Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

PELAJARAN FIQIH DA’WAH dari NABI HARUN & NABI MUSA ‘alaihimassalam


📌  Tak lama setelah Bani Israil diselamatkan dengan ditenggelamkannya Firaun, dan setelah Allah menurunkan rizki kepada mereka berupa manna dan salwa, Nabi Musa alaihissalam meninggalkan kaumnya untuk bergegas memenuhi janji bertemu dengan Allah di bukit Thursina selama 40 malam, yaitu 30 malam di bulan Dzul Qa’dah dan 10 malam awal Dzulhijjah sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Jarir Ath-Thabari (13/86-87).

📌  Sebelum berangkat Nabi Musa telah berpesan kepada saudara kandungnya, Nabi Harun alaihissalam, untuk menggantikannya memimpin Bani Israil selama ia pergi.
 
وَوَاعَدْنَا مُوسَى ثَلَاثِينَ لَيْلَةً وَأَتْمَمْنَاهَا بِعَشْرٍ فَتَمَّ مِيقَاتُ رَبِّهِ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً وَقَالَ مُوسَى لِأَخِيهِ هَارُونَ اخْلُفْنِي فِي قَوْمِي وَأَصْلِحْ وَلَا تَتَّبِعْ سَبِيلَ الْمُفْسِدِينَ

Dan telah Kami janjikan kepada Musa tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi), maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Rabb-nya: empat puluh malam. Dan berkata Musa kepada saudaranya yaitu Harun: "Gantikanlah aku dalam (memimpin) kaumku, dan perbaikilah, dan janganlah kamu mengikuti jalan orang-orang yang membuat kerusakan." (QS. Al-A’raf: 142).

📌 Singkat cerita, setelah Nabi Musa pergi, Samiri berhasil menyesatkan sebagian besar Bani Israil dengan penyembahan patung anak sapi. Nabi Harun menjalankan tugas da’wah sebagai Nabi dan pemimpin mereka, sekaligus menunaikan pesan Nabi Musa dengan mencegah mereka dari kesesatan dan berusaha membimbing mereka kembali ke jalan yang lurus:

وَلَقَدْ قَالَ لَهُمْ هَارُونُ مِنْ قَبْلُ يَاقَوْمِ إِنَّمَا فُتِنْتُمْ بِهِ وَإِنَّ رَبَّكُمُ الرَّحْمَنُ فَاتَّبِعُونِي وَأَطِيعُوا أَمْرِي قَالُوا لَنْ نَبْرَحَ عَلَيْهِ عَاكِفِينَ حَتَّى يَرْجِعَ إِلَيْنَا مُوسَى

Dan sesungguhnya Harun telah berkata kepada mereka sebelumnya: "Hai kaumku, sesungguhnya kamu hanya diberi cobaan dengan anak lembu itu, dan sesungguhnya Rabb kalian ialah Ar-Rahman (Yang Maha Pemurah), maka ikutilah aku dan taatilah perintahku." Mereka menjawab: "Kami akan tetap menyembah patung anak lembu ini, hingga Musa kembali kepada kami." (QS. Thaha: 90-91).

📌 Mereka tidak menaati nasihat Nabi Harun, bahkan mereka hampir membunuh beliau:

إِنَّ الْقَوْمَ اسْتَضْعَفُونِي وَكَادُوا يَقْتُلُونَنِي

Sesungguhnya kaum ini telah menganggapku lemah dan hampir-hampir mereka membunuhku. (QS. Al-A’raf: 150).

📌 Nabi Musa marah saat melihat kesesatan kaumnya, lalu mendatangi mereka untuk meluruskan mereka kembali (lihat surat Thaha: 86-89).
Setelah itu, barulah ia menegur Nabi Harun:

قَالَ يَاهَارُونُ مَا مَنَعَكَ إِذْ رَأَيْتَهُمْ ضَلُّوا أَلَّا تَتَّبِعَنِ أَفَعَصَيْتَ أَمْرِي

Berkata Musa: "Hai Harun, apa yang menghalangi kamu ketika kamu melihat mereka telah sesat, (sehingga) kamu tidak mengikuti aku? Maka apakah kamu telah mendurhakai perintahku? (QS. Thaha: 92-93).

📌 Para ulama tafsir menyebutkan maksud teguran Nabi Musa kepada Nabi Harun (ألا تتبعن) “Mengapa kamu tidak mengikuti aku?”:

✅    Mengapa kamu tidak segera pergi menyusulku bersama kelompok yang tetap beriman untuk memberitahuku tentang kesesatan mereka? (Ath-Thabari: 18/359; Ibnu Katsir: 5/312).
✅    Mengapa engkau tidak perangi mereka, karena engkau tahu kalau aku ada saat itu, pasti aku akan perangi mereka. (Zad Al-Masir: 3/172, Al-Baghawi: 3/272-273).
✅    Mengapa engkau tidak mengikutiku dengan mengingkari kemunkaran mereka? (Zad Al-Masir: 3/172, Fath Al-Qadir: 3/451). Jika yang dimaksud adalah mengingkari dengan lisan, maka Nabi Harun telah melakukannya seperti yang disebutkan oleh surat Thaha ayat 90. Berarti yang dituntut Nabi Musa adalah pengingkaran dengan tangan.

📌 Atas pertanyaan saudara kandungnya, Nabi Harun menjawab:

قَالَ يَبْنَؤُمَّ لَا تَأْخُذْ بِلِحْيَتِي وَلَا بِرَأْسِي إِنِّي خَشِيتُ أَنْ تَقُولَ فَرَّقْتَ بَيْنَ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلَمْ تَرْقُبْ قَوْلِي

"Hai putera ibu, janganlah kamu pegang janggutku dan jangan (pula) kepalaku; sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan berkata (kepadaku): "Kamu telah memecah antara Bani Israil dan kamu tidak memelihara (memperhatikan) ucapanku." (QS. Thaha: 94)

📚  Pelajaran Fiqih Da’wah dari Nabi Harun ‘alaihissalam:

1. Nasihat Nabi Harun kepada kaumnya menunjukkan urutan tema da’wah yang sangat indah:

✅   Sesungguhnya kamu hanya diuji dengan anak lembu itu: ini merupakan bentuk إزالة الشبهات (upaya melenyapkan syubhat aqidah dan pemahaman) dengan mengingatkan mereka agar jangan mudah terperosok kepada kesesatan hanya oleh seorang Samiri, padahal mereka telah meilhat berbagai mu’jizat dan ni’mat Allah melalui Nabi Musa alaihissalam.
✅   Dan sesungguhnya Rabb kalian ialah Ar-Rahman: mengingatkan mereka dengan معرفة الله (ma’rifatullah), sebagai asas iman yang benar.
✅  Maka ikutilah aku: mengingatkan mereka dengan معرفة النبوة mengenal kenabian agar dibimbing oleh utusan Allah.
✅   Dan taatilah perintahku: mengingatkan mereka untuk اتباع الشريعة (mengikuti syariat) sebagai jalan hidup yang lurus. (Lihat Mafatih Al-Ghaib, Al-Razi: 22/92).

2. Ucapan Nabi Harun “Wahai putra ibu..” menunjukkan posisi seorang ibu yang amat penting bagi kedekatan anak-anaknya dengan kasih sayangnya yang melebihi seorang ayah. Nabi Harun mengingatkan Nabi Musa dengan ibu mereka berdua untuk meredakan kemarahan Nabi Musa kepadanya, meskipun mereka berdua adalah saudara kandung seayah dan seibu.

3. Nabi Harun ‘alaihissalam mengetahui kapasitas dirinya sehingga ia tidak melakukan tindakan yang dapat menimbulkan akibat lebih buruk. Akan berbeda akibatnya jika yang melakukannya adalah Nabi Musa, karena ia lebih memiliki kharisma dari pada Nabi Harun. Ini tersirat dari ucapannya: “Sesungguhnya kaum ini telah menganggapku lemah.”

4. Ada fiqih muwazanat (timbangan maslahat & madharat) dan fiqih awlawiyat (prioritas) yang diperhatikan oleh Nabi Harun yang terlihat dari jawabannya atas teguran Nabi Musa (Thaha: 94).

Menurut Nabi Harun:

✅ Maslahat tetap membersamai ummat yang tersesat lebih besar dari pada maslahat meninggalkan mereka untuk menyusul Nabi Musa. 
✅  Madharat perpecahan ummat jauh lebih besar dari pada madharat tidak berlaku keras atau tidak memerangi kelompok yang menyimpang, meskipun peyimpangan dan kesesatan mereka sangat nyata, dan meskipun beliau juga seorang nabi yang memiliki legalitas dan wewenang tinggi untuk berlaku keras.
Artinya Nabi Harun memprediksi akan terjadi perpecahan bahkan perang saudara jika ia dan orang-orang yang tetap beriman bersikap keras. Kesesatan mereka bisa diatasi saat Musa kembali sehingga Nabi Harun lebih memilih sabar. Sedangkan nyawa yang hilang tak dapat dikembalikan, juga keutuhan ummat sulit dipulihkan setelah cerai berai oleh perang meskipun Nabi Musa telah kembali. 
Tentu, muwazanah seperti muwazanah Nabi Harun lebih layak diperhatikan terhadap hal-hal yang "penyimpangannya" masih diperdebatkan.

📚  Pelajaran Fiqih Da’wah dari Nabi Musa ‘alaihissalam

1. Kemarahan karena Allah tatkala melihat kemunkaran yang jelas dan tak ada perbedaan pendapat tentang status munkarnya. Ini adalah sikap yang wajib dimiliki oleh setiap juru da'wah dan organisasi da'wah. Meskipun ekspresi kemarahan itu harus dikontrol dengan berbagai fiqih, seperti fiqih awlawiyat, fiqih muwazanat, fiqih ma-alat...

2. Nabi Musa melakukan empat hal berurutan yang menunjukkan kapasitas dan ketegasannya sebagai seorang pemimpin yang mampu menyelesaikan masalah:

✅   Berdialog dengan kaumnya yang tersesat untuk mengetahui masalah dan meluruskan mereka, karena mereka yang paling bertanggung jawab atas diri mereka sendiri, dan mereka punya kehendak untuk tetap istiqamah.
✅   Berbicara kepada saudaranya, Nabi Harun, yang telah diamanahkan memimpin mereka.
✅   Menyelesaikan urusan dengan Samiri, sebagai penyebab kesesatan kaumnya dan memberikan hukuman diusir dan dikucilkan dari pergaulan hingga akhir hayatnya (lihat: Thaha: 95-97).
✅   Membakar patung anak sapi dan membuang abunya ke laut (lihat: Thaha: 97-98).

إِنَّمَا لَمْ يَتَوَجَّهْ إِلَيْهِ مُنْذُ الْبَدْءِ، لِأَنَّ القَوْمَ هُمُ الْمَسْئُولُونَ أَلَّا يَتَّبِعُوا كُلَّ نَاعِقٍ، وَهَارُونُ هُوَ الْمَسْئُولُ أَنْ يَحُولَ بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ اتِّبَاعِهِ إِذَا هَمُّوا بِذَلِكَ وَهُوَ قَائِدُهُمْ الْمُؤْتَمَنُ عَلَيْهِمْ. فَأَمَّا السَّامِرِيّ فَذَنْبُهُ يَجِيءُ مُتَأَخِّرًا لِأَنَّهُ لَمْ يَفْتِنْهُمْ بِالْقُوَّةِ، وَلَمْ يَضْرِبْ عَلَى عُقُولِهِمْ، إِنَّمَا أَغْوَاهُمْ فَغَوَوْا، وَكَانُوا يَمْلِكُونَ أَنْ يَثْبُتُوا عَلَى هُدَى نَبِيِّهِمُ الأَوَّلِ وَنُصْحِ نَبِيِّهِمُ الثَّانِي. فَالتَّبَعَةُ عَلَيْهِمْ أَوَّلًا وَعَلَى رَاعِيهِمْ بَعْدَ ذَلِكَ ثُمَّ عَلَى صَاحِبِ الْفِتْنَةِ وَالْغَوَايَةِ أَخِيرًا.

Nabi Musa tidak langsung mengarahkan kemarahannya kepada Samiri, karena kaumnyalah yang bertanggung jawab (atas diri mereka sendiri) untuk tidak mengikuti semua seruan penyesat. Sedangkan Harun dialah mas-ul yang bertanggung jawab menghalangi mereka dari keinginan mengikuti kesesatan, dan ia adalah pemimpin yang diamanahi atas mereka. Adapun Samiri, dosanya datang belakangan karena ia tidak menyesatkan mereka dengan kekuatan (paksaan), juga tidak menghilangkan akal mereka. Tetapi ia hanya mengajak mereka lalu mereka menyambut kesesatannya. Mereka tetap memiliki pilihan untuk tsabat (teguh) di atas petunjuk Nabi mereka yang pertama dan mengikuti nasihat Nabi mereka yang kedua. Jadi tanggung jawab tetap pada mereka pertama kali, kemudian di pundak pemimpin mereka, kemudian terakhir adalah tanggung jawab pemilik (ide) kerusakan dan kesesatan (Samiri). (Fi Zhilal Al-Quran: 4/2348).

Posting Komentar untuk "PELAJARAN FIQIH DA’WAH dari NABI HARUN & NABI MUSA ‘alaihimassalam"