Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Qaidah “Hukum atau Nilai Berbagai Perbuatan Sesuai Tujuan atau Niatnya” (QF-004)


اَلأُمُورُ بِمَقَاصِدِهَا
Hukum atau Nilai Berbagai Perbuatan Sesuai Tujuan atau Niatnya

📌 Penjelasan Makna Qaidah

✅ الأُمُورُ: جَمْعُ أَمْرٍ، وَهُوَ لَفْظٌ عَامٌّ لِلْأَفْعَالِ وَالأَقْوَالِ كُلِّهَا

Kata “al-umur” adalah bentuk jamak dari amr yang merupakan lafal umum untuk segala hal berupa perbuatan dan perkataan.

✅ أوْ مَعْنَاهُ الحَالُ وَالشَّأْنُ وَالحَادِثَةُ وَالفِعْلُ

Atau maknanya adalah keadaan, urusan, peristiwa dan perbuatan.
 
✅ والْمَقَاصِدُ: جَمْعُ مَقْصِدٍ وَمَعْنَاهُ: اَلاِعْتِزَامُ، وَالتَّوَجُّهُ 
وَيَأْتِي بِمَعْنَى: النِّيَّةُ وَهُوَ الْمَعْنَى الْمُرَادُ هُنَا.

Sedangkan kata “maqashid” adalah bentuk jamak dari “maqshid” yang artinya keinginan dan arah tujuan. Juga bermakna niat, dan inilah makna yang dimaksud dalam qaidah ini.

✅ فمَعْنَى القَاعِدَةِ فِي اللُّغَةِ: إِنَّ الأَفْعَالَ وَالتَّصَرُّفَاتِ تَابِعَةٌ لِلنِّيَّاتِ

Jadi arti etimologis qaidah tersebut adalah bahwa berbagai perbuatan dan tindakan mengikuti niat.

وَالتَّقْدِيرُ: أَحْكَامُ الأُمُورِ بِمَقَاصِدِهَا، لِأَنَّ عِلْمَ الفِقْهِ إِنَّمَا يَبْحَثُ عَنْ أَحْكَامِ الأَشْيَاءِ لَا عَنْ ذَوَاتِهَا

Maksudnya adalah hukum berbagai perbuatan dan tindakan tersebut sesuai tujuan atau niatnya, karena ilmu fiqih hanya membahas hukum-hukum sesuatu bukan zat dari sesuatu itu sendiri. 

✅ ومعنى القاعدة في الاصطلاح الفقهي:
إِنَّ أَعْمَالَ الْمُكَلَّفِ وَتَصَرُّفَاتِهِ مِنْ قَوْلِيَّةٍ أَوْ فِعْلِيَّةٍ تَخْتَلِفُ نَتَائِجُهَا وَأَحْكَامُهَا الشَّرْعِيَّةُ الَّتِي تَتَرَتَّبُ عَلَيْهَا بِاخْتِلَافِ مَقْصُودِ الشَّخْصِ وَغَايَتِهِ وَهَدَفِهِ مِنْ وَرَاءِ تِلْكَ الأَعْمَالِ وَالتَّصَرُّفَاتِ

Jadi makna qaidah menurut terminologi fiqih adalah:
Sesungguhnya tindakan seorang mukallaf baik perkataan atau perbuatannya, berbeda-beda hasil dan hukum syar’i yang menjadi konsekuensinya, disebabkan oleh perbedaan maksud, tujuan dan niat dibalik tindakannya itu.

📌 Contoh Penerapan Qaidah

✅ Seseorang yang berpuasa, maka apakah puasanya adalah puasa qadha, atau puasa nadzar, atau puasa sunnah, sangat bergantung kepada niatnya. 

✅ Jika seseorang berkata kepada orang lain: “Terima uang ini” maka status hukum uang tersebut tergantung niatnya. Jika ia berniat tabarru’ (pemberian sukarela cuma-cuma), maka status hukumnya adalah hibah atau hadiah. Jika tidak berniat demikian, maka statusnya mungkin adalah pinjaman yang harus dikembalikan, atau amanah/titipan yang harus dijaga.. tergantung kepada niat dari perkataannya itu.

✅ Jika seorang suami berkata kepada istrinya: “Engkau bagiku seperti ibuku” maka status hukum ucapan ini tergantung niat suami. Jika niatnya adalah zhihar, maka statusnya zhihar. Jika niatnya adalah penghargaan/pemuliaan, maka statusnya juga penghargaan dan bukan zhihar.  Begitu juga jika niatnya adalah thalaq, maka jatuh thalaq. Karena kalimat tersebut mengandung kemungkinan semua itu. Oleh sebab itu yang menentukannya adalah niat.


اَلأُمُورُ بِمَقَاصِدِهَا
Qaidah “Hukum atau Nilai Berbagai Perbuatan Sesuai Tujuan atau Niatnya”

Qaidah ini adalah salah satu dari qawa’id kulliyah kubra.

📌 Dalil Qaidah الأمور بمقاصدها 

Cukup banyak dalil yang mendasari qaidah ini. Di sini hanya disebutkan beberapa diantaranya.

✅ إنَّما الأعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

Sesungguhnya hanyalah amal itu dengan niat.

Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Imam Malik dalam kitab Muwaththa riwayat Muhammad bin Al-Hasan, diriwayatkan juga oleh Al-Imam Asy-Syafi’i, Al-Imam Ahmad, Ad-Darimi, Al-Bukhari, Muslim dan Ash-hab As-Sunan sebagaimana disebutkan oleh Abu Al-Faidh Al-Ghumari dalam kitabnya Al-Hidayah fi Takhrij Ahadits Al-Bidayah.

🔦 Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menyatakan:

أَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلَى عِظَمِ مَوْقِعِ هَذَا الحَدِيثِ، وَكَثْرَةِ فَوَائِدِهِ، وَصِحَّتِهِ .

Kaum muslimin telah sepakat tentang agungnya kedudukan hadits ini, banyaknya faidah dan kepastian shahihnya. (Syarh Muslim 13/47).

🔦 Berkata As-Suyuthi rahimahullah dalam kitabnya Al-Asybah wa An-Nazhair tentang qaidah الأمور بمقاصدها:

الْأَصْلُ فِي هَذِهِ الْقَاعِدَة قَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «إنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ»

Dasar dari qaidah ini adalah hadits beliau shallallahu ‘alaihi wasallam “Sesungguhnya hanyalah amal itu dengan niat.” (Al-Asybah wa An-Nazhair hlm 9).

🔦 Tentang kedudukan hadits, As-Suyuthi menyatakan:

اِعْلَمْ أَنَّهُ قَدْ تَوَاتَرَ النَّقْلُ عَنِ الْأَئِمَّةِ فِي تَعْظِيمِ قَدْرِ حَدِيثِ النِّيَّةِ.
قَالَ أَبُو عُبَيْدَةَ: لَيْسَ فِي أَخْبَارِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْءٌ أَجْمَعَ وَأَغْنَى وَأَكْثَرَ فَائِدَةً مِنْهُ، وَاتَّفَقَ الْإِمَامُ الشَّافِعِيُّ وَأَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ وَابْنُ مَهْدِيٍّ، وَابْنُ الْمَدِينِيِّ، وَأَبُو دَاوُدَ، وَالدَّارَقُطْنِيّ وَغَيْرُهُمْ عَلَى أَنَّهُ ثُلُثُ الْعِلْم، وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ: رُبْعُهُ، وَوَجَّهَ الْبَيْهَقِيُّ كَوْنَه ثُلُثَ الْعِلْمِ: بِأَنَّ كَسْبَ الْعَبْدِ يَقَعُ بِقَلْبِهِ وَلِسَانِهِ وَجَوَارِحِهِ، فَالنِّيَّةُ أَحَدُ أَقْسَامِهَا الثَّلَاثَةِ وَأَرْجَحُهَا; لِأَنَّهَا قَدْ تَكُونُ عِبَادَةً مُسْتَقِلَّةً، وَغَيْرُهَا يَحْتَاجُ إلَيْهَا ...
وَقَالَ الشَّافِعِيُّ: يَدْخُلُ فِي سَبْعِينَ بَابَا

Ketahuilah bahwa telah mutawatir nukilan dari para imam tentang keagungan kedudukan hadits niat. Abu ‘Ubaidah berkata: “Diantara hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak ada yang lebih menghimpun, lebih kaya, dan lebih banyak faidahnya dari pada hadits ini. Dan telah sepakat Al-Imam Asy-Syafi’i, Ahmad bin Hambal, Ibnu Mahdi, Ibnu Al-Madini, Abu Dawud, Ad-Daraquthni dan lainnya bahwa ia merupakan sepertiga ilmu. Diantara ulama ada yang berkata seperempatnya. Al-Baihaqi menjelaskan maksud dari sepertiga ilmu bahwa amal usaha seorang hamba terdapat di hati, lisan dan anggota tubuh lainnya, niat adalah salah satu dari ketiga bagian itu dan yang paling kuat, karena niat bisa menjadi ibadah tersendiri sedangkan yang lainnya memerlukan niat...
🔦 Asy-Syafi’i berkata: (hadits niat) masuk ke dalam tujuh puluh bab (fiqih). (Al-Asybah wa An-Nazhair hlm 9).

✅ Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu:

✅ وإِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللهِ إِلَّا أُجِرْتَ بِهَا، حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِي فِي امْرَأَتِكَ (رواه البخاري ومسلم)

Dan sesungguhnya tidaklah engkau memberi nafkah, yang dengannya engkau mengharap ridha Allah, kecuali engkau dibalas dengannya, termasuk apa yang engkau berikan di mulut istrimu. (HR. Al-Bukhari & Muslim).

✅ منْ أَتَى فِرَاشَهُ، وَهُوَ يَنْوِي أَنْ يَقُومَ فَيُصَلِّيَ مِنَ اللَّيْلِ، فَغَلَبَتْهُ عَيْنُهُ حَتَّى يُصْبِحَ، كُتِبَ لَهُ مَا نَوَى، وَكَانَ نَوْمُهُ صَدَقَةً عَلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ (رواه النسائي وابن ماجه وابن خزيمة والحاكم)

Siapa yang datang ke pembaringannya dalam keadaan berniat untuk bangun dan shalat malam, lalu dikalahkan oleh matanya (terus tidur) hingga subuh, dicatat untuknya apa yang telah ia niatkan, dan tidurnya merupakan shadaqah untuknya dari Rabb-nya. (HR. An-Nasa-i, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah, dan Al-Hakim – shahih).

📌  Fungsi Niat

✅ تمْيِيزُ الْمقْصُودِ مِنَ الْعَمَلِ

Untuk menentukan tujuan beramal, apakah untuk Allah ataukah untuk yang lain seperti yang dijelaskan contohnya dalam kelanjutan hadits niat di atas, dimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan:

... فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ»

Barangsiapa hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa hijrahnya karena dunia yang akan didapatkannya atau wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada apa yang menjadi tujuan hijrahnya.

✅ تمْيِيزُ العِبَادَاتِ مِنَ العَادَاتِ

Untuk membedakan perbuatan yang mungkin dimaksudkan sebagai ibadah, tapi mungkin juga dimaksudkan sekedar kebiasaan atau adat atau tujuan lain.

Contoh:

🔦 Seorang yang mandi, apakah mandinya itu bernilai ibadah atau sekedar mandi biasa tergantung niatnya. Karena mungkin saja ia mandi dengan tujuan agar badannya segar semata. 

🔦 Orang yang menahan makan dan minum, mungkin saja tujuannya adalah diet, atau karena tidak ada selera makan, atau bisa juga sebagai ibadah puasa. Semuanya tergantung niat.

🔦 Duduk di masjid mungkin saja untuk istirahat saja atau untuk ibadah (i’tikaf, shalat, dzikir dan lain sebagainya).

Perbuatan seperti di atas jika ingin dikategorikan sebagai ibadah, maka ia harus disertai niat taqarrub (mendekatkan diri) atau ibadah kepada Allah ta’ala.

Oleh karena itu, dua orang yang melakukan perbuatan yang sama, nilainya di sisi Allah bisa jadi berbeda-beda karena niat mereka masing-masing.

🔦 Dari sinilah muncul ungkapan bahwa ibadah tidak hanya sebatas ritual saja.

🔦 Berarti perbuatan yang tidak mengandung kemungkinan lain selain ibadah, tidak memerlukan niat khusus untuk dinilai sebagai ibadah, seperti iman kepada Allah, cinta, harap, dan takut kepada-Nya, membaca Al-Qur’an, dzikrullah dan sejenisnya.

🔦 Sedangkan yang terkait dengan at-tark (التَّرْكُ /ْmeninggalkan yang haram atau makruh), agar mendapatkan pahala khusus, harus menghadirkan niat taat kepada Allah ta’ala. Meskipun nilai kebaikan secara umum semoga Allah tetap berikan karena keimanannya kepada Allah subhananhu wata’ala disertai dengan selalu menghadirkan muraqabatullah (perasaan selalu dalam pengawasan Allah ta’ala).

✅ تمْيِيزُ الْعِبَادَاتِ بَعْضِهَا مِنْ بَعْضٍ

Untuk membedakan ibadah antara yang satu dengan yang lain.

Contoh: 

🔦 Shalat dua rakaat yang dilakukan apakah ia shalat sunnah qabliyah misalnya, ataukah shalat yang lain, yang membedakannya adalah niat.

🔦 Membaca Al-Qur’an, apakah sebagai pemenuhan nadzar ataukah tidak, tergantung niatnya.

🔦 Puasa yang dilakukan di luar Ramadhan, apakah ia qadha Ramadhan ataukah nadzar, puasa kafarat, ataukah puasa sunnah, jika puasa sunnah apakah puasa Dawud, ataukah yang lain, yang membedakannya adalah niat.

والله أعلم بالصواب

Referensi: Al-Asybah wa An-Nazha-ir, Jalaluddin Abdur Rahman bin Abu Bakar As-Suyuthi.

Posting Komentar untuk "Qaidah “Hukum atau Nilai Berbagai Perbuatan Sesuai Tujuan atau Niatnya” (QF-004)"