Tentang Thala’al Badru ‘Alaina
طَلَعَ
البَدْرُ عَلَيْنَا ... مِنْ ثَنِيَّاتِ الوَدَاعْ
وَجَبَ
الشُّكْرُ عَلَيْنَا ... مَا دَعَا لِله ِدَاعْ
Telah terbit
purnama di atas kita
dari Tsaniyyatil
Wada’
wajib bersyukurlah
kita
selama da’i dari Allah menyerukan dakwahnya.
Senandung ‘Thala’al Badru” ini sering kita dengar dengan berbagai irama sebagai bentuk pujian dan sambutan kepada Rasulullah Muhammad ﷺ.
Sejauh mana
keshahihan senandung ini?
Para ulama hadits berbeda pendapat tentang keshahihan thala’al badru, dan apakah ia memang diucapkan saat menyambut Rasulullah ﷺ tiba di Madinah ataukah saat beliau pulang dari Tabuk?
Diantara yang
meriwayatkannya adalah Al-Imam Al-Baihaqi dalam kitab Dalail An-Nubuwwah (5/266) dari (‘Ubaidullah) Ibnu ‘Aisyah ia berkata :
لَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ جَعَلَ النِّسَاءُ وَالصِّبْيَانُ وَالْوَلَائِدُ يَقُلْنَ:
طَلَعَ الْبَدْرُ عَلَيْنَا ... مِنْ ثَنِيَّاتِ
الْوَدَاعْ
وَجَبَ الشُّكْرُ عَلَيْنَا ... مَا دَعَا لِلَّهِ دَاعْ
قُلْتُ: وَهَذَا يَذْكُرُهُ عُلَمَاؤُنَا عِنْدَ
مَقْدَمِهِ الْمَدِينَةَ مِنْ مَكَّةَ وَقَدْ ذَكَرْنَاهُ عِنْدَهُ لَا أَنَّهُ
لَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ مِنْ ثَنِيَّةِ الْوَدَاعِ عِنْدَ مَقْدَمِهِ مِنْ
تَبُوكَ، وَاللهُ أَعْلَمُ فَذَكَرْنَاهُ أَيْضًا هَاهُنَا.
Ketika Nabi ﷺ datang ke Madinah, para wanita, anak-anak laki-laki dan perempuan mengatakan:
Telah terbit
purnama di atas kita
dari Tsaniyyatil
Wada’
wajib bersyukurlah
kita
selama da’i dari
Allah menyerukan dakwahnya.
Aku (Al-Baihaqi) berkata: hal ini disebutkan oleh para ulama kita saat kedatangan beliau ﷺ ke Madinah dari Mekkah, dan telah kami sebutkan saat itu, bukan saat beliau datang ke Madinah dari Tsaniyyatil Wada’ dari Tabuk, wallahu a’lam, maka kami sebutkan juga di sini.
Syihabuddin
Al-Qasthillani menyebutkan dalam Al-Mawahib Al-Ladunniyyah (1/184-185) bahwa
selain Al-Baihaqi dalam Dalail An-Nubuwwah, thala’al badru juga diriwayatkan
oleh Abu Al-Hasan Al-Muqri dalam kitab Asy-Syamail dari Ibnu ‘Aisyah. Ath-Thabari
(Abul ‘Abbas Muhibbuddin Ahmad bin ‘Abdillah, seorang ulama Hadits) dalam kitab
Ar-Riyadh juga meriwayatkannya dan beliau berkata: Al-Hulwani telah
mengeluarkannya sesuai persyaratan Asy-Syaikhain (yaitu Al-Bukhari dan Muslim).
Ibnu Hajar Al-‘Asqlani
menyebutkan dalam Fath Al-Bari (7/261-262, 8/129) dan menyatakan sanadnya
munqathi’ (terputus), dan menurut beliau mungkin saja itu terjadi saat
kedatangan beliau dari Tabuk. Begitu pula guru beliau, Zainuddin Al-‘Iraqi
menyatakan sanadnya mu’dhal dalam Takhrij Al-Ihya.
Meskipun para
ulama berbeda pendapat dalam menilai keshahihan riwayat thala’al badru, namun mayoritas
mereka tidak mempermasalahkannya, karena temanya adalah kisah dan tidak terkait
dengan aqidah dan penetapan hukum halal dan haram. Oleh karena itu, mereka
menyebutkannya dalam kitab mereka tanpa pengingkaran. (Lihat, misalnya Ikmal
al-Mu’lim karya Al-Qadhi ‘Iyadh (6/285), At-Taudhih karya Ibnu Al-Mulaqqin
20/564), At-Tamhid karya Ibnu ‘Abdil Barr (14/82), As-Sirah An-Nabawiyah karya Ibnu Hibban (1/139), As-Sirah
An-Nabawiyah karya Ibnu Katsir (2/269).
Tentang sikap
terhadap riwayat yang dha’if, Al-Imam Yahya bin Syaraf An-Nawawi menyebutkan di
dalam kitabnya At-Taqrib (hlm 48):
ويجوز عند أهل الحديث وغيرهم التساهل في الأسانيد ورواية
ما سوى الموضوع من الضعيف والعمل به من غير بيان ضعفه في غير صفات الله تعالى
والأحكام كالحلال والحرام وغيرهما وذلك كالقصص، وفضائل الأعمال، والمواعظ وغيرها
مما لا تعلق له بالعقائد والأحكام، والله أعلم.
Dan menurut Ahli
Hadits dan ulama selain mereka boleh memudahkan (periwayatan) sanad dan riwayat
yang dha’if asal bukan yang palsu, dan juga mengamalkannya tanpa menjelaskan
status dha’ifnya dalam masalah yang bukan sifat-sifat Allah, juga bukan hukum
seperti halal dan haram. Dan hal itu (diperbolehkan) terkait kisah, keutamaan
amal, nasihat dan lain-lain yang tidak ada hubungannya dengan aqidah dan hukum.
Wallahu a’lam.
Apa yang dimaksud
dengan Tsaniyyatul Wada’?
Tsaniyyat (ثنيات) adalah bentuk jamak dari tsaniyyah (ثنيّة), arinya jalan di gunung atau bukit.
Al-Wada’ (الوداع) artinya perpisahan.
Disebut Tsaniyatul Wada’ karena penduduk Madinah sudah sejak lama menjadikan tempat itu untuk melepas orang yang akan bepergian jauh diantara mereka. Tsaniyyatul Wada’ ini terletak di arah menuju Syam (sebelah utara Madinah), hal ini menjadi salah satu alasan sebagian pihak yang menolak thala’al badru sebagai ungkapan menyambut kedatangan Rasulullah ﷺ dari Mekkah, karena Mekkah berada di arah Selatan Madinah.
Tetapi alasan ini
bisa dijawab dengan dua hal:
1. Bahwa Rasulullah ﷺ memang masuk ke dalam Madinah melalui arah Syam karena beliau melepas kendali untanya sambil mengatakan “دعوها فإنها مأمورة” “Biarkan dia, karena ia diperintahkan”. Rasulullah ﷺ memasuki Madinah dari perkampungan Bani Sa’idah dan perkampungan ini di utara Madinah dekat Tsaniyyatul Wada’. Bahkan sebagian ulama menyebutkan bahwa saat itu Madinah hanya dimasuki melalui arah Syam. Diantara buktinya adalah saat perang Khandaq kaum muslimin menggali parit di utara Madinah untuk menghalangi pasukan sekutu yang datang dari Mekkah.
2. Andai kita menganggap bahwa Rasulullah ﷺ memasuki Madinah dari arah Mekkah (Selatan), maka yang dimaksud Tsaniyyatul Wada’ adalah semua arah menuju Madinah yang biasa digunakan untuk melepas musafir keluar Madinah, termasuk dari arah Mekkah, seperti yang disebutkan oleh Al-Qasthillani dalam Al-Mawahib mengutip Ibnu Al-‘Iraqi. Sebagai buktinya, dalam thala’al badru, kata Tsaniyatul Wada’ diungkapkan dalam bentuk jamak (plural) “ثنيّات” tidak hanya satu tsaniyyah.
Dalam riwayat
lain, ada tambahan bait:
أَيُّهَا المَبْعُوثُ فِينَا ... جِئْتَ بِالأَمْرِ
المُطَاعْ
جِئْتَ شَرَّفْتَ المَدِينَة ... مَرْحَبًا يَا خَيرَ دَاعْ
Wahai yang diutus kepada
kami
engkau datang
membawa urusan yang ditaati
engkau datang
memuliakan kota kami
Selamat datang
wahai sebaik-baik da’i.
Yang menjadi
pertanyaan adalah:
Bukankah saat itu Yatsrib belum berubah nama menjadi Madinah? Lalu mengapa Nabi ﷺ disambut dengan bait syair yang menyebutkan kata Madinah?!
Jawabannya adalah kata
“madinah” sudah digunakan oleh orang Arab sejak lama untuk wilayah yang relatif
banyak penduduknya, sebelum kata Madinah digunakan sebagai nama yang
menggantikan nama Yatsrib. Jadi kata “madinah” pada bait syair tersebut
maknanya adalah kota atau wilayah tempat tinggal.
Oleh karena itu, Al-Qur’an yang berbahasa Arab menyebutkan kata “madinah” beberapa kali seperti di surat Al-A’raf: 123, Yusuf: 30, Al-Hijr: 67, Al-Kahfi: 19 dan 82, An-Naml: 48, Al-Qashash: 15, 18 dan 20. Dan tentu saja maksud dari ayat-ayat tersebut bukanlah kota Al-Madinah Al-Munawwarah, karena disebutkan dalam kisah ummat sebelum Nabi Muhammad ﷺ.
Posting Komentar untuk "Tentang Thala’al Badru ‘Alaina"
Hindari kata-kata yang mengandung pornografi, penghinaan dan kebencian serta pelanggaran hukum yang berlaku.