampai ke sumber khabar tersebut) melalui riwayat seorang yang memiliki ‘adalah yang dhabth-nya tidak kuat dari orang yang sama atau yang lebih baik dhabth-nya sampai ke akhir sanad, tanpa ada unsur syadz dan illah. 
(Taisir Mushthalah Al-Hadits, Mahmud Ath-Thahan, hlm 58, dengan sedikit tambahan أو أضبط منه (atau yang lebih baik dhabth-nya).

📌 Penjelasan

✅ Dari definisi, kita dapat melihat bahwa khabar hasan mirip dengan khabar shahih. Oleh karena itu kami tidak akan mengulangi penjelasan tentang maksud “sanad yang bersambung”, “‘adalah”, “dhabth”, “illah” dan “syadz”. 

✅ Namun ada perbedaan sedikit antara khabar hasan dengan khabar shahih yaitu pada tingkat dhabth salah satu rawinya atau lebih. Khabar shahih semua rawinya harus memiliki dhabth yang kuat, sementara khabar hasan salah satu rawi atau lebih memiliki dhabth yang kurang kuat.

✅ Artinya pada khabar hasan tidak mesti kekurangan pada dhabth terdapat di semua rawinya, tetapi cukup terdapat pada minimal satu diantara mereka. Oleh karenanya dalam definisi perlu ditambahkan ungkapan “dari orang yang sama atau yang lebih baik dhabth-nya”.

📎 Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullah menyebutkan dalam Nuzhah An-Nazhar:

وَخَبَرُ الآحَادِ بِنَقْلِ عَدْلٍ تَامِّ الضَّبْطِ، متَّصِلَ السَّنَدِ، غيرَ مُعَلَّلٍ وَلا شَاذٍّ: هُوَ الصَّحِيحُ لِذَاتِه  .. فإنَّ خَفَّ الضَّبْطُ: فالحَسَنُ لِذَاتِهِ، وبِكَثْرَةِ طُرُقِهِ يُصَحَّحُ.

Dan khabar ahad yang diriwayatkan oleh rawi pemilik ‘adalah yang dhabth-nya sempurna, dengan sanad bersambung, tanpa ada ‘illah dan syadz, maka ia adalah shahih lidzatihi (dengan sendirinya).. Jika dhabthnya tidak sempurna, maka menjadi hasan lidzatihi (dengan sendirinya) dan dengan banyaknya jalur dapat dianggap shahih. (Nuzhah An-Nazhar, hlm 275).

✅ Di sini Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan definisi khabar shahih dan menyebutkan istilah lainnya yaitu shahih lidzatih (dengan sendirinya) karena khabar shahih dinyatakan shahih tanpa perlu bantuan penguatan dari riwayat yang lain. Kemudian beliau menyebutkan jika semua syarat khabar shahih terpenuhi kecuali ada kekurangan pada dhabth rawinya, maka ia dinamakan khabar hasan atau hasan lidzatih. 

✅ Beliau juga menyatakan tentang kemungkinan hadits hasan dapat dianggap shahih, yaitu jika didukung oleh banyaknya riwayat yang dapat memenuhi syarat menguatkan. Saat itu hadits hasan ini naik level menjadi shahih lighairih (shahih dengan dukungan banyaknya jalur periwayatan).


📕 مثَالٌ لِلْحَدِيثِ الحَسَنِ
📕 Contoh Hadits Hasan

📌 Al-Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan dalam Musnadnya (No 12292):

حَدَّثَنَا أَبُو عُبَيْدَةَ الْحَدَّادُ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ بُدَيْلِ بْنِ مَيْسَرَةَ، قَالَ: حَدَّثَنِي أَبِي، عَنْ أَنَسٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ لِلَّهِ أَهْلِينَ مِنَ النَّاسِ". قَالَ: قِيلَ مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ:"أَهْلُ الْقُرْآنِ هُمْ أَهْلُ اللَّهِ وَخَاصَّتُهُ".

Telah berkata meriwayatkan kepada kami Abu ‘Ubaidah Al-Haddad, telah berkata meriwayatkan kepada kami ‘Abdul Rahman bin Budail bin Maisarah, ia berkata: ayahku telah berkata meriwayatkan kepadaku, dari Anas (bin Malik) ia berkata: Telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Sesungguhnya Allah memiliki keluarga di kalangan manusia.” Ia (Anas) berkata: Ditanyakan (kepada Rasulullah), Siapa mereka ya Rasulullah? Beliau bersabda: “Ahli Al-Qur’an, mereka adalah keluarga Allah dan orang-orang khusus-Nya.”

🎯 Khabar ini termasuk khabar atau hadits hasan, karena telah memenuhi syarat khabar shahih, kecuali catatan pada dhabth Abdul Rahman bin Budail rahimahullah.

🎯 Berikut ini adalah contoh penilaian ulama ahli Hadits terhadap para rawi hadits di atas yaitu dari Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullah dalam kitabnya Taqrib At-Tahdzib:

✅ Abu ‘Ubaidah Al-Haddad, namanya ‘Abdul Wahid bin Washil As-Sadusi: tsiqah (ثقة)/tepercaya (hlm 631).
✅ Abdul Rahman bin Budail: laa ba-sa bihii (لا بأس به)/tidak mengapa (hlm 571).
✅ Budail bin Maisarah Al-‘Uqaili Al-Bashri: tsiqah (ثقة)/tepercaya (hlm 164).
✅ Anas bin Malik Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu: sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam

📎 Ungkapan Ibnu Hajar rahimahullah “laa ba-sa bihii” tentang Abdul Rahman bin Budail menunjukkan bahwa beliau tak bermasalah ‘adalah-nya, namun ada kelemahan pada dhabth-nya.

📎 Disebabkan kelemahan pada dhabth Abdul Rahman bin Budail, sementara syarat khabar shahih lainnya terpenuhi, maka hadits ini ditinjau dari sanad tersebut dinilai sebagai hadits hasan.


📕 Beberapa Istilah untuk Rawi Khabar Shahih dan Hasan Menurut Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani

✅ Dalam Muqaddimah At-Taqrib, Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani Asy-Syafi’i rahimahullah menyebutkan dua belas tingkatan rawi hadits ditinjau dari ‘adalah dan dhabth mereka, dari yang paling tinggi tingkatannya yakni para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sampai yang paling rendah yakni mereka yang disifati dengan dusta atau pemalsu hadits.

✅ Dalam materi ini kami hanya mengutip empat level teratas secara lengkap, dan potongan level kelima saja, sedangkan yang lain akan disebutkan bi idznillah pada pembahasan yang terkait dengan hadits dha’if dan seterusnya. 

📌 Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan:

وَبِاعْتِبَارِ مَا ذَكَرْتُ انْحَصَرَ لِيَ الكَلَامُ عَلَى أَحْوَالِهِمْ فِي اثْنَتَيْ عَشْرَةَ مَرْتَبَةً:
1. فأَوَّلُهَا: الصَّحَابَةُ‏:‏ فَأُصَرِّحُ بِذَلِكَ لِشَرَفِهِم‏
2.  الثَّانِيَةُ: مَنْ أُكِّدَ مَدْحُهُ،‏ إِمَّا: بِـ "أَفْعَل": كَأَوْثَقِ النَّاسِ، أَوْ بِتَكْرِيرِ الصِّفَةِ لَفْظًا‏:‏ كَثِقَةٍ ثِقَة، أَوْ مَعْنًى: كَثِقَةٍ حَافِظ‏.‏
3. الثَّالِثَةُ‏:‏ مَنْ أُفْرِدَ بِصِفَةٍ، كَثِقَةٍ، أَوْ مُتْقِنٍ، أَوْ ثَبْتٍ، أَوْ عَدْلٍ‏.‏
4.  الرَّابِعَةُ‏:‏ مَنْ قَصُرَ عَنْ الدَّرَجَةِ الثَّالِثَةِ قَلِيلاً، وَإِلَيْهِ الإِشَارَةُ‏:‏ بِـ صَدُوقٍ، أَوْ لَا بَأْسَ بِهِ، أَوْ لَيْسَ بِهِ بَأْسٌ‏.‏
5.  الخَامِسَةُ‏:‏ مَنْ قَصُرَ عَنِ الرَّابِعَةِ قَلِيلاً، وَإِلَيْهِ الإِشَارَةُ بِصَدُوقٍ سيِّئِ الحِفْظِ ...
 
Dan dengan memperhatikan apa yang telah saya sebutkan, pembicaraan tentang keadaan mereka (para rawi) bagi saya terangkum dalam dua belas tingkatan:

1. Pertama adalah para sahabat (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam), maka saya akan menyebutkannya dengan jelas hal itu, karena kemuliaan kedudukan mereka.

2. Kedua, rawi yang pujian untuk mereka dikuatkan dengan (wazan) “af’al” (paling) seperti awtsaqun-nas (orang yang paling tepercaya), atau dengan pengulangan sifat dengan lafal yang sama seperti tsiqah-tsiqah (tepercaya-tepercaya), atau pengulangan sifat dengan kata yang semakna seperti tsiqah hafizh (tepercaya-pemelihara/penjaga).

3. Ketiga, rawi yang dipuji dengan sifat tunggal (tanpa pengulangan) seperti tsiqah, mutqin (pemilik penjagaan yang amat baik), atau tsabt (kokoh), atau ‘adl (pemilik ‘adalah).

4. Keempat, rawi yang kurang sedikit dari tingkatan ketiga yaitu yang ditandai dengan ungkapan shaduq (jujur), atau laa ba-sa bihi (tidak apa-apa), atau laisa bihi ba-sun (padanya tidak apa-apa).

5. Kelima, rawi yang kurang sedikit dari tingkatan keempat yaitu yang diisyaratkan dengan ungkapan shaduq sayyi al-hifzh (jujur buruk hafalannya) …

📌 Penjelasan :

✅ Dari lima tingkatan tersebut, tiga tingkatan pertama adalah istilah-istilah untuk rawi yang memiliki ‘adalah dan dhabth yang disepakati memenuhi syarat khabar shahih secara umum. Artinya jika ada sebuah khabar yang semua rawinya dimasukkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar ke dalam salah satu diantara tiga tingkatan tersebut, maka syarat ‘adalah dan dhabth mereka telah terpenuhi untuk khabar shahih menurut Al-Hafizh Ibnu Hajar, dan biasanya terpenuhi juga syarat tersambungnya sanad. 

✅ Meskipun tiga tingkatan tersebut sama-sama rawi khabar shahih, namun jika ada seorang rawi yang berada di tingkatan ketiga misalnya meriwayatkan khabar yang setelah diteliti benar-benar ternyata bertentangan dengan khabar yang diriwayatkan oleh rawi di tingkatan pertama misalnya, apalagi beberapa rawi di atasnya maka riwayatnya dapat dinilai syadz dan membuat khabar yang ia riwayatkan tidak memenuhi syarat shahih maupun hasan, alias dha’if. Inilah manfaat pembagian tingkatan tersebut.

✅ Untuk tingkatan keempat, para ulama setelah beliau berbeda pendapat apakah Al-Hafizh Ibnu Hajar menjadikannya sebagai rawi khabar shahih ataukah khabar hasan? Jika kita melihat ungkapan beliau yang lain, maka tersirat - wallahu’alam – bahwa tingkatan keempat ini adalah rawi khabar hasan. Dalam Nuzhah An-Nazhar beliau menyatakan:

ثُمَّ سُوءُ الحِفْظِ: إنْ كانَ لازماً فَهُوَ الشَّاذُّ عَلَى رَأْيٍ، أَوْ طارِئاً فالمُخْتَلِطُ. وَمَتَى تُوبِعَ سَيِّءُ الْحِفْظِ بِمُعْتَبَرٍ ... صَارَ حَدِيثُهُمْ حَسَناً لَا لِذَاتِهِ، بَلْ بالْمَجْمُوع. 

Kemudian buruk hafalan jika sifat ini melekat, maka ia adalah (rawi) syadz menurut satu pendapat, atau jika (sifat ini) sewaktu-waktu saja, maka ia adalah (rawi) mukhtalith (yang hafalannya campur baur). Dan jika rawi yang hafalannya buruk ini diikuti oleh riwayat lain yang memenuhi syarat, … maka hadits mereka menjadi hasan, tetapi bukan hasan dengan sendirinya (lidzatihi) tapi secara keseluruhan (lighairihi). (Nuzhah An-Nazhar, hlm 277).

✅ Di situ Al-Hafizh menyatakan bahwa rawi yang buruk hafalannya, jika riwayatnya didukung oleh riwayat-riwayat lain yang memenuhi syarat, maka khabar yang ia riwayatkan dapat naik menjadi hasan karena dukungan riwayat tersebut (hasan lighairihi - akan dibahas insya Allah), bukan hasan lidzatihi yang telah kita bahas. Artinya rawi yang buruk hafalannya termasuk rawi khabar dha’if (bukan shahih dan bukan pula hasan).
✅ Sementara dalam pembagian tingkatan rawi, rawi yang buruk hafalannya masuk ke tingkatan kelima. Sehingga dapat kita simpulkan bahwa rawi tingkatan keempat adalah rawi khabar hasan (lidzatihi), dimana ungkapan yang digunakan seperti shaduq, la ba-sa bihi … mengisyaratkan ‘adalah yang tidak bermasalah, namun tidak menunjukkan dhabth yang kuat, dan sifat rawi seperti ini sesuai dengan syarat khabar hasan seperti contoh hadits yang telah disebutkan. Wallahu a’lam.

📕 Berdalil dengan Hadits Hasan

✅ Derajat khabar hasan termasuk khabar yang maqbul (diterima), sehingga ia wajib diamalkan sebagaimana penegasan Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah:

وَفِيْهَا أَيْ الآحَاد المَقْبولُ وَهُوَ مَا يَجِبُ العَمَلُ بِهِ عِنْدَ الجُمْهورِ.

Dan khabar ahad ada yang maqbul yaitu yang wajib diamalkan menurut jumhur ulama.

Kemudian beliau melanjutkan:

وَهَذَا القِسْمُ مِنَ الحَسَنِ مُشارِكٌ للصَّحِيحِ فِي الاِحْتِجَاجِ بِهِ، وإِنْ كَانَ دُونَهُ، وَمُشَابِهٌ لهُ فِي انْقِسَامِهِ إِلَى مَرَاتِبَ بَعْضُهَا فَوْقَ بَعْضٍ.

Dan khabar hasan ini menyertai khabar shahih dalam hal penggunaannya sebagai dalil, meskipun (tingkatannya) di bawah shahih, sekaligus mirip dengannya dalam konteks pembagiannya yang bertingkat. (Nuzhah An-Nazhar, hlm 66).

✅ Khabar atau hadits hasan jika bertentangan dengan hadits shahih dan tidak dapat dikompromikan, maka yang digunakan adalah hadits shahih karena lebih tinggi tingkatannya.

Posting Komentar untuk "KHABAR ATAU HADITS HASAN (MH-004)"