Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala (A-007 Bagian 3)



📚 Makna Tafwidh

✅ Sifat-sifat Allah yang ditafwidh adalah sifat-sifat Allah yang rentan dipahami mengandung tasybih dengan makhluk. Sebagian ulama mengistilahkannya dengan sifat khabariyah.

📎 Tafwidh (التفويض) sendiri menurut istilah ilmu Aqidah dalam konteks sifat Allah terdiri dari 3 unsur:

1. Itsbat (menetapkan) apa yang disebutkan oleh Syariat.
2. Menyerahkan kepada Allah ta’ala ilmu tentang hakikat arti dari sifat-sifat khabariyah tersebut.
3. Menolak arti lahiriyah yang mengandung tasybih, seperti arti yang menunjukkan anggota tubuh, atau arti yang menunjukkan sifat huduts (berawal) yang merupakan sifat makhluk.

✅ Dalam hal ini al-Imam an-Nawawi dalam Syarah Muslim menyebutkan :

اعْلَمْ أَنَّ لِأَهْلِ الْعِلْمِ فِي أَحَادِيثِ الصِّفَاتِ وَآيَاتِ الصِّفَاتِ قَوْلَيْنِ :
أَحَدُهُمَا : وَهُوَ مَذْهَبُ مُعْظَمِ السَّلَفِ أَوْ كُلِّهِمْ :
- أَنَّهُ لَا يُتَكَلَّمُ فِي مَعْنَاهَا بَلْ يَقُولُونَ يَجِبُ عَلَيْنَا أَنْ نُؤْمِنَ بِهَا 
- وَنَعْتَقِدَ لَهَا مَعْنًى يَلِيقُ بِجَلَالِ اللَّهِ تَعَالَى وَعَظَمَتِهِ 
- مَعَ اعْتِقَادِنَا الْجَازِمِ أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَأَنَّهُ مُنَزَّهٌ عَنِ التَّجَسُّمِ وَالِانْتِقَالِ وَالتَّحَيُّزِ فِي جِهَةٍ وَعَنْ سَائِرِ صِفَاتِ الْمَخْلُوقِ.
وَهَذَا الْقَوْلُ هُوَ مَذْهَبُ جَمَاعَةٍ مِنَ الْمُتَكَلِّمِينَ وَاخْتَارَهُ جَمَاعَةٌ مِنْ مُحَقِّقِيهِمْ وَهُوَ أَسْلَمُ.
وَالْقَوْلُ الثَّانِي وَهُوَ مَذْهَبُ مُعْظَمِ الْمُتَكَلِّمِينَ أنها تتأول على مايليق بِهَا عَلَى حَسَبِ مَوَاقِعهَا

Ketahuilah bahwa ada dua pendapat ulama tentang hadits-hadits sifat dan ayat-ayat sifat:
Yang pertama adalah madzhab mayoritas salaf atau mereka semua:
- Bahwa artinya tidak dibicarakan tetapi mereka mengatakan bahwa kita wajib mengimaninya.
- Kita meyakini bahwa ayat atau hadits sifat tersebut punya arti yang laik untuk kebesaran dan keagungan Allah ta’ala.
- Disertai keyakinan yang pasti bahwa Allah ta’ala tak ada yang sama denganNya, bahwa Dia Mahasuci dari tajassum (bertubuh), intiqal (berpindah), dan tahayyuz fi jihah (menempati bidang di arah tertentu), dan seluruh sifat makhluk.
Pendapat ini juga merupakan pendapat sejumlah ulama ilmu Kalam dan ulama peneliti mereka, dan ini adalah pendapat yang lebih selamat. 
Yang kedua adalah madzhab mayoritas ulama ilmu Kalam yaitu bahwa ia dita-wil dengan makna yang laik untuk sifat-sifat tersebut sesuai dengan konteks kalimatnya. 
(Syarah Shahih Muslim, 3/19).

✅ Jadi tafwidh menurut ulama Asy’ariyah dan Maturidiyah adalah tafwidh makna ayat/hadits sifat yang rentan dipahami tasybih, bukan tafwidh kaifiyatnya.

📌 Ungkapan Beberapa Ulama yang Menunjukkan Tafwidh Makna

📕 Ungkapan Sufyan bin ‘Uyaynah

Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanadnya bahwa Sufyan bin 'Uyaynah menyebutkan :

مَا وَصَفَ اللَّهُ تَعَالَى بِهِ نَفْسَهُ فَتَفْسِيرُهُ قِرَاءَتُهُ، لَيْسَ لِأَحَدٍ أَنْ يُفَسِّرَهُ إِلَّا اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى، أَوْ رُسُلُهُ صَلَوَاتُ اللَّهِ عَلَيْهِمْ

Apa yang disebutkan Allah tentang sifatNya, maka tafsirnya adalah membacanya. Tidak ada hak bagi siapapun menafsirkannya kecuali Allah tabaraka wata’ala atau para rasulNya – shalawat Allah atas mereka. (al-Asma wa ash-Shifat, al-Baihaqi, 2/338 no 906).

✅ Tafsirnya adalah membacanya, artinya bahwa penjelasan maksud dari sifat tersebut adalah hanya dengan membaca teks ayat atau haditsnya saja. Dengan kata lain: tanpa tafsir atau penjelasan. Termasuk penjelasan makna lahiriyahnya menurut bahasa Arab. Karena yang berhak menjelaskan hanya Allah dan RasulNya sementara tak ada penjelasan dari keduanya. 

✅ As-Safarini al-Hambali juga menyebutkan ungkapan Sufyan bin ‘Uyaynah ini dalam Lawami’ al-Anwar al-Bahiyyah (1/99):

كُلُّ مَا وَصَفَ اللَّهُ بِهِ نَفْسَهُ فِي كِتَابِهِ، فَتَفْسِيرُهُ قِرَاءَتُهُ وَالسُّكُوتُ عَنْهُ، لَيْسَ لِأَحَدٍ أَنْ يُفَسِّرَهُ إِلَّا اللَّهُ وَرَسُولُهُ. 

Apa yang disebutkan Allah tentang sifatNya, maka tafsirnya adalah membacanya dan diam dari menjelaskannya. Tidak ada hak bagi siapapun menafsirkannya kecuali Allah dan Rasul-Nya.

Kemudian As-Safarini menyatakan:

فَهَذَا مَذْهَبُ سَلَفِ الْأُمَّةِ وَفُضَلَاءِ الْأَئِمَّةِ

Inilah madzhab salaf ummat ini dan imam-imam yang utama.

Al-Baghawi menyebutkan ungkapan yang sama dari Sufyan bin ‘Uyaynah dalam Syarh As-Sunnah (1/171).

✅ Andai makna sifat itu ma’lum (diketahui), tentu tidak perlu diam. 

✅ Juga penjelasan bahwa maknanya adalah makna hakiki menurut bahasa atau kamus jelas termasuk tafsir, bahkan dia dapat dianggap tasybih. Dua-duanya tidak dilakukan oleh salaf.

✅ Al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanadnya bahwa Sufyan bin 'Uyaynah juga menyatakan :

 مَا وَصَفَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى بِهِ نَفْسَهُ فِي كِتَابِهِ فَقِرَاءَتُهُ تَفْسِيرُهُ، لَيْسَ لِأَحَدٍ أَنْ يُفَسِّرَهُ بِالْعَرَبِيَّةِ وَلَا بِالْفَارِسِيَّةِ

Sifat yang dengannya Allah ta'ala menjelaskan diriNya di kitabNya, maka membacanya adalah tafsirnya. Tidak ada hak bagi siapapun menafsirkannya dengan bahasa Arab atau bahasa Persia. (al-Asma wa ash-Shifat, 217, no 683).

Asy-Syaikh Muhammad bin al-Hasan ad-Dadaw asy-Syinqithi menyatakan:

وأما استواء الله سبحانه وتعالى على عرشه فلا يفسر، فهو من الصفات الثابتة التي قراءتها تفسيرها ولا يجوز تفسيره بأي شيء؛ لأننا لا علم لنا بهذا؛ فلهذا من فسره بما فسرنا به الاستواء في اللغة فقد ابتدع، فمن قال: استوى على العرش بمعنى: استقر عليه أو نحو هذا فقد ابتدع في دين الله، فلم يرد هذا عن أحد، بل قال الإمام أحمد: (لا كيف ولا معنى) .

Adapun istiwa Allah subhanahu wa ta’ala  ‘ala ‘Arsyihi, maka tidak ditafsirkan, ia termasuk sifat yang jelas ada (dalam Al-Qur’an dan Sunnah) yang membacanya adalah sekaligus tafsirnya, tidak boleh menafsirkannya dengan apapun, karena kita tidak punya pengetahuan tentang hal ini. Oleh karena itu siapa yang menafsirkan istiwa dengan tafsir menurut bahasa sungguh ia telah mengada-ada. Siapa yang mengatakan istawa ‘alal ‘Arsy artinya menetap di atasnya sungguh ia telah mengada-ada di dalam agama Allah, karena tidak ada riwayatnya dari siapapun. Bahkan al-Imam Ahmad berkata: “Tak ada kaifiyat, tak ada makna (yang kita tahu)”. (Silsilah al-Asma wa ash-Shifat, 11/3).

📕 Ungkapan Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani

Ungkapan “tanpa tafsir” juga merupakan pendapat Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani, murid al-Imam Abu Hanifah. 

Ibnu Hajar al-‘Asqalani menyebutkan bahwa Al-Lalaka-i menyebutkan dengan sanadnya dari Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani :

اتفق الفقهاء كلهم من المشرق إلى المغرب على الإيمان بالقرآن وبالأحاديث التي جاء بها الثقات عن رسول الله صلى الله عليه وسلم في صفة الرب من غير تشبيه ولا تفسير (فتح الباري: 13/407)

Para ahli fiqih dari timur sampai barat telah bersepakat semuanya atas iman kepada Al-Quran dan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para perawi tepercaya dari Rasulullah ﷺ tentang sifat Rabb tanpa tasybih dan tanpa tafsir. (Fath al-Bari 13/407).

📕 Ungkapan al-Imam Malik, al-Auza’i, Sufyan at-Tsauri, dan al-Laits bin Sa’ad

✅ Al-Baihaqi meriwayatkan dari Al-Walid bin Muslim, bahwa ia berkata:

سُئِلَ الْأَوْزَاعِيُّ وَمَالِكٌ وَسُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ وَاللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ هَذِهِ الْأَحَادِيثِ الَّتِي جَاءَتْ فِي التَّشْبِيهِ، فَقَالُوا: أَمِرُّوهَا كَمَا جَاءَتْ بِلَا كَيْفِيَّةٍ.

Telah ditanya al-Awza’i, (al-Imam) Malik, Sufyan ats-Tsauri dan al-Laits bin Sa’ad tentang hadits-hadits (sifat Allah) yang datang mengandung (kesan) tasybih (menyerupai makhluk). Mereka menjawab: “Lakukan imrar terhadapnya (persilakan ia lewat) seperti ia datang (baca apa adanya) tanpa ada kaifiyat (how/bagaimana).” (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra no 4654, dan dalam al-I’tiqad).

📕 Ungkapan al-Imam asy-Syafi’i

✅ Ibnu Qudamah al-Maqdisi al-Hambali dalam kitabnya Lam’ah al-I’tiqad hlm 7 mengutip ungkapan al-Imam asy-Syafi’i tentang sifat-sifat Allah :

قال الإمام أبو عبد الله محمد بن إدريس الشافعي رضي الله عنه: آمنت بالله وبما جاء عن الله، على مراد الله، وآمنت برسول الله، وبما جاء عن رسول الله على مراد رسول الله.

Telah berkata al-Imam Abu ‘Abdillah Muhammad bin Idris asy-Syafi’i semoga Allah meridhainya: “Aku beriman kepada Allah dan kepada apa saja yang datang dari Allah sesuai (makna) yang dikehendaki Allah. Dan aku beriman kepada Rasul Allah, dan kepada apa saja yang datang dari Rasul Allah, sesuai (makna) yang dikehendaki Rasul Allah”.

📕Ungkapan al-Imam Ahmad bin Hambal

✅ Adz-Dzahabi menyebutkan dalam kitabnya al-‘Arsy (1/258), riwayat dari al-Khallal bahwa al-Imam Ahmad menjawab ketika ditanya tentang hadits-hadits sifat:

نؤمن بها، ونصدق بها ولا كيف، ولا معنى، ولا نرد منها شيئاً، ونعلم أن ما جاء به الرسول حق إذا كانت بأسانيد صحاح، ولا نرد على الله قوله، ولا يوصف بأكثر مما وصف به نفسه ولا حد ولا غاية، ليس كمثله شيء.

Kita beriman kepadanya, membenarkannya tanpa kaifiyat, tanpa makna. Kita tidak menolak sama sekali, kita mengetahui bahwa apa yang datang dari Rasul adalah benar jika dengan sanad yang shahih. Kita tidak menolak firman Allah, dan Dia tidak disifati dengan sifat yang lebih dari penjelasanNya sendiri tanpa batasan dan tanpa keberakhiran, tidak ada yang semisal denganNya.

Asy-Syaikh Muhammad bin al-Hasan ad-Dadaw asy-Syinqithi menjelaskan :

وقوله : (لا معنى) معناه : لا تفسير، أي : لا تفسرها بأي شيء

Ucapan beliau "la ma'na" artinya tak ada tafsir, yaitu jangan tafsirkan dengan apapun. (Silsilah al-Asma wa ash-Shifat, 2/17)

✅ Ibnu Hajar al-‘Asqalani mengutip pernyataan Ibnu al-Jauzi al-Hambali: 

وقال ابن الجوزي : أكثر السلف يمتنعون من تأويل مثل هذا ويمرونه كما جاء وينبغي أن يراعى في مثل هذا الإمرار اعتقاد أنه لا تشبه صفات الله صفات الخلق ومعنى الإمرار عدم العلم بالمراد منه مع اعتقاد التنزيه.

Dan Ibnu al-Jauzi berkata: “Mayoritas salaf tidak mau melakukan ta-wil (hadits) seperti ini, dan mereka melakukan imrar sebagaimana sampainya riwayat apa adanya. Dalam imrar ini harus dengan keyakinan bahwa sifat Allah tidak serupa dengan sifat makhluk. Dan imrar berarti tidak mengetahui maksudnya disertai keyakinan tanzih (menyucikan Allah dari segala kekurangan)”. (Fath al-Bari, 6/40).

📕Ungkapan al-Imam at-Tirmidzi

✅ Al-Imam at-Tirmidzi menyatakan dalam Sunannya (4/692):

والمذهب في هذا عند أهل العلم من الأئمة مثل سفيان الثوري ومالك بن أنس وابن المبارك وابن عُيَيْنَة ووكيع وغيرهم أنهم رووا هذه الأشياء ثم قالوا: تروى هذه الأحاديث ونؤمن بها ولا يقال كيف، وهذا الذي اختاره أهل الحديث أن تروى هذه الأشياء كما جاءت ويؤمن بها ولا تفَسَّر، ولا تُتَوَهَّم، ولا يقال كيف، وهذا أمر أهل العلم الذي اختاروه وذهبوا إليه".اهـ

Madzhab ulama dari kalangan para imam seperti Sufyan ats-Tsauri, Malik bin Anas, Ibnu al-Mubarak, Ibnu ‘Uyaynah, Waki’ dan lainnya adalah bahwa mereka meriwayatkan semua ini, kemudian mereka berkata: Hadits-hadits ini diriwayatkan dan kita beriman kepadanya dan tidak ditanya bagaimana (kaifiyat) ? Inilah yang dipilih oleh Ahli Hadits, diriwayatkan hal-hal ini seperti apa adanya, diimani dan tidak ditafsirkan, tidak dikhayalkan (seperti makhluk), juga tidak ditanyakan kaifiyatnya. Inilah keadaan para ulama yang mereka pilih dan menjadi madzhab mereka. 

Posting Komentar untuk "Sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala (A-007 Bagian 3)"