Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Beberapa Istilah terkait Khabar Shahih dan Hasan (MH-005)



📌 Hasan-Shahih dalam Istilah Al-Imam At-Tirmidzi 

✅ Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullah di dalam Sunan At-Tirmidzi sering meriwayatkan sebuah hadits kemudian menyebutkan bahwa hadits tersebut adalah حسن صحيح (hasan shahih). Apa maksudnya?

✅ Para ulama menjelaskan beberapa kemungkinan maksud Al-Imam At-Tirmidzi, kami sebutkan di sini dua saja:

1. Hadits tersebut memiliki dua sanad, salah satunya dinilai shahih, dan sanad lainnya hasan.
2. Hadits tersebut hanya memiliki satu sanad, tapi para ulama hadits berbeda pendapat tentang statusnya apakah shahih ataukah hasan dan Al-Imam At-Tirmidzi tidak menentukan mana yang lebih tepat.

✅ Tentang alasan yang pertama Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan:

وَأَمَّا قَوْلُ التِّرْمِذِيِّ وَغَيْرِهِ: حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ، فَمَعْنَاهُ رُوِيَ بِإِسْنَادَيْنِ، أَحَدُهُمَا يَقْتَضِي الصِّحَّةَ، وَالآخَرُ الْحَسَنَ 

Adapun ucapan At-Tirmidzi dan yang lainnya “hadits hasan shahih” maka maksudnya adalah diriwayatkan melalui dua sanad, salah satunya dinilai shahih, dan yang lain hasan. (At-Taqrib wa At-Taisir, An-Nawawi, hlm 29).

✅ Al-Imam As-Suyuthi rahimahullah dalam syarahnya terhadap kitab Al-Imam An-Nawawi tersebut menjelaskan bahwa ulama lain yang menyebutkan istilah “hasan shahih” diantaranya adalah ‘Ali bin Al-Madini dan Ya’qub bin Syaibah rahimahumallah. (Tadrib Ar-Rawi Syarh Taqrib An-Nawawi, Jalaluddin As-Suyuthi, 1/175).

✅ Sedangkan Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullah menjelaskan kedua alasan tersebut:

فَإِنْ جُمِعَا، أَيْ الصَّحِيحُ وَالحَسَنُ، فِي وَصْفِ وَاحِدٍ، كَقَوْلِ التِّرْمِذِيِّ وَغَيْرِهِ: "حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ"، فَلِلتَّرَدُّدِ الحَاصِلِ مِنَ المُجْتَهِدِ ِفي النَّاقِلِ: هَلِ اجْتَمَعَتْ فِيهِ شُرُوطُ الصِّحَّةِ أَوْ قَصُرَ عَنْهَا، وَهَذَا حَيْثُ يَحْصُلُ مِنْهُ التَّفرُّدُ بِتِلْكَ الرِّوَايَةِ ... 
وَإِلَّا إِِذَا لَمْ يَحْصُلِ التَّفرُّدُ فَإِطْلَاقُ الوَصْفَيْنِ مَعاً عَلَى الحَدِيثِ يَكُونُ بِاعْتِبَارِ إِسْنَادَيْنِ: أَحَدُهُمَا صَحِيحٌ، وَالآخَرُ حَسَنٌ. وَعَلَى هَذَا فَمَا قِيلَ فِيهِ: "حَسَنٌ صَحِيحٌ" فَوْقَ مَا قِيلَ فِيهِ: "صَحِيحٌ" فَقَطْ إِذَا كَانَ فَرْداً،  لِأَنَّ كَثْرَةَ الطُّرُقِ تُقَوِّي.

Jika dua sifat shahih dan hasan disatukan dalam menilai satu hadits, seperti ucapan At-Tirmidzi dan lainnya: hadits hasan shahih, maka hal itu karena keraguan yang muncul dari seorang mujtahid tentang rawinya apakah ia memenuhi syarat-syarat shahih atau kurang. (Penjelasan) ini (berlaku) saat riwayat itu hanya dari rawi tersebut sendirian …
Jika tidak tunggal (sanadnya), maka penyebutan dua sifat tersebut untuk satu hadits (dilakukan) karena melihat dua sanadnya, salah satunya shahih sedang yang lain hasan. Atas dasar ini, maka yang dikatakan hasan shahih lebih tinggi dari sekadar shahih yang jalurnya tunggal, karena banyaknya jalur itu memperkuat (hadits). (Nuzhah An-Nazhar, hlm 79-80).

📌 Ungkapan Para Ulama “Ini adalah yang paling shahih pada bab ini”
(هَذَا أَصَحُّ شَيْءٍ فِي هَذَا البَابِ)

✅ Al-Imam As-Suyuthi rahimahullah menyebutkan dalam Tadrib Ar-Rawi Syarah Taqrib An-Nawawi :

مِمَّا يُنَاسِبُ هَذِهِ الْمَسْأَلَةَ: أَصَحُّ الْأَحَادِيثِ الْمُقَيَّدَةِ: كَقَوْلِهِمْ أَصَحُّ شَيْءٍ فِي الْبَابِ كَذَا، وَهَذَا يُوجَدُ فِي جَامِعِ التِّرْمِذِيِّ كَثِيرًا؛ وَفِي تَارِيخِ الْبُخَارِيِّ وَغَيْرِهِمَا.
وَقَالَ الْمُصَنِّفُ فِي الْأَذْكَارِ: لَا يَلْزَمُ مِنْ هَذِهِ الْعِبَارَةِ صِحَّةُ الْحَدِيثِ، فَإِنَّهُمْ يَقُولُونَ: هَذَا أَصَحُّ مَا جَاءَ فِي الْبَابِ وَإِنْ كَانَ ضَعِيفًا، وَمُرَادُهُمْ أَرْجَحُهُ، أَوْ أَقَلُّهُ ضَعْفًا. 

Diantara hal yang berkaitan dengan masalah ini adalah (ungkapan) hadits-hadits paling shahih yang (disebutkan) dengan tambahan “embel-embel”, seperti ucapan mereka: “yang paling shahih pada bab ini adalah hadits ini”. Dan ini banyak di dalam Jami’ At-Tirmidzi, dan di Tarikh Al-Bukhari, serta selain keduanya.
Berkata Penulis (maksudnya Al-Imam An-Nawawi rahimahullah) dalam Al-Adzkar: “Ungkapan ini tidak harus diartikan shahihnya hadits itu, karena mereka (tetap) mengatakan “ini adalah paling shahih yang ada pada bab ini” meskipun ia adalah (hadits) dha’if, maksud mereka adalah yang paling kuat (diantara riwayat yang lain) atau yang paling sedikit faktor kelemahannya”. (Tadrib Ar-Rawi, 1/191-192; lihat juga Al-Adzkar Al-Imam An-Nawawi hlm 308).

✅ Contoh: 

✅ Di dalam Sunan At-Tirmidzi Hadits No 3 dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallau ‘anhu disebutkan hadits Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam:

«مِفْتَاحُ الصَّلَاةِ الطُّهُورُ، وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ، وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ». 

Kunci shalat adalah thaharah (bersuci), tahrim (awal) nya adalah takbir, dan tahlil (selesai) nya adalah salam.

✅ Takbir awal shalat disebut tahrim (takbir ihram) karena dengannya seluruh aktifitas yang tak berhubungan dengan shalat diharamkan seperti makan, minum, bicara, dan hal lain yang membatalkannya. Sebaliknya salam disebut tahlil (penghalalan) karena dengannya shalat selesai dan yang tak boleh tadi kembali boleh.

✅ Al-Imam At-Tirmidzi menyebutkan setelahnya:

هَذَا الْحَدِيثُ أَصَحُّ شَيْءٍ فِي هَذَا الْبَابِ وَأَحْسَنُ. وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَقِيلٍ هُوَ صَدُوقٌ، وَقَدْ تَكَلَّمَ فِيهِ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ قِبَلِ حِفْظِهِ. وسَمِعْت مُحَمَّدَ بْنَ إِسْمَاعِيلَ يَقُولُ: كَانَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ، وَإِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، وَالْحُمَيْدِيُّ، يَحْتَجُّونَ بِحَدِيثِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَقِيلٍ، قَالَ مُحَمَّدٌ: وَهُوَ مُقَارِبُ الْحَدِيثِ

Hadits ini adalah paling shahih pada bab ini dan paling baik. Dan Abdullah bin Muhammad bin ‘Aqil dia adalah “shaduq” (jujur), dan sebagian ulama membicarakannya dari sisi hafalannya. Dan aku telah mendengar Muhammad bin Ismail (yakni Al-Imam Al-Bukhari) mengatakan: “Ahmad bin Hambal, Ishaq bin Ibrahim, dan Al-Humaidi berhujjah (berargumentasi) dengan hadits Abdullah bin Muhammad bin ‘Aqil”. Berkata Muhammad (Al-Imam Al-Bukhari): “Dan dia adalah muqarib al-hadits”.

✅ Makna muqarib al-hadits (boleh juga diucapkan muqarab) :

وَمَعْنَاهُ أَنَّ حَدِيثَهُ مُقَارِبٌ لِحَدِيثِ غَيْرِهِ مِنَ الثِّقَاتِ ... وَسَطٌ لَا يَنْتَهِي إِلَى دَرَجَةِ السُّقُوطِ وَلَا الْجَلَالَةِ، وَهُوَ نَوْعُ مَدْحٍ

Dan maknanya bahwa haditsnya mendekati hadits rawi-rawi tepercaya.. (sifat ini) pertengahan tidak sampai ke derajat rendah dan juga tidak sampai derajat agung, ia termasuk pujian. (Fath Al-Mughits, Muhammad bin Abdul Rahman As-Sakhawi, 2/119).

✅ Tampak dari penjelasan Al-Imam At-Tirmidzi bahwa salah satu perawinya dhabthnya tidak terlalu kuat, meskipun tidak sampai tingkatan buruk, karena Al-Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah dan lainnya berhujjah dengannya menurut informasi Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah, dan Al-Imam Al-Bukhari sendiri menyatakan bahwa Abdullah bin Muhammad bin ‘Aqil adalah muqarib al-hadits. Oleh karenanya hadits ini dari sisi sanad ini menurut Al-Imam At-Tirmidzi dapat dinilai hasan, meskipun beliau menyatakan “ini paling shahih pada bab ini”. 
 
✅ Jadi bila kita ingin menerjemahkannya, mungkin lebih tepat kita mengatakan: “Ini adalah hadits/khabar terbaik pada bab ini.” Agar tidak dipahami sebagai penilaian shahih secara otomatis.

📌  Ungkapan Ahli Hadits “Ini adalah Hadits yang Isnadnya Shahih”
(هَذَا حَدِيثٌ صَحِيحُ الإِسْنَادِ)

✅ Ungkapan ini berbeda dengan ungkapan “ini adalah hadits shahih” (هَذَا حَدِيثٌ صَحِيحٌ).
Karena ungkapan pertama hanya menyatakan isnad yang shahih artinya baru memenuhi tiga syarat hadits shahih (‘adalah rawi, baik dhabth-nya dan sanadnya bersambung), sedangkan dua syarat lainnya (tidak syadz dan tidak punya illah) belum termasuk. Sedangkan ungkapan kedua telah mengandung pemenuhan kelima syarat tersebut.

✅ Hal ini dijelaskan diantaranya oleh Al-Imam As-Suyuthi rahimahullah:

(وَقَوْلُهُمْ) أَيِ الْحُفَّاظ هَذَا (حَدِيثٌ حَسَنُ الْإِسْنَادِ أَوْ صَحِيحُهُ دُونَ قَوْلِهِمْ حَدِيثٌ صَحِيحٌ أَوْ حَسَنٌ لِأَنَّهُ قَدْ يَصِحُّ أَوْ يَحْسُنُ الْإِسْنَادُ) لِثِقَةِ رِجَالِهِ (دُونَ الْمَتْنِ لِشُذُوذٍ أَوْ عِلَّةٍ) وَكَثِيرًا مَا يَسْتَعْمِلُ ذَلِكَ الْحَاكِمُ فِي مُسْتَدْرَكِهِ.

Dan ucapan mereka (para huffazh) “ini adalah hadits yang hasan isnadnya atau shahih isnadnya” (nilainya) di bawah ucapan mereka “hadits shahih” atau “hasan” karena bisa jadi isnadnya shahih atau hasan karena para rawinya tepercaya, tetapi matannya tidak, disebabkan adanya unsur syadz dan ‘illah. Ungkapan itu banyak digunakan oleh Al-Hakim dalam Mustadrak-nya. (Tadrib Ar-Rawi, 1/175).

✅ Al-Imam As-Suyuthi menambahkan di halaman yang sama: 

(فَإِنِ اقْتَصَرَ عَلَى ذَلِكَ حَافِظٌ مُعْتَمَدٌ) وَلَمْ يَذْكُرْ لَهُ عِلَّةً وَلَا قَادِحًا (فَالظَّاهِرُ صِحَّةُ الْمَتْنِ وَحُسْنُهُ) لِأَنَّ عَدَمَ الْعِلَّةِ وَالْقَادِحِ هُوَ الْأَصْلُ وَالظَّاهِرُ.

Jika seorang hafizh (dalam ilmu hadits) yang menjadi rujukan mencukupkan pada ungkapan tersebut dan ia tidak menyebutkan ‘illah pada hadits tersebut atau cacatnya, maka tampaknya adalah matannya shahih dan baik, karena ketiadaan ‘illah dan cacat adalah keadaan asal dan lebih dominan.

✅ Pernyataan “Ketiadaan ‘illah dan cacat adalah keadaan asal dan lebih dominan” juga merupakan pendapat Ibnu Ash-Shalah rahimahullah, tapi tidak disetujui oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah. (An-Nukat ‘ala Kitab Ibn Ash-Shalah, Ibnu Hajar, 1/73).

Posting Komentar untuk "Beberapa Istilah terkait Khabar Shahih dan Hasan (MH-005)"