Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala (A-007 Bagian 10)


📚 Dalil bahwa Allah Mahasuci dari Arah & Tempat dan Keabsahan Ta-wil yang Berlandaskan Dalil

✅ Semua kaum muslimin sepakat bahwa Allah ta’ala mustahil dikelilingi oleh makhlukNya, baik langit, Arsy, atau apapun. Ini adalah ijma’ kaum muslimin termasuk Ibnu Taimiyah dan yang sependapat dengannya. Sehingga ayat atau hadits yang secara tekstual menyebutkan bahwa Allah في السماء (fii as-samaa) Ibnu Taimiyyah dan yang sependapat dengannya menyatakan bahwa maksud dari as-samaa pada ayat atau hadits tersebut bukanlah langit, tapi maksudnya adalah العلوّ (ketinggian) :

فقوله : ( في السماء ) أي : في العلو دون السفل . وهو العلي الأعلى فله أعلى العلو ، وهو ما فوق العرش ، وليس هناك غيره العلي الأعلى سبحانه وتعالى

Firman-Nya “fii as-samaa” artinya di ketinggian bukan di bawah. Dan Dia Maha Tinggi Paling Tinggi, baginya ketinggian paling tinggi, yaitu berada di atas Arsy, dan tidak ada selain-Nya yang tinggi dan paling tinggi, Mahasuci Dia dan Mahatinggi. (Majmu’ al-Fatawa, 16/100-101).

✅ Sementara mayoritas ulama menyatakan bahwa Allah mustahil bertempat di atas ‘Arsy dan mustahil berada di جهة العلوّ (arah ketinggian). Mereka mengimani sifat العلو المطلق ketinggian secara mutlak (tanpa embel-embel yang menunjukkan tempat) karena tidak ada yang menolak nama Allah العلي al-‘Aliy Yang Mahatinggi atau الأعلى al-A’la, tapi mereka menolak embel-embel “jihah” atau arah atau علوّ الجهة (ketinggian arah).

✅ Di samping berdalil dengan dalil ‘aqli bahwa berada di tempat atau di arah tertentu adalah sifat makhluk, dan Allah mustahil menyerupai makhluk, mayoritas ulama juga berdalil dengan Al-Quran dan Hadits Rasulullah ﷺ.

📕 Dalil Pertama

Firman Allah ta’ala:

هُوَ الْأَوَّلُ وَالْآخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

Dialah al-Awal dan al-Akhir, azh-Zhahir dan al-Bathin, dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. Al-Hadid: 3).

✅ Yang menjadi pembahasan kita adalah nama Allah الظاهر azh-Zhahir dan الباطن al-Bathin.

✅ Al-Qurthubi menyebutkan:

عنى بالظاهر الغالب، وبالباطن العالم، والله أعلم

Yang dimaksud azh-Zhahir adalah al-Ghalib (Yang menang/tak terkalahkan), dan al-Bathin adalah yang Maha Mengetahui, walllahu a’lam.

✅ Dalam memahami ayat ini para ulama juga mengikuti penjelasan Rasulullah ﷺ dalam hadits shahih:

اَللّهُمَّ أَنْتَ الْأَوَّلُ فَلَيْسَ قَبْلَكَ شَيْءٌ، وَأَنْتَ الْآخِرُ فَلَيْسَ بَعْدَكَ شَيْءٌ، وَأَنْتَ الظَّاهِرُ فَلَيْسَ فَوْقَكَ شَيْءٌ، وَأَنْتَ الْبَاطِنُ فَلَيْسَ دُونَكَ شَيْءٌ

Ya Allah, Engkau adalah al-Awwal maka tidak ada suatu apapun sebelum-Mu, dan Engkau adalah al-Akhir maka tak ada suatu apapun setelah-Mu, dan Engkau adalah azh-Zhahir maka tak ada suatu apapun di atas-Mu, dan Engkau adalah al-Bathin maka tak ada suatu apapun di bawah-Mu. (HR. Muslim no 2713 dan juga yang lain).

✅ Terjemah penjelasan azh-Zhahir dan al-Bathin di atas berdasarkan terjemah harfiyah dari kata فوق dan دون yang artinya atas (tinggi) dan bawah (rendah).

✅ Disebutkan dalam Lisan al-‘Arab:

دون: نقيض فوق

“Duuna” : kebalikan “fauqa” (atas). (Lisan al-‘Arab, Ibnu Manzhur, 13/164).

✅ Bila kita melihat hadits tersebut, Rasulullah ﷺ menjelaskan makna al-Awwal dan al-Akhir yang intinya adalah bahwa waktu tidak berlaku bagi Allah (tak berawal dan tak berakhir), maka azh-Zhahir dan al-Bathin juga mengisyaratkan bahwa Dia Mahasuci dari tempat atau arah.

✅ Mayoritas ulama menafsirkan azh-Zhahir dan al-Bathin secara konsisten. Maksudnya jika mereka menafsirkan فوق terkait azh-Zhahir secara harfiyah yang artinya arah atas, maka pada دون terkait al-Bathin juga demikian, yaitu arah bawah. Dan jika mereka menafsirkannya sesuai konteks kalimatnya, maka itu berlaku untuk kedua-duanya.

📌 Penjelasan Ulama yang Menggunakan Makna Harfiah dari فوق dan دون

✅ Ibnu Furak menjelaskan tentang hadits ini:

وَاعلم أَن هَذَا الْخَبَر يبين صِحَة مَا قُلْنَا فِي تَأْوِيل وصف الله عز وَجل أَنه فَوق كل شَيْء لَا على معنى الْمسَافَة والمساحة وَذَلِكَ أَن كل مَا كَانَ فَوق شَيْء على معنى المساحة والتمكن فِيهِ والعلو عَلَيْهِ على هَذَا الْوَجْه كَانَ دونه شَيْء وَهُوَ على مَا عَلَيْهِ من الْمَكَان فَلَمَّا أبان صلى الله عَلَيْهِ وَسلم أَنه لَيْسَ دونه شَيْء علمنَا أَن معنى أَنه فَوق كل شَيْء لَا على معنى التَّمْكِين والمساحة والمسافة .

Ketahuilah bahwa hadits ini menjelaskan kebenaran apa yang kami katakan tentang ta-wil sifat Allah azza wajalla bahwa maksud “Dia di atas segala sesuatu” bukan berarti terkait jarak dan bidang. Karena semua yang berada di atas sesuatu yang maksudnya bidang, menetap di situ atau di posisi atau tempat yang lebih tinggi darinya, pasti di bawahnya ada sesuatu saat ia berada di atas. Maka ketika Rasulullah ﷺ menjelaskan bahwa Allah itu tak ada di bawah-Nya sesuatu apapun, maka tahulah kita bahwa arti Dia di atas segala sesuatu maksudnya bukan menetap, bidang, dan terkait jarak. (Musykil al-Hadits wa Bayanuh, Abu Bakar Ibnu Furak, hlm 394).

✅ Al-Baihaqi juga menyebutkan:

واستدل بعض أصحابنا في نفي المكان عنه بقول النبي صلى الله عليه وسلم: "أنت الظاهر فليس فوقك شيء» . وأنت الباطن فليس دونك شيء". وإذا لم يكن فوقه شيء ولا دونه شيء لم يكن في مكان.

Sebagian dari sahabat kami berdalil bahwa Allah tak bertempat dengan sabda Nabi ﷺ : “Engkau adalah azh-Zhahir maka tak ada suatu apapun di atas-Mu, dan Engkau adalah al-Bathin maka tak ada suatu apapun di bawah-Mu.” Jika di atas-Nya tak ada sesuatu dan di bawah-Nya tak ada sesuatu, berarti Dia tidaklah berada di tempat apapun. (al-Asma wash-Shifat, al-Baihaqi, 2/278).

📌 Penjelasan Ulama yang Memahaminya Sesuai Konteks Kalimat dalam Hadits

✅ Penjelasan an-Nawawi

وأما معنى الظاهر من أسماء الله فقيل هو من الظهور بمعنى القهر والغلبة وكمال القدرة، ومنه ظهر فلان على فلان، وقيل الظاهر بالدلائل القطعية. والباطن المحتجب عن خلقه، وقيل العالم بالخفيات. 

Adapun arti azh-Zhahir dari nama-nama Allah, disebutkan berasal dari kata “azh-zhuhur” yang maksudnya digdaya, kemenangan dan kekuasaan yang sempurna. Diantara (contoh kalimat) nya: “zhahara fulan ‘ala fulan” (Si Fulan menang atas si Fulan). Dan disebutkan juga bahwa azh-Zhahir: (yang tampak jelas) dengan dalil-dalil yang qath’i. Sedangkan al-Bathin: yang terhijab (tak terakses oleh panca indra) dari makhluk-Nya, disebutkan juga: yang Maha Mengetahui segala yang tersembunyi. (Syarah Muslim, an-Nawawi, 17/36).

✅ Penjelasan ‘Ali al-Qari

(وأنت الظاهر) أي: الأفعال والصفات، أو الكامل في الظهور (فليس فوقك) أي: فوق ظهورك (شيء) يعني: ليس شيء أظهر منك لدلالة الآيات الباهرة عليك، وقيل: ليس فوقك شيء في الظهور، أو أنت الغالب فليس فوقك غالب (وأنت الباطن) أي: باعتبار الذات (فليس دونك شيء) أي: ليس شيء أبطن منك، ودون يجيء بمعنى غير، والمعنى ليس - غيرك - في البطون شيء أبطن منك، وقد يجيء بمعنى قريب، فالمعنى: ليس شيء في البطون قريبا منك، وقيل: معنى الظهور والبطون تجليه لبصائر المتفكرين واحتجابه عن أبصار الناظرين (4/1671)

“Dan Engkaulah azh-Zhahir” (yang tampak jelas) yaitu dalam perbuatan dan sifat, atau yang Mahasempurna kejelasan-Nya, tak ada apapun yang berada di atas-Mu kejelasannya, karena jelasnya tanda-tanda nyata yang menunjukkan-Mu. Juga maknanya: tak ada yang berada di atas-Mu dalam kekuasaan, atau Engkaulah yang Mahamenang, tak ada siapapun yang menang di atas-Mu. “Dan Engkau adalah al-Bathin” yaitu terkait Dzat di mana tak ada yang lebih bersifat batin (tersembunyi) dari-Mu. “Duuna” bisa bermakna “ghair” (selain), artinya tidak ada selain-Mu yang lebih tersembunyi. Juga bisa bermakna dekat, artinya dalam konteks batin tak ada yang lebih dekat dari-Mu. Azh-Zhahir dan al-Bathin juga dapat dimaknai kejelasan-Nya bagi pandangan hati orang yang berfikir, sekaligus ketersembunyian-Nya bagi pandangan mata orang-orang yang melihat dengan matanya. (Mirqah al-Mafatih, ‘Ali bin Muhammad al-Qari, 4/1671).

✅ Yang tidak konsisten adalah menafsirkan azh-Zhahir apa adanya dengan memilih makna yang sesuai dengan makna “fauqa” yaitu “al-uluww” (tinggi), tapi mengambil makna kiasan berupa kinayah saat menafsirkan al-Bathin dengan mengabaikan kata “duuna” yang merupakan lawan dari “fauqa”. Sebab jika konsisten, seseorang akan sampai kepada kesimpulan yang sama dengan kesimpulan al-Baihaqi maupun Ibnu Furak.

✅ Perhatikan tafsir dari Ibnu ‘Utsaimin dalam Majmu’ Fatawa beliau:

الظاهر من الظهور وهو العلوّ ... والباطن فسره النبي عليه الصلاة والسلام "الذي ليس دونه شيء" وهذا كناية عن إحاطته بكل شيء

Azh-Zhahir dari kata zhuhur yang artinya tinggi … Dan al-Bathin ditafsirkan oleh Nabi ﷺ “yang di bawahnya tak ada sesuatu apapun” dan ini adalah kinayah tentang Dia meliputi segala sesuatu. (Majmu’ Fatawa asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaiminin, 8/147-148).

✅ Mengapa pada azh-Zhahir tidak dipilih kinayahnya juga? 

📕 Dalil Kedua

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «مَا يَنْبَغِي لِعَبْدٍ أَنْ يَقُولَ إِنِّي خَيْرٌ مِنْ يُونُسَ بْنِ مَتَّى وَنَسَبَهُ إِلَى أَبِيهِ» (رواه البخاري رقم 3413)

Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma dar Nabi ﷺ beliau bersabda: “Tidaklah seharusnya seorang hamba berkata bahwa aku lebih baik dari Yunus bin Matta.” Dan Nabi ﷺ menisbatkannya (Nabi Yunus AS) kepada ayahnya. (HR. al-Bukhari no 3413).

✅ Maksud “menisbatkan kepada ayahnya” bahwa Matta adalah betul nama ayah Nabi Yunus AS, bukan seperti pendapat sebagian orang yang menyatakan bahwa Matta adalah nama ibunya.

✅ Hadits ini mengandung isyarat bahwa Allah tidaklah bertempat di atas. Penjelasannya seperti yang dikutip oleh al-Qurthubi dalam tafsirnya dari Abu al-Ma’ali al-Juwaini:

وَقَالَ أَبُو الْمَعَالِي: قَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (لَا تُفَضِّلُونِي عَلَى يُونُسَ بْنِ مَتَّى) الْمَعْنَى فَإِنِّي لَمْ أَكُنْ وَأَنَا فِي سِدْرَةِ الْمُنْتَهَى بِأَقْرَبَ إِلَى اللَّهِ مِنْهُ، وَهُوَ فِي قَعْرِ الْبَحْرِ فِي بَطْنِ الْحُوتِ. وَهَذَا يدل على أن الباري سبحانه وتعالى لَيْسَ فِي جِهَةٍ.

Berkata Abu al-Ma’ali bahwa sabda beliau ﷺ “jangan kalian mengutamakanku atas Yunus bin Matta” maksudnya adalah bahwa “saat aku berada di Sidrat al-Muntaha aku tidaklah lebih dekat kepada Allah (secara fisik) daripadanya (Nabi Yunus AS) saat beliau berada di kedalaman laut di perut paus” (kalau aku dianggap lebih utama karena faktor itu, maka tidaklah demikian). Ini menunjukkan bahwa al-Bari (yang Maha Pencipta) subhanahu wata’ala tidak berada di suatu arah (suatu tempat). (Tafsir al-Qurthubi, 11/333).

✅ Jadi disamping hadits di atas menjelaskan sikap tawadhu Rasulullah ﷺ, juga mengisyaratkan bahwa Allah tidak berada di arah atas, bahwa keutamaan itu adalah dengan “المكانة al-makanah” (kedudukan dalam pandangan Allah) bukan “المكان al-makan” (tempat).

📕 Dalil Ketiga

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، «أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَسْقَى، فَأَشَارَ بِظَهْرِ كَفَّيْهِ إِلَى السَّمَاءِ»

Dari Anas bin Malik bahwa sesungguhnya Nabi ﷺ meminta hujan dan beliau membuat isyarat dengan punggung tangannya ke atas. (HR. Muslim no 895).

✅ An-Nawawi menjelaskan: 

قال جماعة من أصحابنا وغيرهم السنة في كل دعاء لرفع بلاء كالقحط ونحوه أن يرفع يديه ويجعل ظهر كفيه إلى السماء وإذا دعا لسؤال شيء وتحصيله جعل بطن كفيه إلى السماء احتجوا بهذا الحديث. 

Sejumlah sahabat kami dan yang lainnya berkata bahwa sunnahnya dalam doa memohon (kepada Allah) mengangkat bala seperti kekeringan dan sejenisnya adalah dengan mengangkat kedua tangan dan menjadikan punggung tapak tangan ke atas, dan jika meminta sesuatu agar diraih dengan bagian dalam telapak tangan ke atas. Mereka berdalil dengan hadits ini. (Syarh an-Nawawi ‘ala Muslim, 6/190).

✅ Sering diungkapkan bahwa mengangkat telapak tangan dengan bagian dalamnya ke atas sebagai argumentasi bahwa Allah itu berada di atas. Hadits ini menyebutkan sebaliknya, artinya argumentasi itu tidak tepat. Sebagaimana shalat dan berdoa menghadap Ka’bah (rumah Allah) tidak berarti Allah ada di Ka'bah atau arah Ka’bah.

📕 Dalil Keempat

«إِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ يُصَلِّي فَلَا يَبْصُقْ قِبَلَ وَجْهِهِ، فَإِنَّ اللهَ قِبَلَ وَجْهِهِ إِذَا صَلَّى»

Jika seorang diantara kalian sedang shalat, maka janganlah ia meludah ke arah depan mukanya, karena sesungguhnya Allah di depan wajahnya jika ia shalat. (HR. Muslim no 547).

✅ Apakah hadits ini dipahami secara lahiriah bahwa Dzat Allah ada di depan orang yang shalat, ataukah hadits ini dita-wil bahwa maksudnya adalah arah kiblat adalah arah yang diagungkan Allah, misalnya?

✅ Mereka yang meyakini bahwa Dzat Allah berada di atas ‘Arsy, akan menta-wilnya, meskipun sekali lagi mereka tidak pernah mau menyebutnya ta-wil.

✅ Ibnu Hajar al-‘Asqalani menyatakan:

وفيه الرد على من زعم أنه على العرش بذاته ومهما تؤول به هذا جاز أن يتأول به ذاك والله أعلم

Di dalam hadits ini terdapat bantahan terhadap siapa yang menganggap bahwa Dia di atas ‘Arsy dengan Dzat-Nya. Ketika hadits ini dita-wil dengan itu (Dia di atas 'Arsy dengan Dzat-Nya) berarti itu boleh juga dita-wil dengan (hadits) ini. Wallahu a’lam. (Fath al-Bari, 1/508).

✅ Maksud ucapan Ibnu Hajar ialah: 

Kalau yang meyakini Dzat Allah berada di atas ‘Arsy menta-wil hadits ini dengan makna lahiriyah ayat istiwa, maka sebaliknya juga sah, yaitu yang berpendapat bahwa Allah Mahasuci dari tempat & arah berhak menta-wil makna lahiriyah ayat istiwa dengan makna lahiriah hadits ini untuk menunjukkan bahwa mengambil makna lahiriyah suatu dalil akan mengakibatkan pelakunya terpaksa menyatakan Dzat Allah ada di mana-mana kalau ingin konsisten, padahal itu kesimpulan yang batil dengan kesepakatan kedua pihak. Oleh karena itu memusuhi ta-wil secara membabi buta adalah kekeliruan, minimal akan tidak konsisten pada waktunya. 

📕 Dalil Kelima

Firman Allah ta’ala:

وَهُوَ اللَّهُ فِي السَّمَاوَاتِ وَفِي الْأَرْضِ يَعْلَمُ سِرَّكُمْ وَجَهْرَكُمْ وَيَعْلَمُ مَا تَكْسِبُونَ

✅ Terjemah harfiyahnya:

Dan Dialah Allah di langit dan di bumi; Dia mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu lahirkan dan mengetahui (pula) apa yang kamu usahakan.

✅ Terjemahnya setelah dilakukan penyesuaian (ta-wil):

Dan Dialah Allah (yang disembah), baik di langit maupun di bumi; Dia mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu lahirkan dan mengetahui (pula) apa yang kamu usahakan.

✅  ‘Abdurrahman as-Sa’di yang meyakini Dzat Allah berada di atas ‘Arsy menyebutkan tafsirnya:

أي: وهو المألوه المعبود في السماوات وفي الأرض، فأهل السماء والأرض، متعبدون لربهم

✅ Maksudnya dan Dialah yang dijadikan ilah yang disembah di langit dan di bumi, penduduk langit dan bumi beribadah kepada Tuhan mereka. (Tafsir as-Sa’di, hlm 250).

✅ Ta-wil seperti itu dibenarkan karena sesuai dengan ayat lain yaitu firmanNya:

وَهُوَ الَّذِي فِي السَّمَاءِ إِلَهٌ وَفِي الْأَرْضِ إِلَهٌ وَهُوَ الْحَكِيمُ الْعَلِيمُ

Dan Dialah Tuhan (Yang disembah) di langit dan Tuhan (Yang disembah) di bumi dan Dialah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. (QS. Az-Zukhruf: 84).

✅ Penjelasan mengapa al-An’am ayat 3 kami jadikan dalil sama dengan penjelasan untuk dalil yang keempat. Yaitu:

✅ Kalau yang meyakini Dzat Allah di atas ‘Arsy berpegang teguh dengan makna lahiriyah pada ayat istiwa kemudian menta-wil al-An’am ayat 3, maka pihak yang meyakini bahwa Dzat Allah tidak bertempat pun berhak untuk menolak makna lahiriyah ayat-ayat istiwa - minimal tafwidh (tidak memahaminya secara lahiriyah, lalu diam) - menggunakan makna lahiriyah pada dalil ke-5 ini juga pada dalil ke-4, artinya semua makna lahiriyah yang kontradiktif dari semua dalil itu menjadi gugur, atau tidak dimaksudkan oleh dalil itu sendiri. Setelah itu, ketiga dalil tersebut dita-wil dengan hadits pada dalil pertama dan kedua yang telah kami sebutkan di atas, serta dalil lain yang semakna, termasuk dalil aqli.

✅ Dalil ‘aqli bahwa Allah tidak bertempat itu diyakini qath’i, dan keyakinan itu bertambah karena ia sangat sesuai dengan dalil naqli seperti sabda Rasulullah ﷺ :

«كَانَ اللَّهُ وَلَمْ يَكُنْ شَيْءٌ غَيْرُهُ، وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى المَاءِ ..»

Allah telah ada dan selainNya tidak ada. Dan arsy-Nya ada di atas air.. (HR. al-Bukhari no 3191).

✅ Ibnu Hajar al-‘Asqalani menyebutkan:

وَالْمرَادُ بِـ"كان" فِي الْأَوَّلِ الْأَزَلِيَّةُ وَفِي الثَّانِيِ الْحُدُوثُ بَعْدَ الْعَدَمِ (فتح الباري 6/289)

Maksud dari kata “kaana” yang pertama adalah azaliyah (tak berawal), sedangkan yang kedua (untuk arsy) adalah huduts (berawal) setelah tidak ada (sebelumnya). (Fath al-Bari 6/289).

Jika Dzat Allah ta’ala tidak bertempat karena tempat belum ada, maka mustahil DzatNya kemudian menjadi bertempat setelah Dia menciptakannya, artinya mustahil Dia yang Mahaagung mengalami perubahan pada Dzat dan sifat-Nya (tanpa 'Arsy kemudian berada di atas 'Arsy), karena perubahan adalah bukti huduts (ada setelah tiada), dan huduts adalah sifat makhluk.

📕 Ta-wil Ulama Asy'ari Berlandaskan Dalil

✅ Berikut ini kami contohkan ta-wil yang dilakukan oleh ulama Asy’ari, ta-wil yang berdasarkan dalil, misalnya tentang hadits “nuzul” :

ينزل ربنا تبارك وتعالى كل ليلة إلى السماء الدنيا حين يبقى ثلث الليل الآخر يقول: من يدعوني، فأستجيب له من يسألني فأعطيه، من يستغفرني فأغفر له "

Tuhan kita - tabaraka wata'ala - turun setiap malam ke langit dekat saat tersisa sepertiga malam terakhir berkata: "Siapa yang akan berdoa kepadaKu maka Aku akan mengabulkannya, siapa yang meminta kepadaKu maka akan Aku berikan, siapa yang memohon ampun kepadaKu maka Aku akan mengampuninya. (Muttafaq 'alaih). 

Biasanya mereka menta-wil bahwa yang dimaksud dengan turun di dalam hadits adalah turunnya malaikat yang Allah utus, bukan turunnya Dzat Allah. Ta-wil ini berdasarkan hadits lain yang diriwayatkan oleh an-Nasa-i dari Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudri RA:

إن الله عز وجل يمهل حتى يمضي شطر الليل الأول، ثم يأمر مناديا ينادي يقول: هل من داع يستجاب له، هل من مستغفر يغفر له، هل من سائل يعطى. (رواه النسائي في السنن الكبرى و عمل اليوم والليلة وقال شعيب الأرنؤوط : وهذا إسناد صحيح)

Sesungguhnya Allah azza wajalla menunda hingga berlalu separuh malam yang pertama, kemudian Dia memerintahkan (malaikat) penyeru yang menyeru seraya berkata: “Adakah yang berdoa (niscaya) dikabulkan untuknya, adakah yang meminta ampun (niscaya) diampuni, adakah yang meminta (niscaya) ia diberikan". (HR. an-Nasa-i di as-Sunan al-Kubra, di ‘Amal al-Yaumi wal-Lailah. Syuaib al-Arnauth berkata: Ini adalah isnad yang shahih).

✅ Hal ini dijelaskan oleh Ibnu Hajar al-‘Asqalani:

والحاصل أنه تأوله بوجهين إما بأن المعنى ينزل أمره أو الملك بأمره وإما بأنه استعارة بمعنى التلطف بالداعين والإجابة لهم ونحوه وقد حكى أبو بكر بن فورك أن بعض المشايخ ضبطه بضم أوله على حذف المفعول أي ينزل ملكا ويقويه ما رواه النسائي .. (فتح الباري 3/30)

Dan hasil (kesimpulan) nya ialah bahwa ia (hadits nuzul) dita-wil dengan dua pilihan : 

- bermakna “turun perintah-Nya atau turun malaikat dengan perintah-Nya” atau 

- bahwa ia merupakan permisalan tentang kelembutan terhadap orang-orang yang berdoa dan pengabulan doa mereka, dan makna yang sejenis. 

Dan Abu Bakar bin Furak menceritakan bahwa sebagian dari guru-gurunya membacanya dengan mendhammahkan awalnya (yaitu pada kata يُنْزِلُ) dan objeknya tidak disebut, artinya Tuhan kami menurunkan (malaikat). Ini diperkuat oleh riwayat an-Nasa-i .. 

(Fath al-Bari, Ibnu Hajar al-‘Asqalani, 3/30). 

✅ Hal yang mirip juga dijelaskan oleh al-Qurthubi dalam tafsirnya (4/390) dan Ibnu Baththal dalam Syarah Shahih al-Bukhari (3/138).

Posting Komentar untuk "Sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala (A-007 Bagian 10) "