Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Prioritas Ilmu Sebelum Amal (FA-003)


📚 أَوْلَوِيَّةُ الْعِلْمِ عَلَى العَمَلِ

✅ Karena ilmu mendahului amal, dan ilmu adalah argumentasi sekaligus pemandunya.

📌 Dalil dan Isyarat dari Al-Qur’an

💡 ولَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya. (QS. Al-Isra: 36).

✅ Diantara penjelasan makna ayat tersebut:
Jangan kamu berkata tanpa ilmu, atau jangan engkau tuduh orang lain dengan tuduhan yang tidak berlandaskan ilmu, jangan kamu bersaksi palsu, jangan katakan melihat padahal tidak, mendengar padahal tidak, mengetahui padahal tidak. Semuanya akan diminta pertanggungjawaban. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 5/75).

✅ Dalam konteks kita sekarang:
Jangan kamu share atau copas tanpa ilmu, jangan engkau tuduh orang lain apalagi melalui media sosial tanpa ilmu dan bukti yang meyakinkan serta mempertimbangkan maslahat dan madharat-nya...

💡 فاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ
Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada ilah yang berhak disembah selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan.. (QS. Muhammad: 19).

✅ Di ayat tersebut Allah ta’ala memerintahkan Rasul-Nya untuk berilmu tentang tauhid sebelum beramal, dalam hal ini adalah istighfar. 

✅ Oleh sebab itu, al-Imam al-Bukhari rahimahullah meletakkan satu bab tentang ilmu dalam Jami' ash-Shahih nya, باب: العلم قبل القول والعمل (Bab: Ilmu itu Sebelum Perkataan dan Perbuatan), kemudian beliau mengutip ayat tersebut. 

✅ Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah menjelaskan:

أَرَادَ بِهِ أَنَّ الْعِلْمَ شَرْطٌ فِي صِحَّةِ الْقَوْلِ وَالْعَمَلِ فَلَا يُعْتَبَرَانِ إِلَّا بِهِ فَهُوَ مُتَقَدِّمٌ عَلَيْهِمَا لِأَنَّهُ مُصَحِّحٌ لِلنِّيَّةِ الْمُصَحِّحَةِ لِلْعَمَلِ فَنَبَّهَ الْمُصَنِّفٌ عَلَى ذَلِكَ حَتَّى لَا يَسْبِقُ إِلَى الذِّهْنِ مِنْ قَوْلِهِمْ إِنَّ الْعِلْمَ لَا يَنْفَعُ إِلَّا بِالْعَمَلِ تَهْوِينُ أَمْرِ الْعِلْمِ وَالتَّسَاهُلُ فِي طَلَبِهِ.
Yang beliau maksud adalah bahwa ilmu itu syarat bagi kebenaranan perkataan dan perbuatan. Keduanya tidak dianggap benar kecuali dengan ilmu, sehingga ilmu itu didahulukan atas keduanya, karena ilmulah yang meluruskan niat dan niat itu membuat sah perbuatan. Penulis mengingatkan hal itu, agar orang-orang tidak salah paham terhadap pernyataan para ulama 'Sesungguhnya ilmu itu tidak bermanfaat kecuali disertai amal” dengan meremehkan ilmu dan meremehkan pula mencarinya. (Fath al-Bari, 1/160).

💡 إنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
Yang takut kepada Allah diantara hamba-hambaNya hanyalah ulama (orang-orang berilmu). (QS. Fathir: 28).

✅ Maka ilmulah yang mewarisi “khasy-yah” yang mendorong seseorang untuk beramal, karena kasy-yah adalah:
الخَشْيَةُ: خَوْفٌ يَشُوبُهُ تَعْظِيمُ الْمَخْشِيِّ، مَعَ الْمَعْرِفَةِ بِهِ
Rasa takut yang bercampur pengagungan terhadap yang ditakuti, disertai pengenalan terhadapnya. (Mu’jam Maqalid al-Ulum, Jalaluddin as-Suyuthi, hlm 204).
 
✅ Berkata Ibnu ‘Asyur rahimahullah:

وَالْمُرَادُ بِالْعُلَمَاءِ: الْعُلَمَاءُ بِاللَّهِ وَبِالشَّرِيعَةِ، وَعَلَى حَسَبِ مِقْدَارِ الْعِلْمِ فِي ذَلِكَ تَقْوَى الْخَشْيَةُ
Yang dimaksud dengan ulama adalah ahli ilmu tentang Allah dan syariat. Sejauh mana kadar ilmu di dalam hal itu, sejauh itu pula khasy-yah menguat. (at-Tahrir wa at-Tanwir, 22/304).

💡 Diantara isyarat Al-Qur’an bahwa ilmu didahulukan sebelum amal adalah perintah membaca (اقرأ) sebagai ayat pertama yang diturunkan, di mana membaca adalah kunci ilmu, baru kemudian turun ayat untuk beramal seperti perintah qiyamullail di surat al-Muzzammil dan memberi peringatan di surat al-Muddatstsir.

📌 Dalil dan Isyarat dari Hadits

✅ Berkata dan bersikap tanpa landasan ilmu dapat menimbulkan penyimpangan.

💡 Diantaranya adalah kecaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap cikal bakal kelompok ekstrim yaitu Khawarij yang meragukan keadilan beliau, dan di kemudian hari mereka menghalalkan darah kaum muslimin bahkan mengkafirkan para sahabat diantaranya Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhum DISEBABKAN MEREKA TIDAK MEMILIKI ILMU DAN PEMAHAMAN YANG BENAR TENTANG BERBAGAI HAL.
Dalam pembagian harta oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada beberapa orang, seorang yang dikenal dengan Dzul-Khuwaishirah At-Tamimi memprotes beliau dengan mengatakan:

يَا رَسُولَ اللهِ اعْدِلْ 
Ya Rasulullah, berlaku adillah!

Rasul bersabda:
وَيْلَكَ وَمَنْ يَعْدِلُ إِذَا لَم أَعْدِلْ قَدْ خِبْتَ وَخَسِرْتَ إِنْ لَمْ أَكُنْ أَعْدِلُ
Celaka engkau, siapa yang akan berlaku adil jika aku tidak adil?! Sungguh engkau merana dan merugi jika aku tidak adil.

Umar pun meminta izin untuk membunuh orang ini, namun Rasulullah tidak mengizinkannya dan bersabda sambil menyebutkan peristiwa yang akan terjadi di masa depan:

دَعْهُ، فَإِنَّ لَهُ أَصْحَابًا يَحْقِرُ أَحَدُكُمْ صَلاَتَهُ مَعَ صَلاَتِهِمْ، وَصِيَامهُ مَعَ صِيَامِهِمْ، يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ، لاَ يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ، يَمْرُقُونَ مِنَ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ .
Biarkan dia, sesungguhnya ia nanti akan memiliki kawan-kawan yang salah seorang diantara kalian akan merendahkan shalatnya dibanding shalat mereka, akan mencela puasanya dibandingkan puasa mereka. Mereka membaca Al-Qur’an namun tidak melewati tulang selangka (kerongkongan) mereka. Mereka keluar lepas dari agama seperti meluncur derasnya anak panah dari binatang yang menjadi sasarannya. (Muttafaq ‘alaih dari hadits Abu Sai’d Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu).

✅ Secara umum, al-Imam an-Nawawi rahimahullah menjelaskan makna “membaca Al-Qur’an tetapi tidak melewati tenggorokan”:

مَعْنَاهُ أَنَّ قَوْمًا لَيْسَ حَظُّهُمْ مِنَ القُرْآنِ إِلَّا مُرُورَهُ عَلَى اللِّسَانِ فَلَا يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ لِيَصِلَ قُلُوبَهُمْ وَلَيْسَ ذَلِكَ هُوَ الْمَطْلُوبَ بَلِ الْمَطْلُوبُ تَعَقُّلُهُ وَتَدَبُّرُهُ بِوُقُوعِهِ فِي الْقَلْبِ.
Artinya bahwa suatu kaum tak ada bagian dari Al-Qur’an untuk mereka kecuali sekadar lewat saja di lidah, tidak melewati kerongkongan supaya sampai ke dalam hati, bukan seperti itu seharusnya. Yang dituntut adalah memahaminya, melakukan perenungan terhadapnya (tadabbur) agar mengena di hati. (Syarh an-Nawawi ‘ala Muslim, 6/105).

✅ Dalam konteks Khawarij, bacaan Al-Qur’an mereka tidak melahirkan ilmu dan pemahaman yang benar, pemahaman mereka menyimpang, sehingga sikap dan perilaku mereka pun menjadi menyimpang dan ekstrim. Saking ekstrimnya dalam beragama, digambarkan seperti anak panah yang meluncur saking kerasnya sampai menembus binatang buruan yang menjadi target, dan tak ada bekas daging yang menempel di anak panah itu. Itulah gambaran orang-orang yang mengkafirkan kaum muslimin dan membunuh mereka tanpa dosa serta menganggap itu sebagai perbuatan mendekatkan diri kepada Allah, padahal Allah berlepas diri dari mereka.

✅ Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:

فَأُخْرِجُوا عَنِ السُّنَّةِ وَالجَمَاعَةِ وَهُمْ قُوْمٌ لَهُمْ عِبَادَةٌ وَوَرَعٌ وَزُهْدٌ؛ لَكِنْ بِغَيْرِ عِلْمٍ
Mereka dikeluarkan dari Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, padahal mereka adalah kaum yang beribadah, bersifat wara’ dan zuhud, tapi tanpa ilmu. (Majmu’ al-Fatawa, 28/580). 

📌 Ungkapan Beberapa Ulama

💡 Umar bin Abdul Aziz rahimahullah berkata:

مَنْ عَمِلَ فِي غَيْر عِلْمٍ كَانَ مَا يُفْسِدُ أَكْثَرَ مِمَّا يُصْلِحُ
Siapa yang beramal dalam keadaan tanpa ilmu, adalah yang ia rusak lebih banyak dari pada yang ia perbaiki. (Jami’ Bayan al-‘Ilm wa Fadhlih, Ibnu Abdil Bar, 1/27).

💡 Al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata:

اَلْعَامِلُ عَلَى غَيْرِ عِلْمٍ كَالسَّالِكِ عَلَى غَيْرِ طَرِيقٍ وَالْعَامِلُ عَلَى غَيْرِ عِلْمٍ مَا يُفْسِدُ أَكْثَرُ مِمَّا يُصْلِحُ فَاطْلُبُوا العِلْمَ طَلَبًا لَا يَضُرُّ بِالْعِبَادَةِ وَاطْلُبُوا الْعِبَادَةَ طَلَبًا لَا يَضُرُّ بِالْعِلْمِ فَإِنَّ قَوْمًا طَلَبُوا الْعِبَادَةَ وَتَرَكُوا الْعِلْمَ حَتَّى خَرَجُوا بِأَسْيَافِهِمْ عَلَى أُمَّةِ مُحَمَّدٍ وَلَوْ طَلَبُوا الْعِلْمَ لَمْ يَدُلَّهُمْ عَلَى مَا فَعَلُوا
Orang yang beramal tidak berlandaskan ilmu seperti orang yang menempuh perjalanan tanpa ada jalan. Orang yang beramal tanpa landasan ilmu, apa yang ia rusak lebih banyak dari pada apa yang ia perbaiki. Maka tuntutlah ilmu dengan cara yang tidak mengganggu ibadah, dan kejarlah ibadah dengan cara yang tidak mengganggu ilmu. Karena sesungguhnya ada satu kaum yang mengejar ibadah dan meninggalkan ilmu sehingga mereka keluar dengan pedang-pedang mereka menumpahkan darah ummat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Andai mereka menuntut ilmu, maka ilmu itu tak akan mengantarkan mereka kepada perbuatan itu. (Miftah Dar as-Sa’adah, Ibnul Qayim, hlm 82).

Referensi Utama: Fi Fiqih al-Awlawiyat – Dr. Yusuf al-Qaradhawi

Posting Komentar untuk "Prioritas Ilmu Sebelum Amal (FA-003)"