Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Fokus Pertama Madrasah Wasathiyah dalam Menyimpulkan Hukum (MS-007 Bagian 3)


Diantara murtakazat (fokus utama) dari Madrasah Wasathiyah adalah menentukan tujuan dari dalil syar’i sebelum mengeluarkan kesimpulan hukum darinya. 

Ini adalah fokus pertama madrasah wasathiyah, dan untuk mencapainya diperlukan pencarian yang panjang dan perenungan yang dalam, jika tujuan tersebut tidak disebutkan secara tegas oleh dalil itu sendiri. Bagi ulama yang terlibat dalam ijtihad atau fatwa, baik terkait masalah-masalah yang baru muncul di zamannya, atau dalam melakukan tarjih terhadap produk ijtihad ulama sebelumnya, hal ini amat sangat penting, sehingga fatwanya benar dan tepat. 

Tujuan syariat tentu punya andil sangat besar dalam mengarahkan hukumnya apakah wajib, ataukah sunnah dalam dalil yang berisi perintah. Apakah ia haram ataukah hanya makruh dalam dalil yang berisi larangan. Begitu pula yang terkait dengan hukum halal/mubah. 

Tidaklah tepat jika sesuatu yang termasuk kategori dharuriyat misalnya, lalu hukumnya hanya sunnah atau mubah. Atau sesuatu yang membahayakan eksistensi dharuriyat lalu hukumnya hanya makruh apalagi mubah, tentu tidak demikian. 

Atau sebaliknya, tidaklah tepat sesuatu yang termasuk kategori tahsiniyat atau kamaliyat, lalu hukumnya fardhu atau wajib yang diancam dengan dosa besar jika tidak dilakukan. 

Misalnya: 

Tentang hukum isbal (memakai sarung atau celana yang panjangnya melewati mata kaki) bagi laki-laki. 

Terdapat dua jenis hadits shahih yang menjadi dalilnya, yang pertama menyebutkan secara “muthlaq” (tanpa keterangan) tentang ancaman bagi yang melakukan isbal, dan yang kedua hadits yang diriwayatkan dengan lafal “muqayyad” (dengan tambahan keterangan) yaitu bahwa ancaman neraka bagi orang yang isbal karena motif kesombongan. 

Diantara hadits yang menyebutkan secara muthlaq adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dalam Shahihnya (no 106) dari Abu Dzar RA: 

«ثَلَاثَةٌ لَا يُكَلِّمُهُمُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَلَا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ» قَالَ: فَقَرَأَهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثَ مِرَارًا، قَالَ أَبُو ذَرٍّ: خَابُوا وَخَسِرُوا، مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: «الْمُسْبِلُ، وَالْمَنَّانُ، وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ» 

Tiga orang yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat, Dia tidak akan memandang mereka, tidak menyucikan mereka, dan bagi mereka azab yang pedih. Rasulullah ﷺ membacanya tiga kali. Abu Dzar berkata: celaka dan rugilah mereka, siapa mereka wahai Rasulullah? Beliau bersabda: pelaku isbal, orang yang sering mengungkit-ungkit pemberiannya, dan orang yang sering membuat laku dagangannya dengan sumpah palsu. 
Sementara hadits yang diriwayatkan muqayyad, diantaranya hadits yang sama dengan hadits di atas namun diriwayatkan oleh Al-Imam An-Nasai dalam As-Sunan Kubra (no 6050) dengan akhir redaksinya: 

«الْمُسْبِلُ إِزَارَهُ خُيَلَاءَ، وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ، وَالْمَنَّانُ عَطَاءَهُ» 
Orang yang isbal sarungnya karena sombong, orang yang sering membuat laku dagangannya dengan sumpah palsu, dan orang yang sering mengungkit-ungkit pemberiannya. 
Mayoritas ulama dari empat madzhab tidak mengharamkan isbal jika bukan karena kesombongan (ada yang berpendapat mubah, ada pula makruh), dimana mereka memberlakukan kaidah ushul fiqih “hamlul muthlaq ‘alal muqayyad” (membawa hukum riwayat mutlaq dengan syarat yang disebutkan oleh riwayat muqayyad) karena syarat-syaratnya telah terpenuhi. 

Dalam tinjauan maqashid, tujuan dari ancaman atas perbuatan yang disebutkan dalam kedua hadits tersebut adalah menjauhkan kaum muslimin dari hal-hal yang dapat merusak hubungan persaudaraan dan menyakiti orang lain, serta sifat-sifat busuk yang ada di dalam hati seperti mudah berdusta dan merasa berjasa kepada orang lain. Sifat-sifat buruk itu tidak ada pada pelaku isbal sama sekali, jika tidak dilakukan dengan motif khuyala (kesombongan). Sifat sombonglah yang menjadikan pelaku isbal pantas masuk ke dalam ancaman hadits tersebut bersama dengan dua perbuatan tercela lainnya. 

Dalam tinjauan maqashid syariah juga, pendapat jumhur ulama ini lebih sesuai dengan tingkatan maqashid syariah, di mana masalah pakaian apalagi tidak berkaitan dengan aurat termasuk tingkatan tahsiniyyat atau perhiasan yang menjadi pelengkap, sehingga tidaklah tepat jika masuk wilayah pengharaman apalagi dengan sanksi pelanggaran yang sangat keras. Pengharaman dengan adzab yang sangat keras hanya laik untuk pelanggaran yang sangat fundamental dan esensial atau dharuriyat, dan ini pantas bagi pelaku isbal jika dilakukan dengan motif kesombongan yang merupakan penyakit hati yang berbahaya. 

Apalagi jika kita memperhatikan riwayat Al-Imam Al-Bukhari dalam shahihnya tentang Abu Bakar RA yang oleh Rasulullah ﷺ dikeluarkan dari ancaman sanksi, karena beliau tidak melakukannya karena khuyala (Shahih Al-Bukhari no 5784, Bab “Siapa yang menyeret pakaiannya tanpa kesombongan”). Bahkan Rasulullah ﷺ sendiri pernah menyeret pakaiannya di tanah karena terburu-buru ke masjid saat peristiwa gerhana matahari (Lihat Shahih Al-Bukhari no 5785 pada Bab yang sama).

Posting Komentar untuk "Fokus Pertama Madrasah Wasathiyah dalam Menyimpulkan Hukum (MS-007 Bagian 3) "