Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala (A-007) Bagian 2



📚 Dalil ‘Aqli dalam Pembahasan Sifat Allah

✅ Yang dimaksud dalil adalah :

ما يمكن التوصل بصحيح النظر فيه إلى مطلوب خبري

Segala hal yang dengan pengamatan yang benar terhadapnya akan mengantarkan kepada informasi yang dituju.

✅ Sedangkan yang dimaksud akal dalam pembahasan ini adalah:

القوة المتهيئة لقبول العلم

Kekuatan yang siap untuk menerima ilmu.

Fakhruddin al-Razi menyatakan bahwa akal itu sejenis gharizah (insting) yang tidak dapat dilepaskan dari ilmu yang bersifat aksiomatik seperti pengetahuan bahwa satu itu lebih kecil dari dua, bahwa jisim (tubuh) itu mustahil diam dan bergerak sekaligus di waktu yang sama dilihat dari sudut pandang yang sama.

✅ Jadi dalil aqli adalah dalil yang bersumber dari logika akal.

📎 Para ulama Aqidah baik dari madzhab Asy’ari, Maturidi, maupun Hambali sepakat bahwa dalil aqli yang qath’i (pasti dan mutlak kebenarannya) digunakan dalam Aqidah. Ketiganya juga sepakat bahwa dalil ‘aqli yang qath’i tidak mungkin bertentangan dengan dalil naqli (wahyu) yang qath’i pula.

✅ Dalil naqli (ayat al-Quran atau Hadits) dikatakan qath’i jika diriwayatkan dengan sanad mutawatir (qath’i tsubut) sekaligus hanya mengandung penafsiran tunggal (qath’i dalalah) dimana indikatornya adalah para ulama yang kompeten bersepakat tentang tafsirnya. Jika salah satunya tidak terpenuhi maka dalil naqli tersebut dinilai zhanni (kebalikan dari qath’i). 

✅ Seluruh ayat Al-Qur’an adalah qathi tsubut, namun tidak semuanya qath’i dalalah dimana para ulama yang kompeten di bidang ini berbeda pendapat dalam menafsirkannya (istilahnya zhanni dalalah). Sedangkan hadits Rasulullah ﷺ mayoritasnya adalah riwayat ahad atau tidak mutawatir (zhanni tsubut) dan juga zhanni dalalah.

📎 Perbedaan pendapat antara madzhab Asy’ari, Maturidi, dan sebagian ulama Hambali di satu pihak dengan sebagian lain dari ulama madzhab Hambali di pihak lain dalam memahami sebagian sifat Allah adalah : 

✅ Apakah dalil aqli yang qath’i wajib menjadi alasan tidak boleh menafsirkan ayat atau hadits yang zhanni tentang sifat Allah dengan makna lahiriahnya yang menyerupai sifat makhluk? Lalu memilih sikap menyerahkan makna sebenarnya kepada Allah saja (tafwidh) atau memilih pilihan kedua yaitu mengambil makna kiasan yang mungkin sesuai kaidah bahasa Arab (ta-wil) ? 

✅ Ulama Asy’ariyah, Maturidiah dan sebagian Hambaliyah menyatakan wajib, selanjutnya mereka memilih salah satu diantara tafwidh atau ta-wil. 

✅ Sementara ulama Hambaliyah yang lain menyatakan bahwa dalil ‘aqli yang dianggap qath’i itu haram dijadikan alasan tafwidh atau ta-wil, karena status qath’i dari dalil ‘aqli tersebut tidak benar atau diragukan, sehingga mereka memilih wajib itsbat al-ma’na azh-zhahir (wajib menetapkan makna lahiriah). 

✅ Mayoritas ulama tentunya “tidak asal comot” apa saja yang dianggap tidak sesuai dalil ‘aqli (padahal hanya syubhat) lalu digunakan sebagai alasan untuk melakukan tafwidh atau ta-wil. Tetapi yang mereka jadikan alasan hanyalah dalil ‘aqli yang sudah mereka teliti dan uji sebagai dalil ‘aqli yang qath’i.

📎 Contoh dalil ‘aqli yang qath’i menurut jumhur ulama Aqidah :

✅ Sesuatu yang menempati hayyiz (space/bidang), maka ia pasti diam pada hayyiz itu atau bergerak darinya. Sementara, baik bergerak maupun diam itu huduts (berawal), maka yang tidak bisa lepas dari sifat huduts pasti huduts, dan yang huduts pasti makhluk (ciptaan).

Atau

✅ Hayyiz (bidang) itu makhluk, dan setiap yang menempati hayyiz atau menyatu dengannya pasti makhluk. Allah bukan makhluk, maka Allah mustahil menempati hayyiz.

📎 Dalil ‘aqli bahwa Allah tidak bertempat itu diyakini qath’i, dan keyakinan itu bertambah karena ia sangat sesuai dengan dalil naqli seperti sabda Rasulullah ﷺ :

«كَانَ اللَّهُ وَلَمْ يَكُنْ شَيْءٌ غَيْرُهُ، وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى المَاءِ ..»

Allah telah ada dan selainNya tidak ada. Dan arsy-Nya ada di atas air.. (HR. al-Bukhari no 3191).

✅ Ibnu Hajar al-‘Asqalani menyebutkan:

وَالْمرَادُ بِـ"كان" فِي الْأَوَّلِ الْأَزَلِيَّةُ وَفِي الثَّانِيِ الْحُدُوثُ بَعْدَ الْعَدَمِ (فتح الباري 6/289)

Maksud dari kata “kaana” yang pertama adalah azaliyah (tak berawal), sedangkan yang kedua (untuk arsy) adalah huduts (berawal) setelah tidak ada (sebelumnya). (Fath al-Bari 6/289).

Jika Dzat Allah ta’ala tidak bertempat karena tempat belum ada, maka mustahil DzatNya kemudian menjadi bertempat setelah Dia menciptakannya, artinya mustahil Dia yang Mahaagung mengalami perubahan pada DzatNya, karena perubahan adalah bukti huduts, dan huduts adalah sifat makhluk.

✅ Al-Imam Abu Ja’far ath-Thahawi al-Hanafi menyatakan dalam matan aqidahnya yang terkenal, dan beliau menisbatkannya kepada aqidah al-Imam Abu Hanifah dan kedua murid utamanya Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan asy-Syaibani rahimahumullah bahwa :

وَتَعَالَى عَنِ الْحُدُودِ وَالْغَايَاتِ وَالْأَرْكَانِ وَالْأَعْضَاءِ وَالْأَدَوَاتِ لَا تَحْوِيهِ الْجِهَاتُ السِّتُّ كَسَائِرِ الْمُبْتَدَعَاتِ

Dan Mahatinggi (Allah) dari berbagai pembatasan, dari keberakhiran, rukun (bagian-bagian utama), anggota-anggota tubuh, dan berbagai peralatan. 6 arah (atas, bawah, kanan, kiri, depan, belakang) tidak lah melingkupiNya seperti seluruh makhluk ciptaan.

📎 Sehingga menurut ulama Asy’ariyah dan Maturidiyah, serta sebagian Hanabilah/Hambaliyah :

✅ Jika ada ayat-ayat Al-Qur’an yang makna lahiriyahnya bertentangan dengan dalil ‘aqli qath’i tersebut, makna makna lahiriyah itu wajib ditolak, bukan ayatnya. Selanjutnya makna yang benar diserahkan kepada Allah (tafwidh), atau dimaknai dengan berbagai makna kiasan (ta-wil) yang mungkin yang sesuai dengan seluruh dalil yang ada, baik dalil naqli maupun ‘aqli dan sesuai dengan kaidah bahasa Arab. 

✅ Begitu juga sikap terhadap hadits mutawatir jika ada yang seperti itu.

✅ Jika yang mengandung makna lahiriyah yang bertentangan dengan dalil ‘aqli qath’i tersebut adalah hadits ahad yang shahih, maka makna lahiriyahnya itu wajib ditolak, bukan haditsnya. Selanjutnya sama seperti penjelasan sebelumnya tentang ayat Al-Qur’an.

✅ Jika hadits ahad tersebut shahih sanadnya namun redaksinya sangat tegas bermakna lahiriyah yang bertentangan dengan dalil ‘aqli qath’i tersebut dan tidak mungkin dita-wil / ditafsirkan lain, maka hadits ahad ini dianggap memiliki ‘illat (cacat) pada matan (redaksinya), maka ia bukanlah hadits shahih karena syarat hadits shahih tidak semuanya terpenuhi padanya, sehingga ia tidak digunakan sebagai dalil. Apalagi, jika hadits ahad tersebut tidak memenuhi syarat shahih pada sanadnya, tentu saja tidak boleh menjadi dalil untuk menetapkan keyakinan.

📎 Al-Ghazali yang memilih madzhab ta-wil menyatakan dalam kitabnya al-Iqtishad fi al-I'tiqad kapan harus melakukan ta-wil:

وأما ما قضى العقل باستحالته فيجب فيه تأويل ما ورد السمع به ولا يتصور أن يشمل السمع على قاطع مخالف للمعقول، وظواهر أحاديث التشبيه أكثرها غير صحيحة، والصحيح منها ليس بقاطع بل هو قابل للتأويل، فإن توقف العقل في شيء من ذلك فلم يقض فيه باستحالة ولا جواز وجب التصديق أيضاً لأدلة السمع ..

ِHal yang akal menetapkannya sebagai mustahil, maka dalil sam'i (naqli) yang menyebutkannya harus dita-wil (karena) tidak terbayang sesuatu yang menurut dalil naqli adalah qath'i (tapi) bertentangan dengan dalil 'aqli (qath'i juga). Lahiriyah hadits-hadits tasybih mayoritasnya tidak shahih. Yang shahih darinya pun tidak qath'i, namun bisa dita-wil. Jika akal tidak dapat memastikan mustahil atau mungkinnya hal itu, maka wajib mengimaninya karena dalil sam'i (naqli) menyebutkannya.. (al-Iqtishad, hlm 116).

✅ Perlu ditegaskan pula bahwa ulama yang memilih tafwidh tetap meyakini bahwa lafal ayat atau hadits tentang sifat Allah yang mungkin dipahami tasybih (makna lahiriyahnya dipahami menyerupai makhluk oleh banyak orang), pasti mengandung makna (arti) yang tepat. Bukan seperti anggapan sebagian kalangan bahwa mereka mengatakan tidak ada maknanya, tidak demikian. Yang mereka tolak hanya makna lahiriyah yang menyerupai makhluk. Namun sebagian ulama Asy’ariyah terutama para pendahulunya lebih memilih meyerahkan apa makna yang tepat itu kepada Allah (tafwidh), sedangkan sebagian generasi belakangan diantara mereka memilih berbagai kemungkinan makna kiasan (ta-wil) terutama karena kebutuhan menjelaskannya kepada orang awam.

📎 Jumhur ulama menggunakan dalil ‘aqli qath’i untuk menetapkan masalah aqidah karena beberapa sebab, diantaranya :

✅ Mempercayai al-Qur’an dan as-Sunnah serta berdalil dengan keduanya tergantung kepada ilmu tentang kebenaran dan kejujuran Rasul Allah, sementara ilmu tentang kebenaran dan kejujuran Rasul itu ditunjukkan atau dibuktikan oleh mu'jizatnya, dan kebenaran mu'jizatnya disimpulkan melalui kesaksian dan atau nazhar (pengamatan) akal sehat (dalil ‘aqli), bukan oleh dalil naqli (al-Quran dan Sunnah) sendiri. Karena jika ditunjukkan oleh dalil naqli berarti telah terjadi siklus dan itu tidak dibenarkan. 

✅ Dengan kata lain, penjelasan ketidakbenarannya seperti ini :
Ikutilah al-Qur’an dan Hadits ! 

Mengapa? Karena keduanya adalah firman Allah.
Mengapa kita harus percaya bahwa keduanya adalah firman Allah? Karena keduanya disampaikan oleh Muhammad utusan Allah.
Mengapa kita harus percaya bahwa Muhammad itu utusan Allah? Karena Muhammad mengaku demikian dan dia benar dan jujur.
Dari mana kita tahu bahwa Muhammad itu benar dan jujur? Dari Al-Qur’an dan Sunnah yang mengatakan begitu.

اللهم صل وسلم وبارك على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه

✅ Jadi berargumentasi untuk menyatakan kebenaran dalil naqli (Al-Qur’an dan Sunnah) dengan menggunakan dalil naqli juga (meskipun di ujungnya), ia disebut daur (siklus) dalam berdalil, dan ini tidak diterima logika akal sehat.

Maka sebagaimana dalil ‘aqli yang qath’i dapat menetapkan kebenaran aqidah islamiyah dari awalnya, maka ia pun dapat menjadi panduan untuk memahami dalil naqli yang zhanni tentang detil-detil masalah aqidah lainnya.

✅ Alasan lain menggunakan dalil ‘aqli qath’i dalam masalah aqidah terutama terkait dengan sifat Allah adalah karena para ulama menghadapi perdebatan dengan orang-orang musyrik bahkan ateis yang tentu saja tidak beriman dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Maka untuk menjelaskan kepada mereka tentang wujud Allah misalnya, atau tentang keesaan Allah, atau bahwa Allah tidak mungkin sama dengan makhluk, para ulama menggunakan dalil ‘aqli yang sudah mereka pastikan kebenarannya, yang juga diakui kebenarannya oleh pihak lawan dalam perdebatan.

📎 Syubhat :

"Kita tidak boleh menggunakan akal dalam membahas sifat Allah karena tidak ada yang mustahil bagi Allah."

✅ Yang memiliki syubhat seperti di atas biasanya adalah orang yang belum tahu perbedaan antara mustahil menurut akal (mustahil 'aqlan) dan mustahil menurut kebiasaan yang berlaku (mustahil 'adatan) yang dimaksud oleh para ulama Aqidah. Mustahil menurut akal itu tidak mungkin terjadi kapan pun, seperti Tuhan itu lebih dari satu, Tuhan bertempat dan sejenisnya, sementara mustahil menurut kebiasaan bisa saja terjadi di masa yang akan datang. (Akan dibahas pada postingan yang lain insya Allah).

✅ Syubhat di atas akan membuka pintu atheisme, dan bisa menutup pintu masuk Islam bagi non muslim. Mengapa? Orang kafir yang menyekutukan Allah dapat mengatakan bahwa "Tuhan telah berkehendak Dia memiliki anak dan sekutu, sebab tidak ada yang mustahil bagi Tuhan".

Mungkin pemilik syubhat di atas akan menyatakan : "Tapi kan itu bisa dibantah dengan ayat Al-Qur'an dan Hadits tentang tauhid".
Hai .. orang kafir itu tidak percaya kepada Al-Qur'an dan Hadits ! Gunakan Al-Qur'an dan Hadits kalau mereka sudah masuk Islam. Yang bisa meyakinkan manusia apapun agamanya tentang keesaan Tuhan adalah logika akal yang bisa dipahami oleh semua manusia yang berakal.
Jika semua agama termasuk Islam menolak dalil aqli, pada akhirnya manusia memiliki alasan untuk menjadi anti Tuhan.

Posting Komentar untuk "Sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala (A-007) Bagian 2"