Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Al-Mandub (As-Sunnah) (UF-006)


📚 An-Nadb dan Al-Mandub
(الندب والمندوب)

✅ Pada pembahasan UF-005 Bagian 1 dan 2 yang lalu telah dijelaskan tentang hukum taklifi yang pertama yaitu ijab dan wajib, dimulai dari pengertian ijab dan wajib, ungkapan apa saja yang menunjukkan wajib, wajib dengan fardh adakah perbedaannya?, dan jenis-jenis wajib.  

Bagi yang ingin membacanya kembali silakan klik link berikut:

✅ Kali ini kita akan membahas hukum taklifi yang kedua yaitu nadb dan mandub.

📌 Pengertian An-Nadb dan Al-Mandub

الندب: طلب الشارع الفعل على سبيل الترجيح لا الإلزام

An-Nadb adalah tuntutan syariat untuk melakukan sesuatu dengan tarjih saja, bukan ilzam.

✅ Yang dimaksud tarjih adalah menyebutkan bahwa melakukannya lebih baik dan tentunya meraih keutamaan. Adapun bukan ilzam artinya adalah tidak mewajibkan sehingga meninggalkannya tidaklah berdosa.

✅ Perbuatan yang dinadb oleh syariat disebut mandub (yang dianjurkan).

✅ Sedangkan definisi mandub adalah:

والمندوب: ما طلب الشارع فعله طلبا غير جازم. 

أو هو: ما يمدح فاعله ولا يذم تاركه. 
ويقال له: سنة، ومستحب، ونافلة، وتطوع، وإحسان، وفضيلة، ومرغب فيه.

Definisi mandub adalah sesuatu yang dianjurkan oleh syariat untuk dilaksanakan. (Ushul Al-Fiqh Al-Islami, Muhammad Az-Zuhaili, hlm 273).

Atau sesuatu yang pelakunya dipuji dan orang yang meninggalkannya tidak dicela. Sebutan lain untuk mandub adalah sunnah, mustahab, nafilah, tathawwu’, ihsan, fadhilah, atau muragh-ghab fih. (Irsyad Al-Fuhul, Asy-Syaukani, hlm 23; Al-Wajiz, Abdul Karim Zaidan, hlm 39). 

📌 Urgensi Mandub

✅ Dari definisi yang kedua dapat kita simpulkan bahwa pelaku mandub berhak mendapatkan pahala dari Allah subhanahu wata’ala, dan orang yang meninggalkannya tidak dikenakan sanksi. 

✅ Orang yang meninggalkan mandub tidak dapat dicela jika kita memandang mandub dari sudut pandang satu demi satu perbuatan mandub tersebut atau jika ia meninggalkannya sesekali. Namun bila seseorang meninggalkannya terus menerus maka hal tersebut dapat mengurangi nilai keberagamaannya.

✅ Mandub juga tidak boleh ditinggalkan melalui kesepakatan kolektif tanpa alasan yang dibenarkan, atau tidak ada yang mengerjakannya sama sekali. Al-Imam Asy-Syathibi rahimahullah mengatakan dalam Al-Muwafaqat: 

“Penduduk negeri yang meninggalkan adzan berhak untuk diperangi…, menikah memiliki tujuan-tujuan yang diinginkan oleh syari’at seperti memperbanyak jumlah ummat, memelihara keberlangsungan jenis manusia, dan lain-lain, maka meninggalkan pernikahan secara jama’i (kolektif) jelas akan mempengaruhi kondisi keberagamaan ummat jika dilakukan terus-menerus…” (Al-Muwafaqat, Asy-Syathibi, 1/133).

✅ Urgensi mandub dapat pula kita lihat dari kedudukannya sebagai khadim lil-wajib (pembantu dan pendukung kewajiban), karena mandub dapat menutupi kekurangan yang terdapat pada pelaksanaan kewajiban, atau sebagai penghapus dosa-dosa kecil seperti pada shalat sunnah dua rakaat yang dilakukan dengan khusyu’ setelah berwudhu sebagaimana yang disebutkan dalam hadits riwayat  Al-Bukhari dan Muslim.

📌 Ungkapan-Ungkapan yang Menunjukkan Nadb
(من الأساليب التي تفيد الندب)
(Lihat: Ushul Al-Fiqh Al-Islami, Muhammad Az-Zuhaili, hlm 276-277)

Diantara ungkapan-ungkapan yang menunjukkah nadb adalah :

📎 التعبير الصريح بلفظ (الندب) أو (السنة) وما اشتق منهما.

📎 Ungkapan nadb atau sunnah atau pecahan katanya, seperti hadits Rasulullah saw:

((سننت لكم قيامه)) (رواه النسائي وابن ماجه).

Telah kusunnahkan bagi kalian qiyam Ramadhan (HR. Nasa-i dan Ibnu Majah).

📎 الأمر مع قرينة صارفة له عن الوجوب.

📎 Perintah, tetapi terdapat ungkapan atau dalil yang menunjukkan tidak wajib, seperti firman Allah subhanahu wata’ala:

((يا أيها الذين آمنوا إذا تداينتم بدين إلى أجل مسمى فاكتبوه))

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. (QS. Al-Baqarah: 282).

✅ Kata perintah dalam ayat di atas tidak menunjukkan kewajiban karena terdapat dalil berupa ayat berikutnya yang menyatakan bahwa jika pemberi pinjaman percaya kepada si peminjam ia boleh tidak mencatatnya, Allah berfirman:

((فإن أمن بعضكم بعضا فليؤد الذي اؤتمن أمانته))

Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanat (hutangnya). (QS. Al-Baqarah: 283).

📎 عدم ترتيب العقوبة على ترك الفعل.

📎 Tidak adanya ancaman siksa akibat meninggalkannya, seperti hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :

((إن الله يحب أن تؤتى رخصه كما يحب أن تؤتى عزائمه)) (رواه أحمد والبيهقي والطبراني).

Sesungguhnya Allah mencintai bila rukhshahNya digunakan sebagaimana ia mencintai jika azimahNya digunakan. (HR. Ahmad, Al-Baihaqi, dan Ath-Thabarani). 

✅ Hadits ini tidak mengandung ancaman siksa bagi orang yang tidak mengambil rukhshah.

✅ Catatan: 
Rukhshah adalah keringanan atau pilihan yang lebih mudah yang disediakan syariat, sedangkan ‘azimah adalah hukum asal sebelum ada keringanan. Akan dijelaskan ketika membahas tentang hukum wadh’i dengan izin Allah.

📎 الأساليب العربية الأخرى التي تدل على عدم الإلزام وبدون ترتيب العقوبة على التارك.

📎 Ungkapan lain dalam bahasa Arab yang tidak mewajibkan dan tidak juga mengancam orang yang meninggalkannya, seperti hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

((من توضأ يوم الجمعة فبها ونعمت، ومن اغتسل فالغسل أفضل)) (رواه أحمد وأبو داود والترمذي والنسائي وابن خزيمة عن سمرة)).

Barangsiapa berwudlu pada hari Jum’at, maka alangkah baiknya, dan siapa yang mandi maka hal itu lebih baik. (HR. Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa-i, dan Ibnu Khuzaimah dari Samurah radhiyallahu ‘anhu). 

📌 Tingkatan Mandub

📎 السنة المؤكدة (سنة الهدى): ما واظب عليه النبي صلى الله عليه وسلم ولم يتركه إلا نادرا ليبين أنه ليس بواجب.

📎 Sunnah mu-akkadah (sunnatul-huda), yaitu sunnah yang selalu dilaksanakan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, dan hanya sesekali beliau tinggalkan untuk menunjukkan bahwa ia bukanlah kewajiban. 

✅ Orang yang meninggalkan sunnah mu-akkadah ini tanpa alasan yang dibenarkan berhak untuk ditegur, meskipun ia tidak berdosa, karena ia telah meninggalkan sesuatu yang hampir tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah saw. Diantara mandub jenis ini adalah adzan, berkumur dan membersihkan hidung ketika wudhu, dua rakaat sebelum subuh, dua rakaat setelah zhuhur, maghrib, dan ‘isya, shalat berjama’ah, membaca surat lain atau ayat setelah surat al-fatihah dalam shalat, menikah bagi yang mampu dalam kondisi normal, dan lain-lain. 
(Al-Wajiz, Abdul Karim Zaidan, hlm 39; Ushul Al-Fiqh, Muhammad Abu Zahrah, hlm 39; Ushul Al-Fiqh Al-Islami, Muhammad Az-Zuhaili, hlm 280).

📎 السنة غير المؤكدة: ما لم يداوم عليه النبي صلى الله عليه وسلم، ويسمى مستحبا أو نافلة.

📎 Sunnah ghairu mu-akkadah, ialah sunnah yang tidak dilanggengkan pelaksanaannya oleh Rasulullah saw, dan disebut juga dengan mustahab atau nafilah. 

✅ Orang yang meninggalkan mandub jenis ini tidak dapat ditegur seperti jika ia meninggalkan sunnah mu-akkadah. Yang termasuk di dalamnya adalah shadaqah kepada orang yang tidak amat membutuhkan, shalat dhuha, empat rakaat sebelum zhuhur, shalat sunnah sebelum ashar, maghrib, dan ‘isya, puasa Senin Kamis, dan sebagainya. 
(Al-Wajiz, Abdul Karim Zaidan, hlm 39; Ushul Al-Fiqh, Muhammad Abu Zahrah, hlm 39; Ushul Al-Fiqh Al-Islami, Muhammad Az-Zuhaili, hlm 280).

📎 السنة الزائدة: وهي أفعال الرسول صلى الله عليه وسلم الجبلية التي يفعلها بحكم صفته البشرية، وتسمى بالأدب والفضيلة.

📎 Sunnah zaidah, ialah perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang terkait dengan kebiasaan beliau di luar ibadah mahdhah selama tidak ada larangan dari beliau jika kita meninggalkannya, seperti adab makan, minum dan tidur, gaya berjalan, berpakaian putih, dan sejenisnya. 

✅ Orang yang melaksanakan sunnah zaidah ini mendapat pahala jika ia melakukannya dengan niat iqtida (meneladani) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mandub jenis ini disebut juga adab atau fadhilah.
(Al-Wajiz, Abdul Karim Zaidan, hlm 39; Ushul Al-Fiqh, Muhammad Abu Zahrah, hlm 39-40; Ushul Al-Fiqh Al-Islami, Muhammad Az-Zuhaili, hlm 281).

Posting Komentar untuk "Al-Mandub (As-Sunnah) (UF-006)"