Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Melafalkan Niat (QF-006) Bagian 2


📌  Dalil dan Argumentasi Masing-Masing tentang Melafalkan Niat

📒  Dalil Ulama yang Menyatakan Bid’ah

1. Bahwa prinsip dasar dalam ibadah adalah tawqifiyyah (hanya yang disyariatkan Allah & Rasul-Nya). 

✅  Berkata Ibnu Taimiyyah rahimahullah:

كَانَ أَحْمَدُ وَغَيْرُهُ مِنْ فُقَهَاءِ أَهْلِ الْحَدِيثِ يَقُولُونَ: إِنَّ الْأَصْلَ فِي الْعِبَادَاتِ التَّوْقِيفُ، فَلَا يُشْرَعُ مِنْهَا إِلَّا مَا شَرَعَهُ اللَّهُ، وَإِلَّا دَخَلْنَا فِي مَعْنَى قَوْلِهِ تَعَالَى: {أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ}

Adalah Ahmad (bin Hambal) dan ahli fiqih lainnya mengatakan: “Sesungguhnya prinsip dasar dalam ibadah adalah tawqif, maka tidak disyariatkan dari ibadah kecuali apa yang disyariatkan oleh Allah. Jika tidak demikian, kita akan masuk ke dalam firmanNya: “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?”” (QS. Asy-Syura: 21). (Al-Qawa’id An-Nuraniyyah, Ibnu Taimiyyah, hlm 164).

2. Bahwa melafalkan niat tidak dicontohkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum, maka melakukannya adalah bid’ah.

✅  Ibnu Taimiyyah rahimahullah menyatakan:

وإنما تنازع الناس في نفس التلفظ بها سرا. هل يستحب أم لا؟ على قولين والصواب أنه لا يستحب التلفظ بها فإن النبي صلى الله عليه وسلم وأصحابه لم يكونوا يتلفظون بها لا سرا ولا جهرا؛ والعبادات التي شرعها النبي صلى الله عليه وسلم لأمته ليس لأحد تغييرها وإحداث بدعة فيها (مجموع الفتاوى 22/233)

Orang-orang hanya berbeda pendapat pada melafalkan niat secara perlahan/sirr, apakah mustahab ataukah tidak? Ada dua pendapat, dan yang tepat adalah melafalkan itu tidak mustahab, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya tidak melafalkan niat baik sirr (perlahan) maupun jahr (keras). Dan ibadah yang disyariatkan Nabi bagi ummatnya tidak boleh siapapun mengubahnya dan mengadakan bid’ah di dalamnya. (Majmu’ Fatawa, 22/233).

3. Bahwa qiyas dalam masalah ibadah sangatlah sempit, tak boleh diperluas, karena ‘illah (alasan hukum) di dalamnya rata-rata tidak dapat diketahui atau dipahami oleh akal. Apalagi dalam masalah ini, menjadikan niat haji sebagai dasar untuk mengqiyaskan niat ibadah lain tidaklah benar, karena talbiyah pada ibadah haji bukanlah niat haji, melafalkan talbiyah bukanlah melafalkan niat haji, sehingga ia tidak bisa menjadi landasan qiyas.

4.  Kaidah:

إذا تَرَكَ الرسول - صلى الله عليه وسلم - فعل عبادة من العبادات مع كون موجبها وسببها المقتضي لها قائمًا ثابتًا، والمانع منها منتفيًا؛ فإن فعلها بدعة. 
ومن الأمثلة على ذلك: التلفظ بالنية عند الدخول في الصلاة.

Jika Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam meninggalkan suatu perbutan ibadah padahal faktor pendorong dan sebabnya jelas dan sebaliknya penghalangnya tidak ada, maka (menunjukkan) bahwa melakukannya adalah bid’ah. 
Diantara contohnya adalah melafalkan niat saat mau masuk shalat. 
(Qawa’id Ma’rifah Al-Bida’, Muhammad Husain Al-Jizani, hlm 75).

📒  Dalil Ulama yang Menyatakan bahwa Melafalkan Niat itu Dibenarkan

✅  Di sini, kami menyatukan dalil-dalil para ulama baik yang berpendapat mustahab/afdhal atau mubah/boleh meskipun tidak utama (khilaf al-awla). Oleh sebab itu kami menyatukannya dengan kata “dibenarkan”.

1.  Melafalkan niat di semua ibadah dapat diqiyaskan dengan melafalkan niat di dalam ihram untuk haji

✅  Jumhur ulama ushul fiqih menyatakan bahwa qiyas dalam furu’ (cabang) ibadah adalah dalil yang sah di dalam syariat. Yang mereka tolak adalah qiyas dalam ushul (pokok) ibadah, seperti mewajibkan shalat yang keenam selain yang lima waktu, dan itulah yang mereka maksud dengan “prinsip dasar dalam ibadah adalah tawqifiyyah”. Oleh karena itu, misalnya, para ulama membolehkan menjama’ dua shalat karena alasan salju atau dingin berdasar qiyas atas bolehnya jama’ karena hujan yang ada dalilnya. Juga bolehnya tayammum untuk shalat sunnah dengan dalil qiyas atas tayammum untuk shalat fardhu, dan masih banyak contoh yang lain. (Lihat: Dirasah wa Tahqiq Qaidah Al-Ashlu fi Al-Ibadat Al-Man’ karya Muhammad bin Husain Al-Jizani, hlm 81-82). 

✅  Oleh karena itu dalam Kitab Ar-Risalah Al-Imam Asy-Syafi’i disebutkan: 
 
كل حكم لله أو لرسوله وُجِدت عليه دلالة فيه أو في غيره من أحكام الله أو رسوله بأنه حُكِم به لمعنى من المعاني، فنزلت نازلة ليس فيها نص حكمٍ: حُكم فيها حكمُ النازلة المحكومِ فيها، إذا كانت في معناها.

Setiap hukum Allah dan RasulNya yang mengandung tanda atau bukti bahwa ia diputuskan karena alasan tertentu, lalu muncul masalah baru yang tidak ada dalil tekstualnya, maka diberlakukan pula hukum yang sama padanya jika alasannya sama. (Ar-Risalah, Al-Imam Asy-Syafi’i, hlm 512).

✅  Melafalkan niat adalah salah satu contoh masalah cabang ibadah yang diperbolehkan qiyas di dalamnya.

🎯  Adapun penjelasan qiyasnya adalah sebagai berikut:

📎  Yang jadi patokan (al-ashl): melafalkan niat di dalam haji, disebut patokan karena ada dalil Qur’an atau Haditsnya. 

✅  Dalam hal ini adalah hadits tentang Dhuba’ah binti Az-Zubair radhiyallahu ‘anha yang sedang sakit namun ingin tetap haji, diriwayatkan oleh Abu Dawud, Muslim dan lainnya dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma:

عن ابن عباس: أن ضُباعَة بنتَ الزبيرِ بن عبدِ المطلب أتَتْ رسولَ الله - صلَّى الله عليه وسلم - فقالت: يا رسول الله، إني أُرِيدُ الحج أأشترِطُ؟ قال "نَعَمْ" قالت: فكيف أقولُ؟ قال: "قُولي: لبيك اللهم لبيْكَ، ومحلِّي من الأرْضِ حَيْثُ حَبَسْتَني." (رواه أبو داود)

Dari Ibnu ‘Abbas bahwa Dhuba’ah binti Az-Zubair bin Abdul Muthalib mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu ia berkata: “Ya Rasulullah, sesungguhnya saya hendak haji, apakah saya boleh membuat syarat (isytirath)?” Beliau bersabda: “Ya”. Ia berkata: “Bagaimana saya mengucapkannya?” Beliau bersabda: “Ucapkanlah: “Labbaik, Allahumma labbaik, dan tempat tahallul saya di bumi (area haji) adalah dimana Engkau menahanku”. (HR. Abu Dawud).

📎  Hukum melafalkan niat isytirath dalam haji: disyariatkan (minimal boleh).

📎  ‘Illah (alasan hukum) pensyariatan: untuk menguatkan niat di dalam hati.

📎  Yang jadi cabang (al-far’/yang akan diqiyaskan): melafalkan niat dalam ibadah secara umum.

☑️  Hasil qiyas: melafalkan niat dalam semua ibadah disyariatkan karena adanya kesamaan alasan hukum dengan niat haji yang dilafalkan, yaitu sama-sama menguatkan niat di dalam hati.

✅  Isytirath berguna bagi yang sakit jika ia khawatir tidak bisa menyempurnakan manasik haji, dimana jika ia tidak bisa melanjutkan karena sakitnya, dengan isytirath ini ia boleh tahallul di tempat dan tidak wajib dam dll.

🎯  Mengapa dari hadits tersebut, dapat disimpulkan melafalkan niat haji?

✅  Karena Dhuba’ah radhiyallahu ‘anha mengungkapkannya dengan iradah (kehendak), dan hakikat niat adalah iradah yang beriringan dengan amal.

✅  Karena para ulama menyebutkan bahwa isytirath itu termasuk niat sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Qudamah rahimahullah, salah seorang mujtahid madzhab Hambali, dalam Al-Mughni:

فَإِنْ نَوَى الِاشْتِرَاطَ، وَلَمْ يَتَلَفَّظْ بِهِ، احْتَمَلَ أَنْ يَصِحَّ 

Jika ia berniat isytirath, dan tidak melafalkannya, maka ada kemungkinan (niatnya) sah. (Al-Mughni, 3/266).

✅  Ibnu Taimiyyah rahimahullah sendiri dari pernyataannya menunjukkan bahwa niat ihram dan isytirath itu dilafalkan:

ثُمَّ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ وَيُحْرِمُ عَقِيبَهُمَا؛ وَهُوَ أَنْ يَنْوِيَ الْإِحْرَامَ وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَنْطِقَ بِهِ وَيَشْتَرِطَ فَيَقُولَ: اللَّهُمَّ إِنِّي أُرِيدُ النُّسُكَ الْفُلَانِيَّ فَإِنْ حَبَسَنِي حَابِسٌ فَمَحَلِّي حَيْثُ حَبَسْتَنِي. (شرح العمدة لابن تيمية، 1/417).

Kemudian ia (yang akan ihram) shalat dua rakaat dan ihram sesaat setelahnya, yaitu dengan berniat ihram dan disukai melafalkannya dan melakukan isytirath dengan mengatakan: “Ya Allah, sesungguhnya aku menghendaki ibadah ini (dengan menyebutkan jenis hajinya), maka jika ada sesuatu yang menghalangiku, maka tempat tahallulku adalah di mana Engkau menahanku.” (Syarh Al’Umdah, Ibnu Taimiyyah, 1/417).

✅  Juga apa yang dikutip oleh Al-Bahuti dari Ibnu Taimiyyah menunjukkan hal yang sama, perhatikan bagian akhirnya:

(وَالتَّلَفُّظُ بِهَا) أَيْ بِالنِّيَّةِ (وَبِمَا نَوَاهُ) مِنْ وُضُوءٍ أَوْ غُسْلٍ أَوْ تَيَمُّمٍ (هُنَا) أَيْ فِي الْوُضُوءِ وَالْغُسْلِ وَالتَّيَمُّمِ. (وَفِي سَائِرِ الْعِبَادَاتِ: بِدْعَةٌ) قَالَهُ فِي الْفَتَاوَى الْمِصْرِيَّةِ، وَقَالَ لَمْ يَفْعَلْهُ النَّبِيُّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - وَلَا أَصْحَابُهُ... 
وَمَنْصُوصُ أَحْمَدَ وَجَمْعٍ مُحَقِّقِينَ خِلَافُهُ قَالَ الشَّيْخُ تَقِيُّ الدِّينِ وَهُوَ الصَّوَابُ إلَّا فِي إحْرَامٍ

Dan melafalkannya yakni niat dan yang dia maksudkan baik dalam wudhu, mandi atau tayammum dan dalam semua ibadah adalah bid’ah, ia (Ibnu Taimiyyah) mengatakannya dalam Al-Fatawa Al-Mishriyyah. Beliau berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah melakukannya, juga para sahabat beliau… 
Dan yang tersurat dari Al-Imam Ahmad dan sekelompok ulama muhaqqiq adalah kebalikannya (kebalikan pendapat madzhab). Syaikh Taqiyyudin (Ibnu Taimiyyah) berkata: “Ini yang benar kecuali dalam ihram". (Kasysyaf Al-Qina’ ‘an Matn Al-Iqna’, Manshur bin Yunus Al-Bahuti, 1/87).

✅  Jadi, niat ihram yang menjadi landasan qiyas bukan semata-mata talbiyah.

✅  Dengan demikian jelaslah bahwa melafalkan niat di dalam semua ibadah memiliki landasan dalil dari Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melalui jalur qiyas. 
Al-Haitami, salah seorang ulama madzhab Syafi’i sampai mengatakan:

 (ويندب النطق) بالمنوي (قبيل التكبير) ليساعد اللسان القلب وخروجا من خلاف من أوجبه وإن شذ وقياسا على ما يأتي في الحج المندفع به التشنيع بأنه لم ينقل 

Dan melafalkan niat sebelum takbir (dalam shalat) itu dianjurkan agar lisan menguatkan hati, dan supaya menghindari perselisihan dengan pendapat yang mewajibkannya meskipun pendapat ini syadz, dan juga berdasarkan qiyas atas haji yang dengannya tersingkirkanlah tuduhan bahwa ia tidak berdasar riwayat (sama sekali). (Tuhfah Al-Muhtaj, Al-Haitami, 2/12).

2. Sebagian juga ada yang berdalil dengan hadits tentang niat puasa sunnah yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim dalam kitab Shahih mereka:

قَالَتْ أُمَّ الدَّرْدَاءِ: كَانَ أَبُو الدَّرْدَاءِ يَقُولُ: «عِنْدَكُمْ طَعَامٌ؟» فَإِنْ قُلْنَا: لاَ، قَالَ: «فَإِنِّي صَائِمٌ يَوْمِي هَذَا» وَفَعَلَهُ أَبُو طَلْحَةَ، وَأَبُو هُرَيْرَةَ، وَابْنُ عَبَّاسٍ، وَحُذَيْفَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ

Berkata Ummu Ad-Darda: “Abu Ad-Darda berkata: “Kamu punya makanan?” Jika kami mengatakan: “Tidak” ia berkata: “Sesungguhnya saya puasa hari ini””. Dan hal yang sama dilakukan oleh Abu Thalhah, Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas, dan Hudzaifah radhiyallahu ‘anhum. (HR. Al-Bukhari).

✅  Perkataan Abu Ad-Darda radhiyallahu ‘anhu: “fainni shaaimun yaumii haadzaa” (Sesungguhnya saya puasa hari ini) memungkinkan untuk ditafsirkan sebagai melafalkan niat.

✅  Yang menarik, Al-Imam Al-Bukhari memberi judul babnya dengan:
 
بَابُ إِذَا نَوَى بِالنَّهَارِ صَوْمًا

Bab jika seseorang berniat puasa di siang hari.

✅  Ini mengisyaratkan bahwa ucapan Abu Ad-Darda bukan sekadar pemberitahuan kepada istrinya, tetapi sekaligus juga pernyataan niat alias melafalkannya.

✅  Sedangkan Al-Imam Muslim meriwayatkan hal yang sama tetapi terjadi antara Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan memberi judul babnya:

بَابُ جَوَازِ صَوْمِ النَّافِلَةِ بِنِيَّةٍ مِنَ النَّهَارِ قَبْلَ الزَّوَالِ ..

Bab diperbolehkannya puasa sunnah dengan niat siang hari sebelum zawal (tengah hari)..

✅  Hal ini juga mengisyaratkan - wallahu a’lam - bahwa niat puasa itu dilafalkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri.

3. Bahwa tujuan disyariatkannya niat dalam ibadah adalah untuk menghadirkan keagungan Allah di dalam hati, juga untuk membedakan ibadah yang satu dengan yang lainnya (shalat zhuhur ataukah ashar, misalnya, ibadah wajib ataukah sunnah,..).
Dalam hal ini, wasilah (sarana) untuk memperkuat hal tersebut bukan termasuk ibadah ritual, sehingga melafalkan niat untuk memperkuat niat di hati adalah wasilah saja, sebagaimana teks khutbah adalah wasilah khutbah Jum’at, pengeras suara adalah wasilah shalat berjamaah bagi imam agar suaranya terdengar ke seluruh jamaah terutama dalam shalat jahriyyah.

✅  Oleh karena itu kita menemukan rata-rata ungkapan para ulama yang membolehkan atau menganjurkan melafalkan niat adalah “untuk menguatkan niat di hati”.

✅  Inilah yang kami maksud dengan dalil maslahat.

4. Bahwa apa yang tidak dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tanpa ada qarinah (keterangan/bukti penguat) apakah beliau sengaja meninggalkannya atau tidak, tidak selalu menunjukkan pengharaman, atau menjadi bid’ah jika dilakukan. Tetapi status hukumnya amat tergantung pada qarinah yang menyertainya. 

✅ Yang menunjukkan pengharaman adalah larangan beliau, menurut mayoritas ulama, itupun memungkinkan bermakna makruh saja jika didukung oleh qarinah makruh. 

✅  Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sengaja meninggalkan sesuatu (sunnah tarkiyyah), maka ummatnya jelas perlu meneladaninya, meskipun begitu, hukum melakukan apa yang ditinggalkan dengan sengaja oleh beliau pun tidak selalu haram, tetapi berbeda-beda, sekali lagi tergantung pada qarinah yang menyertainya. Contoh yang halal atau boleh meskipun beliau meninggalkannya seperti makan daging “dhab” (diriwayatkan diantaranya oleh Al-Imam Al-Bukhari & Al-Imam Muslim). Bahkan ada yang sesuai syariat, tetapi beliau sengaja tidak lakukan, seperti memugar Ka’bah sesuai bangunan Nabi Ibrahim alaihissalam. (Diriwayatkan haditsnya oleh Asy-Syaikhan).

✅  Sedangkan, bila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak melakukan sesuatu tanpa ada keterangan dari beliau atau dari para sahabat tentang alasannya, tidak ada keterangan tegas bahwa beliau tidak melakukannya padahal beliau perlu, atau tidak ada keterangan tegas bahwa beliau tidak melakukannya padahal tak ada penghalang, … maka “alasan yang disebutkan para ulama tentang perlu tidaknya, atau apakah ada penghalangnya atau tidak” adalah murni ijtihad yang memungkinkan terjadi perbedaan pendapat.

✅  Oleh karena itu argumentasi bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak melafalkan niat, padahal tidak ada alasan yang menghalangi beliau melakukannya, dan padahal semua detil-detil kebaikan pasti semuanya beliau lakukan, sehingga melafalkan niat pastilah bid’ah atau keburukan merupakan argumentasi yang diperselisihkan oleh para ulama.

✅  Mungkin saja kita mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat radhiyalllahu ‘anhum dengan kebersihan dan kejernihan hati mereka, tidak memerlukan bantuan melafalkan niat untuk menguatkan niat di dalam hati mereka. Sementara masa-masa berikutnya dimana kesibukan hidup duniawi membuat konsentrasi hati kaum muslimin terpecah, sehingga seringkali niat di dalam hati mereka tidak fokus, menjadi sebab mereka memerlukan penguat berupa melafalkannya dengan lisan. 

Hal inilah yang disebutkan oleh Syaikh Hasan bin ‘Ammar Al-Mishri Al-Hanafi dalam kitabnya Maraqi Al-Falah Syarh Matn Nur Al-Idhah:

فأما المخافتة به فلا بأس بها فمن قال من مشايخنا إن التلفظ بالنية سنة لم يرد به سنة النبي صلى الله عليه وسلم بل سنة بعض المشايخ لاختلاف الزمان وكثرة الشواغل على القلوب فيما بعد زمن التابعين

Adapun perlahan dalam melafalkannya, maka itu tidak mengapa. Siapa diantara para masyaikh kami berkata bahwa melafalkan niat adalah sunnah, ia tidak bermaksud sunnah (kebiasaan) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tetapi (maksudnya adalah) kebiasaan beberapa masyaikh karena perbedaan zaman, karena banyak kesibukan (yang mengganggu) hati setelah masa tabi’in. (Maraqi Al-Falah Syarh Matn Nur Al-Idhah, hlm 84).

✅  Yang memperkuat bahwa melafalkan niat bukanlah bid’ah, adalah riwayat dari Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah bahwa beliau melafalkan niat saat hendak shalat sebagaimana yang telah kami kutip sebelumnya, yakni:

✅ Ibnu Al-Muqri rahimahullah meriwayatkan dalam Mu’jamnya bahwa Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah melafalkan niatnya saat shalat fardhu:

317 - أَخْبَرَنَا ابْنُ خُزَيْمَةَ، ثنا الرَّبِيعُ قَالَ: " كَانَ الشَّافِعِيُّ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَدْخُلَ فِي الصَّلَاةَ قَالَ: بِسْمِ اللَّهِ، مُوَجِّهًا لَبَيْتِ اللَّهِ مُؤْدِيًا لِفَرْضِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ اللَّهُ أَكْبَرُ " 

Telah mengabarkan kepada kami Ibnu Khuzaimah, telah berkata meriwayatkan kepada kami Ar-Rabi’ ia berkata: Asy-Syafi’i jika hendak masuk melaksanakan shalat berkata: “Dengan nama Allah, menghadap ke Baitullah, untuk menunaikan fardhu dari Allah, Allahu Akbar. (Mu’jam Al-Muqri, hlm 121).

📎 Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz Ath-Tharifi hafizhahullah menyebutkan:

وهذا إسناد كالشمس عن الشافعي، وظاهره الجهر بالنية، وهذا أعلى شيء وأمثله في هذا الباب عن الأئمة

Dan ini adalah isnad bagai matahari (sangat terang) dari Asy-Syafi’i, dan zhahirnya adalah menjaharkan niat. Ini adalah satu hal (riwayat) tertinggi dan terbaik dalam masalah ini dari para imam. (Shifat Shalat An-Nabi, Ath-Tharifi, hlm 51).

✅  Meskipun ucapan dan perbuatan Al-Imam Asy-Syafi’i bukanlah dalil syar’i, namun ulama bahkan imamnya para ulama sekaliber beliau yang bergelar Nashir As-Sunnah (pembela Sunnah) jelas wajib kita berprasangka baik kepadanya serta menghormatinya. Mujtahid sekaliber beliau wajib kita berhusnuzzhan bahwa beliau jauh dari perbuatan bid’ah.

📒  Dalil Ulama yang Berpendapat Makruh

✅  Dalil mereka kurang lebih sama dengan yang berpendapat bid’ah yakni bahwa melafalkan niat tidak dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Hanya para ulama yang berpendapat makruh lebih berhati-hati dalam menyimpulkan bahwa hal itu adalah haram apalagi bid’ah, karena mempertimbangkan kemungkinan bahwa masalah melafalkan niat tidak masuk ke dalam inti ibadah, tetapi masuk ke dalam wasilah ibadah.

Posting Komentar untuk "Melafalkan Niat (QF-006) Bagian 2"