Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Fiqih Puasa (F-007) Bagian 5


📚 Beberapa Hal Terkait I’tikaf

📕 Matan Abu Syuja’

وَالِاعْتِكَافُ سُنَّةٌ مُسْتَحَبَّةٌ، وَلَهُ شَرْطَانِ: اَلنِّيَّةُ وَاللُّبْثُ فِي الْمَسْجِدِ. وَلَا يَخْرُجُ مِنَ الاِعْتِكَافِ الْمَنْذُورِ إِلَّا لِحَاجَةِ الإِنْسَانِ أَوْ عُذْرٍ مِنْ حَيْضٍ أَوْ مَرَضٍ لَا يُمْكِنُ الْمُقَامُ مَعَهُ، وَيَبْطُلُ بِالْوَطْءِ.

Dan i’tikaf itu sunnah yang disukai/dianjurkan, ada dua syaratnya: niat dan menetap di masjid. Dan tidak boleh keluar dari i’tikaf yang dinadzarkan kecuali untuk hajat insani (buang air) atau ‘udzur seperti haid atau sakit yang tidak memungkinkan menetap (di masjid) karenanya, dan (i’tikaf) batal dengan jima’.

📒 Penjelasan

📌 Definisi I’tikaf

اَلاِعْتِكَافُ: اَلْمُكْثُ فِي الْمَسْجِدِ بِنِيَّةِ الْقُرْبَةِ

✅ I’tikaf adalah berdiam di masjid dengan niat mendekat (kepada Allah). (Mu’jam Lughah Al-Fuqaha hlm 76).

📌 Hukum I’tikaf

✅ Hukumnya adalah mustahab (disukai/dianjurkan) dan sunnah muakkadah di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, kecuali jika dinadzarkan maka i’tikaf menjadi wajib karena nadzar tersebut.

📎 عنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللهُ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ 

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beri’tikaf di sepuluh hari terakhir Ramadhan sampai Allah mewafatkan beliau, kemudian para istrinya beri’tikaf sepeninggal beliau. (HR. Al-Bukhari no 1922, Muslim no 1172).

📎 عنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، قَالَتْ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ، وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلاَ يَعْصِهِ»

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Siapa yang bernadzar untuk menaati Allah, maka taatilah Dia. Dan siapa yang bernadzar untuk bermaksiat kepadaNya maka janganlah ia (laksanakan) bermaksiat kepadaNya. (HR. Al-Bukhari).

✅ Berkata Al-Imam An-Nawawi:

(أَمَّا) الْحُكْمُ فَالِاعْتِكَافُ سُنَّةٌ بِالْإِجْمَاعِ وَلَا يَجِبُ إلَّا بِالنَّذْرِ بِالْإِجْمَاعِ وَيُسْتَحَبُّ الْإِكْثَارُ مِنْهُ وَيُسْتَحَبُّ وَيَتَأَكَّدُ اسْتِحْبَابُهُ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ لِلْأَحَادِيثِ السَّابِقَةِ هُنَا وَفِي الْبَابِ قَبْلَهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ لِرَجَائِهَا. 

Adapun hukumnya, i’tikaf itu sunnah dengan (dalil) ijma’ (kesepakatans ulama), tidak wajib kecuali dengan nadzar berdasarkan ijma’ (pula). Dan dianjurkan memperbanyaknya, dianjurkan dan dikuatkan (muakkad) anjurannya pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan berdasarkan hadits yang telah disebutkan di sini dan juga pada bab sebelumnya tentang lailatul qadar untuk mengharapkannya. (Al-Majmu’ 6/475).

✅ Seorang istri tidak boleh i’tikaf kecuali dengan izin suaminya, kecuali ia bernadzar untuk i’tikaf di waktu tertentu lalu ia melaksanakannya sesuai waktunya maka hal tersebut boleh tanpa izin suaminya. Karena berhubungan dengan istri adalah hak suami yang tidak dapat dibatalkan kecuali dengan izin/kerelaannya, dan karena hak suami harus segera ditunaikan saat ia meminta, sementara i’tikaf yang dinadzarkan sekalipun - tapi tidak menyebutkan waktu tertentu - dapat ditunda pelaksanaannya. Juga karena memenuhi hak suami adalah kewajiban istri, sementara i’tikaf yang bukan nadzar adalah sunnah, maka yang wajib harus didahulukan atas yang sunnah kecuali jika suami sebagai pemilik hak mengizinkannya. (Lihat: Al-Majmu’ 6/476-477).

📌 Rukun I’tikaf

✅ Abu Syuja’ menyebutnya syarat, namun mayoritas ulama menyebutkannya rukun i’tikaf, yaitu niat dan menetap (di masjid). 

☪️ Niat

✅ Niat dihadirkan di permulaan i’tikaf, dan harus menghadirkan fardhiyah (status wajib) dalam niat i’tikaf yang dinadzarkan. Jika seseorang berniat i’tikaf secara mutlak (tanpa menyebut durasi), lalu ia keluar dari masjid baik untuk hajat insani ataupun tidak, lalu ia kembali ke masjid, maka ia harus memperbarui niatnya, karena yang sebelumnya adalah i’tikaf tersendiri dan telah sempurna, jadi yang kedua dianggap i’tikaf baru.

✅ Bila ia berniat i’tikaf sebulan atau sehari misalnya, lalu ia keluar untuk memenuhi hajat insani, maka ketika kembali tidak perlu perbarui niat. Kalau keluar untuk hal lain, sebentar atau lama, maka perlu memperbarui niat. (Raudhah Ath-Thalibin, Al-Imam An-Nawawi, 2/395).

☪️ Berdiam di Masjid

☪️1. Waktu Minimal

✅ Yang dimaksud berdiam di sini minimal adalah berdiam dalam waktu yang harus melebihi thuma’ninah (tenang sejenak) dalam melaksanakan satu gerakan shalat. 

Al-Imam An-Nawawi menjelaskan:

الصَّحِيحُ الْمَنْصُوصُ الَّذِي قَطَعَ بِهِ الْجُمْهُورُ أَنَّهُ يُشْتَرَطُ لُبْثٌ فِي الْمَسْجِدِ وَأَنَّهُ يَجُوزُ الْكَثِيرُ مِنْهُ وَالْقَلِيلُ حَتَّى سَاعَةٍ أَوْ لَحْظَةٍ قَالَ إمَامُ الْحَرَمَيْنِ وَغَيْرُهُ وَعَلَى هَذَا لَا يَكْفِي مَا فِي الطُّمَأْنِينَةِ فِي الرُّكُوعِ وَالسُّجُودِ وَنَحْوِهِمَا بَلْ لَابُدَّ مِنْ زِيَادَةٍ عَلَيْهِ بِمَا يُسَمَّى عُكُوفًا وَإِقَامَةً

Yang benar dan termaktub yang ditegaskan oleh mayoritas (ulama madzhab) bahwa disyaratkan menetap di masjid, boleh lama atau sebentar hingga sesaat atau sejenak sekalipun. Berkata Imam Al-Haramain (Al-Juwaini) dan lainnya: “Dalam hal ini tak cukup sebatas thuma’ninah dalam ruku’ dan sujud dan sejenisnya, tetapi harus lebih dari itu sehingga dapat dinamakan berdiam.” (Al-Majmu’ 6/489).

📎 دلِيلُنَا أَنَّ الِاعْتِكَافَ فِي اللُّغَةِ يَقَعُ عَلَى الْقَلِيلِ وَالْكَثِيرِ وَلَمْ يَحُدَّهُ الشَّرْعُ بَشَيْءٍ يَخُصُّهُ فَبَقِيَ عَلَى أَصْلِهِ

Dalil kami adalah bahwa i’tikaf secara bahasa berlaku untuk sebentar atau lama, sementara syariat tidak menetapkan batasannya secara khusus, maka berlakulah pengertian asalnya menurut bahasa. (Al-Majmu’ 6/491).

وَالْأَفْضَلُ أَنْ يَعْتَكِفَ يَوْمًا لِيَخْرُجَ مِنْ خِلَافِ أَبِي حَنِيفَةَ وَمُوَافِقِيهِ نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ وَاتَّفَقَ عَلَيْهِ الْأَصْحَابُ

✅ Yang lebih baik adalah i’tikaf seharian agar keluar dari perbedaan pendapat dengan (Al-Imam) Abu Hanifah dan yang sependapat dengan beliau (yang mensyaratkan minimal sehari). Demikian teks dari (Al-Imam) Asy-Syafi’i dan disepakati oleh para sahabat (kami). (Al-Majmu’ 6/490).

✅ Yang dimaksud dengan seharian di sini adalah dari subuh hingga maghrib seperti waktu berpuasa. Jadi ia harus sudah berada di masjid tempat i’tikaf sebelum subuh, dan keluar setelah maghrib. (Al-Majmu’ 6/494).

☪️2. Waktu I’tikaf Sepuluh Terakhir Ramadhan

قَالَ الشَّافِعِيُّ وَالْأَصْحَابُ وَمَنْ أَرَادَ الِاقْتِدَاءَ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي اعْتِكَافِ الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ فَيَنْبَغِي أَنْ يَدْخُلَ الْمَسْجِدَ قَبْلَ غُرُوبِ الشَّمْسِ لَيْلَةَ الْحَادِي وَالْعِشْرِينَ مِنْهُ لِكَيْلَا يَفُوتَهُ شَيْءٌ مِنْهُ وَيَخْرُجُ بَعْدَ غُرُوبِ الشَّمْسِ لَيْلَةَ الْعِيدِ سَوَاءٌ تَمَّ الشَّهْرُ أَوْ نَقَصَ. وَالْأَفْضَلُ أَنْ يَمْكُثَ لَيْلَةَ الْعِيدِ فِي الْمَسْجِدِ حَتَّى يُصَلِّيَ فِيهِ صَلَاةَ الْعِيدِ أَوْ يَخْرُجَ مِنْهُ إلَى الْمُصَلَّى لِصَلَاةِ الْعِيدِ إِنْ صَلَّوْهَا فِي الْمُصَلَّى (6/475)

Berkata (Al-Imam) Asy-Syafi’i dan para sahabat (kami): “Siapa yang ingin meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam i’tikaf sepuluh terakhir Ramadhan, hendaklah ia masuk ke masjid sebelum terbenam matahari malam ke-21 agar tak luput darinya sedikitpun, dan keluar setelah terbenam matahari malam idul fitri baik genap (30 hari) atau tidak (29 hari). Dan afdhalnya tetap tinggal pada malam hari raya di masjid hingga shalat id di masjid itu atau ke luar ke tempat shalat id (di luar masjid) jika jama’ah shalat di sana. (Al-Majmu’ 6/475).

📌 Masjid Tempat I’tikaf

✅ I’tikaf seorang muslim maupun muslimah harus dilaksanakan di masjid dan lebih afdhal di masjid jami’ yang di dalamnya dilaksanakan shalat Jum’at dan jumlah jamaahnya lebih banyak. (Al-Majmu’ 6/479-480). 

✅ Dalilnya adalah firman Allah ta’ala:

📎 ولا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

Dan janganlah kamu campuri mereka (istrimu) itu, sedang kamu beri'tikaf dalam masjid. (QS. Al-Baqarah: 187).

✅ Di mana ayat ini melarang jima’ suami istri saat dalam aktifitas i’tikaf di masjid, maksudnya bahwa saat mu’takif (orang yang i’tikaf) keluar dari masjid untuk sekadar hajat insani (buang air) ke rumahnya maka hal itu tidak membatalkan i’tikafnya, tetapi jika di rumahnya ia jima’ dengan istrinya maka batallah i’tikafnya. Seandainya i’tikaf boleh dilakukan di luar masjid, tak ada gunanya tambahan kata “fil masajid” (di dalam masjid) di dalam ayat tersebut, sebab tujuan ayat tersebut adalah menjelaskan bahwa jima’ membatalkan i’tikaf meskipun jima’ dilakukan di rumah, jadi kata “fil masajid” sebagai pernyataan syarat masjid sebagai tempat i’tikaf, bukan yang lain. (Al-Majmu’ 6/483).

✅ Jika seseorang bernadzar akan i’tikaf di masjid tertentu selain Masjid Haram, Nabawi dan Aqsha, maka sah nadzarnya jika ia ’tikaf di masjid yang lain, karena tak ada keistimewaan di semua masjid selain ke-3 masjid tersebut, meskipun tetap dianjurkan untuk memilih masjid sesuai nadzarnya.

✅ Jika ia bernadzar i’tikaf di Masjid Haram, maka wajib ia lakukan di sana, karena tidak ada yang lebih afdhal darinya. Jika ia bernadzar i’tikaf di Masjid Nabawi, maka ia boleh melakukannya di Masjid Nabawi dan Masjid Haram, karena Masjid Haram lebih afdhal dari Masjid Nabawi, tetapi tidak boleh di masjid lain. Jika ia bernadzar i’tikaf di Masjid Aqsha, ia boleh i’tikaf di Masjid Aqsha, Masjid Nabawi atau Masjid Haram, karena keduanya lebih afdhal daripada Masjid Aqsha, tidak boleh di masjid lain. (Al-Majmu’ 6/480-481).

📌 Yang Tak Boleh Dilakukan Pada I’tikaf Nadzar atau Pembatal I'tikaf Secara Umum

☪️ Keluar dengan seluruh anggota badan dari masjid, kecuali untuk hajat insani, karena keluar tanpa hajat bertentangan dengan rukun “berdiam” di masjid.

📎 عنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: «كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، إِذَا اعْتَكَفَ، يُدْنِي إِلَيَّ رَأْسَهُ فَأُرَجِّلُهُ، وَكَانَ لَا يَدْخُلُ الْبَيْتَ إِلَّا لِحَاجَةِ الْإِنْسَانِ»

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha ia berkata: “Adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam jika i’tikaf mendekatkan kepalanya kepadaku, maka aku merapikan (rambutnya). Dan beliau tidak masuk ke rumah kecuali untuk hajat insani. (HR. Muslim).

✅ Sedangkan keluar sebagian anggota badan tidak apa-apa berdasarkan riwayat ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha di atas dan juga berikut ini:

📎 كانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يُخْرِجُ رَأْسَهُ مِنَ الْمَسْجِدِ وَهُوَ مُعْتَكِفٌ فَأَغْسِلُهُ وَأَنَا حَائِضٌ

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mengeluarkan kepalanya dari masjid saat beliau i’tikaf lalu aku mencucinya sedang aku dalam keadaan haid. (HR. Bukhari).

✅ Adapun keluar karena haid, nifas atau sakit yang tidak memungkinkannya bertahan di masjid, maka hal tersebut tidak membatalkan i’tikaf nadzarnya, artinya jika hal-hal tersebut telah usai maka ia tidak perlu memulai dari awal jika nadzar i’tikafnya berdurasi dan berkelanjutan, tetapi bisa langsung melanjutkan durasi i’tikafnya.

☪️ Jima' Membatalkan I'tikaf

Telah dijelaskan pada pembahasan tentang masjid sebagai tempat i'tikaf. 

📌 Dianjurkan I’tikaf Sambil Berpuasa

✅ Dianjurkan i’tikaf dalam keadaan berpuasa, tetapi ia bukan syarat sah i’tikaf.

قَالَ الشَّافِعِيُّ وَالْأَصْحَابُ الْأَفْضَلُ أَنْ يَعْتَكِفَ صَائِمًا وَيَجُوزُ بِغَيْرِ صَوْمٍ وَبِاللَّيْلِ وَفِي الْأَيَّامِ الَّتِي لَا تَقْبَلُ الصَّوْمَ وَهِيَ الْعِيدُ وَالتَّشْرِيقُ هَذَا هُوَ الْمَذْهَبُ.

Berkata Asy-Syafi’i dan para sahabat (kami): “Lebih baik seseorang beri’tikaf dalam keadaan puasa, dan boleh tanpa puasa, di malam hari, dan di hari-hari terlarang puasa seperti hari raya dan tasyriq. Ini adalah madzhab Syafi’i”. (Al-Majmu’ 6/485).

✅ Dalil bahwa puasa bukanlah syarat sah i’tikaf adalah riwayat Muslim dari ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

📎 ترَكَ الِاعْتِكَافَ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ، حَتَّى اعْتَكَفَ فِي الْعَشْرِ الْأَوَّلِ مِنْ شَوَّالٍ

Beliau meninggalkan i’tikaf di bulan Ramadhan sehingga beliau melakukan i’tikaf di sepuluh hari awal bulan Syawal. (HR. Muslim).

✅ Sepuluh hari awal bulan Syawal berarti termasuk hari raya Idul Fitri, dan pasti Rasulullah tidak berpuasa saat itu.

✅ Juga berdasarkan riwayat dari Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau bernadzar i’tikaf di malam hari - tentunya tidak berpuasa, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan beliau memenuhi nadzarnya.

📎 عنْ ابْنِ عُمَرَ، عَنْ عُمَرَ قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي كُنْتُ نَذَرْتُ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِي المَسْجِدِ الحَرَامِ فِي الجَاهِلِيَّةِ، قَالَ: «أَوْفِ بِنَذْرِكَ»

Dari Ibnu Umar dari Umar bin Khathab ia berkata: Aku berkata, ya Rasulullah sesungguhnya aku pernah bernadzar untuk i’tikaf malam hari di Masjid Haram di masa jahiliyah. Beliau bersabda: “Penuhilah nadzarmu”. (HR. At-Tirmidzi – hasan shahih). 
Diriwayatkan pula oleh Ad-Daraquthni dan beliau berkata isnadnya shahih. (Al-Majmu’ 6/488).

✅ Sedangkan hadits yang menyebutkan tentang tidak ada i’tikaf kecuali dengan puasa seperti yang diriwayatkan oleh Ad-Daraquthni dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, juga hadits Ad-Daraquthni dan Abu Dawud yang memerintahkan Umar bin Khathab untuk i’tikaf dan berpuasa, maka jawabannya dari dua sisi: 

☑️ Pertama, bahwa hadits-hadits tersebut disepakati sebagai hadits dha’if sehingga tidak dapat dijadikan argumentasi hukum. Pada riwayat Aisyah, diantara perawinya ada Suwaid bin Abdul ‘Aziz yang disepakati kelemahannya oleh para ahli hadits disamping kesendiriannya meriwayatkan dari Sufyan bin Husain. Adapun riwayat Umar, cacatnya terdapat pada Abdullah bin Budail karena kelemahannya serta kesendiriannya meriwayatkan dari Amr bin Dinar.

☑️ Kedua, anggaplah hadits-hadits tersebut shahih, maka harus dita’wil (ditafsirkan) darinya bahwa puasa sebagai syarat kesempurnaan i’tikaf atau afdhaliyah (tidak ada kesempurnaan i’tikaf kecuali dengan puasa) dan bukan sebagai syarat sah. Dengan demikian semua riwayat yang shahih tentang masalah ini dapat dipadukan maksudnya. (Al-Majmu’ 6/487).

والله أعلم بالصواب

Posting Komentar untuk "Fiqih Puasa (F-007) Bagian 5"