Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

HUKUM SYAR’I (UF-004)


Mengenal hukum syar’i adalah tujuan utama ilmu ushul dan ilmu fiqih. Bedanya, ilmu ushul membahas bagaimana metode mengenal hukum syar’i, sedangkan ilmu fiqih mempraktekkan metode tersebut secara langsung. 

Namun sebelum kita mengetahui lebih jauh tentang hukum syar’i, terlebih dulu kita akan melihat pengertian hukum secara umum.

📌  Pengertian Hukum

الحكم في اللغة القضاء 

🗞  Menurut bahasa, al-hukmu berarti al-qadha (ketetapan). 

🗞  Sedangkan dalam penggunaannya, kata Al-hukmu mengandung beberapa arti:

✅  إثبات أمر لأمر أو نفيه عنه

Menisbatkan sesuatu kepada yang lain atau menafikan sesuatu dari yang lain.

Misalnya: kita telah menghukumi dunia dengan mengatakan dunia ini fana, atau dunia ini tidak kekal, karena kita menisbatkan sifat fana kepada dunia atau menafikan sifat kekal darinya. 

✅  خطاب الله تعالى

Seruan Allah ta’ala 

Seperti firman-Nya:
 
((وأقيموا الصلاة)) 

Tegakkanlah shalat.

adalah sebuah hukum karena ia merupakan teks seruan yang datang dari Allah swt. Ini adalah pengertian hukum menurut ushuliyun (ulama ushul).
 
✅  أثر خطاب الله

Pengaruh/hasil dari seruan Allah 

Misalnya: wajibnya shalat lima waktu adalah sebuah hukum karena ia adalah hasil dari seruan Allah. Ini adalah pengertian hukum menurut ulama ushul dan fuqaha (ulama fiqih).

Jadi wajibnya shalat adalah hukum menurut ulama ushul dan ulama fiqih, sedangkan (wa aqiimush-shalaah) adalah dalil menurut ulama fiqih, tetapi menurut ulama ushul ia dalil dan hukum sekaligus.

Dua pengertian terakhir adalah yang dimaksudkan dalam pembahasan ushul fiqih.

📌  Pembagian Hukum Berdasarkan Sumbernya

ينقسم الحكم باعتبار مصدره إلى قسمين: الحكم الشرعي وغير الشرعي.
والحكم الشرعي نوعان: حكم اعتقادي يبحث في علم العقيدة، وحكم فرعي عملي يبحث في الأصول والفقه. 

Bila ditinjau dari sumbernya, hukum dapat kita bagi dua:

✅  Hukum syar’i, yaitu hukum yang bersumber dari syara’ atau hukum yang diambil berdasarkan dalil-dalil syari’at, seperti wajibnya beriman kepada hari akhir, haramnya riba, wajibnya zakat, dan lain-lain. 
Hukum syar’i ini dapat kita bagi lagi menjadi dua: 
🔑  hukum i’tiqadi (berkaitan dengan keyakinan) yang dibahas dalam ilmu aqidah, 
🔑  dan hukum far’i ‘amali (berkaitan dengan amal dan tata caranya) yang dibahas dalam ilmu ushul dan ilmu fiqih.

✅  Hukum lain yaitu yang tidak bersumber dari syari’at, seperti hukum yang berdasarkan logika, hukum yang diambil dari alam atau panca indra, dan lain-lain.    

Tentunya yang menjadi objek kajian ushul fiqih adalah hukum syar’i far’i amali, sedangkan yang lainnya dapat kita temukan dalam disiplin ilmunya masing-masing. Meskipun yang dikaji dalam ilmu ushul adalah hukum syar’i far’i, namun mayoritas ushuliyun cukup meyebutnya dengan hukum syar’i.

🖌  PENGERTIAN HUKUM SYAR’I FAR’I

Perhatikan contoh-contoh berikut ini:

1. Shalat lima waktu itu wajib.
2. Riba itu haram.
3. Shalat qabliah (sebelum) subuh itu sunnah.
4. Melirik ketika shalat itu makruh.
5. Jual beli itu mubah/halal/boleh.

✅ Pada contoh-contoh di atas kita dapat mengetahui bahwa syari’at meminta dengan tegas, menganjurkan, atau memberi pilihan kepada kita untuk melakukan sesuatu atau meninggalkannya. 

Pada contoh 1, ada tuntutan dengan tegas (mewajibkan) kita melaksanakan shalat lima waktu. 
Pada contoh 2, ada tuntutan dengan tegas agar kita meninggalkan riba (mengharamkan). 
Pada contoh 3, ada permintaan dengan anjuran agar kita melaksanakan shalat 2 rakaat sebelum subuh. 
Pada contoh 4, ada permintaan dengan anjuran agar tidak melirik dalam shalat. 
Dan pada contoh 5, ada pilihan bebas bagi kita untuk melakukan jual beli atau tidak.

Perhatikan juga contoh-contoh berikut ini:

1. Tergelincirnya matahari dari tengah langit ke barat adalah sebab masuknya waktu zuhur.
2. Thaharah (bersuci) adalah syarat sah shalat.
3. Hutang adalah penghalang wajibnya zakat.
4. Jual beli susu itu sah.
5. Transaksi minuman keras itu tidak sah (batal).

✅  Pada kelompok kedua dari contoh ini tidak ada tuntutan, anjuran, atau pilihan, meskipun semuanya masih berkaitan dengan perbuatan hamba, namun ia berbentuk tanda-tanda bagi perbuatan hamba Allah. 

Pada contoh 1, tergelincirnya matahari dijadikan sebagai sebab masuknya waktu zuhur. 
Contoh 2, thaharah dijadikan sebagai salah satu syarat sah shalat. 
Contoh 3, hutang dijadikan penghalang seseorang dari kewajiban zakat. 
Pada contoh 4 jual beli susu itu dijadikan sebagai transaksi yang sah. 
Dan pada contoh 5 penjualan minuman keras dijadikan sebagai transaksi yang batal (rusak).

Dapat kita pahami dari sepuluh contoh tersebut bahwa hukum syar’i ada yang berupa tuntutan, pilihan, atau tanda-tanda tertentu bagi perbuatan hamba Allah, sehingga dapat disimpulkan bahwa definisi hukum syar’i adalah:

💡  خطاب الله المتعلق بأفعال المكلفين بالاقتضاء أو التخيير أو الوضع

Khithab (seruan) Allah yang berkaitan dengan perbuatan (amal) mukallaf baik berupa iqtidhaa (permintaan), takhyiir (memberi pilihan), atau wadh’ (meletakkan tanda) terhadap perbuatan mukallaf. 

🔦  Penjelasan Definisi

✅  Yang dimaksud dengan khithab Allah adalah Al-Qur’an, Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Ijma’ (konsensus para mujtahid), Qiyas, dan dalil-dalil syar’i lain yang akan dibahas kemudian.

Al-Qur’an disebut khithab Allah karena memang ia merupakan firman Allah, sedangkan Sunnah Rasul adalah firman Allah yang diredaksikan oleh Rasulullah saw sebagai penjelas Al-Qur’an, bahkan Al-Qur’an dengan tegas menyebutnya sebagai wahyu.

وما ينطق عن الهوى إن هو إلا وحي يوحى

Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya. (53:3-4).

Ijma’ tidak mungkin terwujud tanpa dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah, sehingga ijma’ dapat dikategorikan khithab Allah swt. Demikian pula qiyas dan dalil-dalil lain, semuanya adalah kaasyifah li khithaabillah (penyingkap khithab Allah) dan muzh-hirah lil hukmi asy-syar’i (pengungkap hukum syar’i).  

✅  Mukallaf adalah hamba Allah yang telah baligh, berakal sehat dan memiliki potensi untuk mengetahui informasi tentang hukum Allah.

✅  Al-iqtidha adalah thalab artinya permintaan:

🅰️ permintaan untuk berbuat (thalabu fi’lin):
🅰️ 1. permintaan tegas (jazim): al-ijab (mewajibkan) ➡️ wajib.
🅰️ 2. permintaan tidak tegas (ghairu jazim): an-nadb (anjuran) ➡️ mandub (sunnah).

🅱️ permintaan untuk tidak berbuat/larangan (thalabu tarkin):
🅱️ 1. larangan tegas (jazim): at-tahriim (mengharamkan) ➡️ haram.
🅱️ 2. larangan tidak tegas (ghairu jazim): al-karahah (memakruhkan) ➡️ makruh.

Jadi hukum syar’i berupa tuntutan Allah ada empat: wajib, mandub, haram, dan makruh.

✅  At-takhyir berarti memberi pilihan antara melakukan atau tidak, tanpa menyatakan bahwa salah satunya lebih baik = al-ibahah (membolehkan) ➡️ mubah.

✅  Al-wadh’u berarti meletakkan tanda-tanda terhadap amal mukallaf dengan menetapkan sabab (sebab) mengapa perbuatan itu dilakukan, atau menyebutkan syarth (syarat) sebuah amal, atau menetapkan mani’ (penghalang) dari sebuah amal.

✅  Contoh-contoh lain hukum syar’i: 

1- ((يا أيها الذين آمنوا أوفوا بالعقود)) 

Hai orang-orang yang beriman,  penuhilah aqad-aqad itu. (5:1).

Ayat ini adalah hukum syar’i, karena ia adalah khithab Allah yang berkaitan dengan perbuatan hamba-Nya dalam bentuk perintah tegas untuk memenuhi aqad yang telah disepakati (wajib).

2- ((ولا تقربوا الزنا إنه كان فاحشة وساء سبيلا))

Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk. (17:32).

Ayat ini adalah hukum syar’i, karena ia adalah khithab Allah yang berkaitan dengan perbuatan hamba-Nya dalam bentuk larangan tegas berzina (haram).

3- ((فإذا قضيت الصلاة فانتشروا في الأرض وابتغوا من فضل الله))

Apabila telah ditunaikan shalat (Jum’at), maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah. (62:10).

Ayat ini adalah hukum syar’i, karena ia adalah khithab Allah yang berkaitan dengan perbuatan hamba-Nya dalam bentuk pembolehan kembali aktifitas ekonomi setelah selesai shalat Jum’at (mubah).

4- ((صلوا قبل المغرب ركعتين)) ثم قال: ((لمن شاء)) (رواه أحمد وأبو داود)

“Shalatlah 2 raka’at sebelum Maghrib”. Kemudian beliau bersabda: “Bagi yang mau.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud).

Hadits ini adalah hukum syar’i, karena ia adalah khithab Allah yang berkaitan dengan perbuatan hamba-Nya dalam bentuk anjuran agar kita melaksanakan shalat 2 rakaat sebelum Maghrib (mandub). 

5- ((إياكم وكثرة الحلِف في البيع، فإنه ينفّق ثم يمحق)) (رواه مسلم).

Jauhilah banyak bersumpah dalam jual beli, karena hal itu (memang) membuat laris kemudian menghilangkan keberkahan (harta). (HR. Muslim).

Hadits ini adalah hukum syar’i, karena ia adalah khithab Allah yang berkaitan dengan perbuatan hamba-Nya dalam bentuk anjuran agar kita tidak banyak bersumpah dalam jual beli (makruh).

6- ((والسارق والسارقة فاقطعوا أيديهما))

Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya. (5:38).

Ayat ini adalah hukum syar’i, karena ia adalah khithab Allah yang berkaitan dengan perbuatan hamba-Nya dalam bentuk menjadikan perbuatan mencuri sebagai sebab hukuman potong tangan (sabab).

7- ((إذا كانت لك مائتا درهم وحال عليها الحول ففيها خمسة دراهم)) (رواه أبو داود).

Jika engkau memiliki 200 dirham (perak) dan telah berlalu satu tahun, maka zakatnya adalah 5 dirham (2,5 %). (HR. Abu Dawud).  

Hadits ini adalah hukum syar’i, karena ia adalah khithab Allah yang berkaitan dengan perbuatan hamba-Nya dalam bentuk ungkapan bahwa haul (berlalunya harta selama setahun) adalah syarat wajib membayar zakat (syarth).

8- ((لا يرث القاتل شيئا)) (رواه أبو داود)

Pembunuh tidak mewarisi harta (terbunuh) sedikitpun. (HR. Abu Dawud).

Hadits ini adalah hukum syar’i, karena ia adalah khithab Allah yang berkaitan dengan perbuatan hamba-Nya dalam bentuk ungkapan bahwa membunuh adalah penghalang seseorang dari hak mewarisi harta kerabat yang ia bunuh (mani’).

Dari definisi di atas kita juga dapat menyimpulkan bahwa khithab Allah yang tidak berhubungan dengan perbuatan mukallaf, tidak dinamakan hukum syar’i, seperti khithab-Nya yang terkait dengan Zat atau sifat-Nya yang Maha Sempurna: 

((والله بكل شيء عليم))

Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (49:16). 

Atau yang terkait dengan benda mati seperti firman-Nya:

((ألم نجعل الأرض مهادا))

Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan? (78:6).

Demikian juga khithab Allah yang terkait dengan perbuatan mukallaf tapi tidak berupa tuntutan, anjuran atau pemberian tanda, seperti kisah-kisah Al-Qur’an, ia tidak dinamakan hukum syar’i menurut ulama ushul.  

والله أعلم

Dari Berbagai Sumber

Posting Komentar untuk "HUKUM SYAR’I (UF-004)"