TENTANG MALAM NISHFU SYA’BAN
Keutamaan Malam Nishfu Sya’ban
«إِنَّ اللَّهَ لَيَطَّلِعُ فِي لَيْلَةِ
النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ إِلَّا لِمُشْرِكٍ أَوْ
مُشَاحِنٍ»
Sesungguhnya Allah pasti melihat (kepada
hamba-hambaNya) di malam pertengahan Sya’ban lalu Dia mengampuni semua
makhlukNya kecuali yang musyrik dan yang bermusuh-musuhan (sesama muslim). (HR.
Ibnu Majah dari Abu Musa al-‘Asy’ari ra – hadits hasan).
Yang dimaksud
dengan “melihat” di sini adalah memberi kekhususan bagi malam Nishfu Sya’ban
dengan anugrah yang lebih, karena jika dimaknai hanya melihat biasa, maka
tentunya Allah ta’ala Maha Melihat makhlukNya kapan dan di mana pun mereka
berada tanpa ada yang luput dariNya sedikitpun. Mahasuci dan Mahasempurna Allah
subhanahu wata’ala.
Abu al-Hasan
Mulla Ali bin Muhammad al-Qari, salah seorang ulama madzhab Hanafi menyatakan
bahwa yang dimaksud dengan “يطلع” adalah:
ينظر نظر
الرحمة والمغفرة البالغة
Memandang
dengan pandangan kasih sayang dan ampunan yang besar. (Mirqah al-Mafatih,
3/975).
Membaca Surat
Yasin
Membaca
Al-Quran secara umum adalah amal shalih. Dan para ulama sepakat bahwa
bertawassul dengan amal shalih agar doa kita diterima oleh Allah adalah hal
yang disyariatkan. Setelah menyebutkan beberapa riwayat tentang keutamaan surat
Yasin, Ibnu Katsir rahimahullah menyatakan dalam tafsirnya:
ولهذا قال بعض العلماء
: من خصائص هذه السورة أنها لا تقرأ عند أمر عسير إلا يسره الله وكأن قراءتها عند
الميت لتنزل الرحمة والبركة ...
“Oleh
karenanya, sebagian ulama berkata: “Diantara kekhususan surat ini adalah bahwa
tidaklah ia dibacakan untuk urusan yang sulit kecuali Allah akan memudahkannya.
Dan sepertinya, membacanya di sisi jenazah, tujuannya agar turun rahmat dan
keberkahan (kepadanya)…”” (Tafsir Ibnu Katsir, 6/585).
Para ulama yang membolehkan hal-hal
semacam ini mencukupkan diri dengan dalil umum tentang keutamaan membaca
Al-Quran atau surat-surat tertentu darinya. Bagi mayoritas ulama hal-hal yang
tidak dilakukan oleh Rasulullah ﷺ tidak dikatakan bid’ah jika masih
memiliki landasan dalil umum baik melalui Al-Qur’an, Hadits, Ijma’ maupun Qiyas.
Dan keutamaan membaca Al-Quran jelas banyak sekali kita temukan dalilnya baik
dari Al-Quran sendiri maupun hadits Rasullah ﷺ.
Ibnu Hajar al-‘Asqalani, seorang
ulama Hadits yang bermadzhab Syafi’i menjelaskan bahwa:
والمراد
بقوله «كل بدعة ضلالة» : ما أحدث ولا دليل له من الشرع بطريق خاصّ ولا عامّ
Maksud dari
hadits “setiap bid’ah itu sesat” adalah setiap hal-hal yang baru diadakan yang
tidak memiliki landasan dalil dari syariat sama sekali, baik melalui dalil
khusus dan dalil umum. (Fath al-Bari, 13/254).
Sementara
sebagian ulama yang melarang hal-hal seperti ini mensyaratkan adanya dalil
khusus yang spesifik baik berupa ucapan atau contoh dari Nabi ﷺ, sementara mereka tidak menemukan dalil
khusus tersebut.
Menghidupkan
Malam Nishfu Sya’ban
Disebutkan dalam kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah bahwa jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan ibadah sendiri-sendiri adalah dianjurkan. Sedangkan melakukannya secara berjamaah dimakruhkan oleh jumhur ulama, dan ulama Hanafiyah dan Malikiyah menyebutkannya sebagai bid’ah. (Lihat al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, 2/235-236).
Perbedaan
pendapat tentang berkumpul di masjid untuk menghidupkan malam Nishfu Sya’ban
ini sudah terjadi sejak masa tabi’in (murid-murid para sahabat).
Ibnu Rajab al-Hambali
dalam kitabnya Lathaif al-Ma’arif menjelaskan:
Bahwa para tabi’in negeri
Syam diantaranya Khalid bin Ma’dan, Mak-hul, Luqman bin ‘Amir rahimahumullah
dan lainnya amat mengagungkan malam Nishfu Sya’ban dan bersungguh-sungguh dalam
beribadah di malam tersebut. Mereka memakai pakaian terbaik, menggunakan uap
wewangian, celak, dan shalat di masjid malam itu. Dan hal ini disetujui oleh
Ishaq bin Rahawaih, ia berkata tentang shalat di malam Nishfu Sya’ban di
masjid-masjid secara berjamaah: “Ia bukanlah bid’ah.” Sedangkan al-Auza’i seorang faqih Syam tidak
menyukai berkumpul di masjid untuk itu. Sementara itu, ‘Atha dan Ibnu Abi
Mulaikah dari kalangan ulama Hijaz mengingkarinya. Para ahli fiqih Madinah
diantaranya adalah para sahabat Imam Malik menyatakannya sebagai bid’ah.
Imam Syafi’i
menyatakan mustahab (disukai) berdoa di lima malam: malam Jumat, malam Idul
Fitri dan Idul Adha, malam awal Rajab, dan malam pertengahan (Nishfu) Sya’ban.
Sementara
dari Imam Ahmad bin Hambal tidak ditemukan riwayat tentang hukum masalah ini,
namun terdapat dua riwayat dari beliau tentang hukum masalah qiyamullail di
malam hari raya secara berjamaah, pertama hukumnya mustahab (disukai)
berdasarkan contoh dari seorang tabi’in yaitu Abdurrahman bin Yazid bin
Al-Aswad, dan yang kedua adalah sebaliknya. Dari sini dapat disimpulkan bahwa
demikian pula pendapat beliau tentang shalat di malam Nishfu Sya’ban ada dua
riwayat dari beliau tentang hukum masalah ini, pertama adalah mustahab
berdasarkan contoh para tabi’in negeri Syam dan yang kedua adalah sebaliknya. Demikian
ringkasan penjelasan Ibnu Rajab rahimahullah. (Lihat: Lathaif al-Ma’arif, hlm
137-138).
Dapat
disimpulkan bahwa:
1. Keutamaan
malam Nishfu Sya’ban disepakati oleh hampir semua ulama berdasarkan riwayat
yang derajatnya hasan seperti yang disebutkan di awal.
2. Mayoritas
ulama menyatakan bahwa menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan aktifitas ibadah
sendiri-sendiri hukumnya adalah mustahab (dianjurkan).
3. Perbedaan
pendapat tentang menghidupkan malam Nishfu Sya’ban secara berjamaah di masjid
adalah perbedaan pendapat yang telah terjadi sejak zaman salaf shalih yaitu di
masa tabi’in, dan mereka tetap saling menghargai satu sama lain.
Wallahu a’lam.
Posting Komentar untuk "TENTANG MALAM NISHFU SYA’BAN"
Hindari kata-kata yang mengandung pornografi, penghinaan dan kebencian serta pelanggaran hukum yang berlaku.