Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Melafalkan Niat (QF-006) Bagian 1


📚 التلفّظ بالنية

✅ Dalam pembahasan kaidah الأمور بمقاصدها  para ulama juga menyinggung tentang mahall an-niyyah (tempat niat) dan apa hukumnya melafalkan niat dengan lisan.

📌 Semua ulama sepakat bahwa:

✅ Tempat niat itu di dalam hati
✅ Tidak cukup lafal niat dengan lisan tanpa niat di dalam hati.

📌 Sementara hukum melafalkan niat dengan lisan, para ulama berbeda pendapat. Disebutkan di dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah (Ensiklopedia Fiqih Kuwait):

ثُمَّ إِنَّ الْفُقَهَاءَ اخْتَلَفُوا فِي الْحُكْمِ التَّكْلِيفِيِّ لِلتَّلَفُّظِ بِالنِّيَّةِ:
فَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ فِي الْمُخْتَارِ وَالشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ فِي الْمَذْهَبِ إِلَى أَنَّ التَّلَفُّظَ بِالنِّيَّةِ فِي الْعِبَادَاتِ سُنَّةٌ لِيُوَافِقَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ.
وَذَهَبَ بَعْضُ الْحَنَفِيَّةِ وَبَعْضُ الْحَنَابِلَةِ إِلَى أَنَّ التَّلَفُّظَ بِالنِّيَّةِ مَكْرُوهٌ.
وَقَال الْمَالِكِيَّةُ بِجَوَازِ التَّلَفُّظِ بِالنِّيَّةِ فِي الْعِبَادَاتِ، وَالأْوْلَى تَرْكُهُ، إِلاَّ الْمُوَسْوَسَ فَيُسْتَحَبُّ لَهُ التَّلَفُّظُ لِيَذْهَبَ عَنْهُ اللَّبْسُ.

Kemudian bahwa sesungguhnya para ahli fiqih berbeda pendapat tentang hukum taklifi melafalkan niat:

Ulama Hanafi dalam pendapat yang terpilih, dan ulama Syafi’i dan Hambali dalam madzhab (pendapat yang jadi pegangan) menyatakan bahwa melafalkan niat dalam ibadah adalah sunnah agar lisan menyepakati hati.
Dan sebagian ulama Hanafi dan sebagian Hambali berpendapat bahwa melafalkan niat adalah makruh.
Dan ulama Maliki berkata bahwa melafalkan niat itu jaiz (boleh), dan yang lebih utama adalah meninggalkannya, kecuali bagi orang yang was-was maka mustahab (disukai) baginya melafalkan agar hilang kerancuan (was-wasnya). (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 42/67-68).

✅ Diantara ulama Hambali ada yang menyatakan bahwa melafalkan niat adalah bid’ah, diantaranya Ibnu Taimiyyah rahimahullah.

Agar lebih jelas, kami kutipkan di sini teks para ulama empat madzhab tersebut dari kitab mereka :

📌 Pendapat yang Menyatakan Mustahab atau Afdhal (Hanafi, Syafi’i, Hambali)

✅ Ibnu Nujaim Al-Hanafi rahimahullah menyebutkan:

وَهَلْ يُسْتَحَبُّ التَّلَفُّظُ، أَوْ يُسَنُّ، أَوْ يُكْرَهُ؟ أَقُولُ: اخْتَارَ فِي الْهِدَايَةِ الْأَوَّلَ لِمَنْ لَمْ تَجْتَمِعْ عَزِيمَتُهُ ... 

Dan apakah melafalkan (niat) itu mustahab, sunnah, ataukah makruh? Saya katakan: Dalam (kitab) Al-Hidayah, penulisnya memilih yang pertama, bagi siapa yang azamnya tidak terfokus.

Yang beliau maksud adalah kitab Al-Hidayah fi Syarh Bidayah Al-Mubtadi yang ditulis oleh Burhanuddin Abul Hasan ‘Ali bin Abi Bakr Al-Marghainani rahimahullah, salah seorang mujtahid madzhab Hanafi.

✅ Ibnu Nujaim kemudian menegaskan kembali

وَالْمُخْتَارُ أَنَّهُ مُسْتَحَبٌّ

Dan yang terpilih (dalam madzhab) adalah mustahab. (Al-Asybah wa An-Nazhair, Ibnu Nujaim, hlm 41).

✅ Al-Imam An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah menyebutkan:

النِّيَّةُ الْوَاجِبَةُ فِي الْوُضُوءِ هِيَ النِّيَّةُ بِالْقَلْبِ وَلَا يَجِبُ اللَّفْظُ بِاللِّسَانِ مَعَهَا: وَلَا يجزئ وحده وان جمعها فَهُوَ آكَدُ وَأَفْضَلُ هَكَذَا قَالَهُ الْأَصْحَابُ وَاتَّفَقُوا عَلَيْهِ

Niat yang wajib di dalam wudhu adalah niat dengan hati, dan tidak wajib melafalkan dengan lisan bersamanya, dan tidak sah jika hanya sendirian (dengan lisan saja). Jika ia menggabungkannya maka itu lebih kuat dan lebih afdhal. (Al-Majmu’, An-Nawawi, 1/316).

✅ Ibnu Al-Muqri rahimahullah meriwayatkan dalam Mu’jamnya bahwa Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah melafalkan niatnya saat shalat fardhu:

317 - أَخْبَرَنَا ابْنُ خُزَيْمَةَ، ثنا الرَّبِيعُ قَالَ: " كَانَ الشَّافِعِيُّ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَدْخُلَ فِي الصَّلَاةَ قَالَ: بِسْمِ اللَّهِ، مُوَجِّهًا لَبَيْتِ اللَّهِ مُؤْدِيًا لِفَرْضِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ اللَّهُ أَكْبَرُ " 

Telah mengabarkan kepada kami Ibnu Khuzaimah, telah berkata meriwayatkan kepada kami Ar-Rabi’ ia berkata: Asy-Syafi’i jika hendak masuk melaksanakan shalat berkata: “Dengan nama Allah, menghadap ke Baitullah, untuk menunaikan fardhu dari Allah, Allahu Akbar. (Mu’jam Al-Muqri, hlm 121).

📎 Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz Ath-Tharifi salah seorang ulama Saudi Arabia mengomentari riwayat ini, meskipun beliau termasuk yang berpendapat bahwa melafalkan niat adalah bid’ah:

وهذا إسناد كالشمس عن الشافعي، وظاهره الجهر بالنية، وهذا أعلى شيء وأمثله في هذا الباب عن الأئمة

Dan ini adalah isnad bagai matahari (sangat terang) dari Asy-Syafi’i, dan lahiriahnya adalah menjaharkan niat. Ini adalah satu hal (riwayat) tertinggi dan terbaik dalam masalah ini dari para imam. (Shifat Shalat An-Nabi, Ath-Tharifi, hlm 51).

✅ Dalam Kitab Kasysyaf Al-Qina’ yang menjadi pegangan Madzhab Hambali disebutkan:

(وَاسْتَحَبَّهُ) أَيْ التَّلَفُّظَ بِالنِّيَّةِ (سِرًّا مَعَ الْقَلْبِ كَثِيرٌ مِنْ الْمُتَأَخِّرِينَ) لِيُوَافِقَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ قَالَ فِي الْإِنْصَافِ: وَالْوَجْهُ الثَّانِي يُسْتَحَبُّ التَّلَفُّظُ بِهَا سِرًّا وَهُوَ الْمَذْهَبُ

Dan banyak ulama (madzhab Hambali) mutaakhirin (belakangan) yang berpendapat mustahab melafalkan niat dengan suara perlahan agar lisan menyepakati hati. Berkata (Al-Mardawi) di dalam Al-Inshaf: “Dan pendapat kedua bahwa melafalkan niat secara sirr adalah mustahab, dan ia adalah madzhab (yang jadi pegangan). (Kasysyaf Al-Qina’ ‘an Matn Al-Iqna’, Manshur bin Yunus Al-Buhuti, 1/87).

📌 Pendapat yang Menyatakan Makruh (Sebagian Ulama Hanafi)

✅ وزَادَ ابْنُ أَمِيرِ الْحَاجِّ أَنَّهُ لَمْ يُنْقَلْ عَنْ الْأَئِمَّةِ الْأَرْبَعَةِ، وَفِي الْمُفِيدِ كَرِهَ بَعْضُ مَشَايِخِنَا النُّطْقَ بِاللِّسَانِ

✅ Dan Ibnu Amir Al-Haj menambahkan bahwa tidak diriwayatkan dari para imam yang empat. Dan di dalam (kitab) Al-Mufid (disebutkan) bahwa beberapa masyaikh kami menyatakan melafalkan dengan lisan adalah makruh. (Al-Asybah wa An-Nazhair, Ibnu Nujaim, hlm 41).

📌 Pendapat yang Menyatakan Bid’ah (Sebagian Ulama Hambali)

✅  (وَالتَّلَفُّظُ بِهَا) أَيْ بِالنِّيَّةِ (وَبِمَا نَوَاهُ) مِنْ وُضُوءٍ أَوْ غُسْلٍ أَوْ تَيَمُّمٍ (هُنَا) أَيْ فِي الْوُضُوءِ وَالْغُسْلِ وَالتَّيَمُّمِ. (وَفِي سَائِرِ الْعِبَادَاتِ: بِدْعَةٌ) قَالَهُ فِي الْفَتَاوَى الْمِصْرِيَّةِ، وَقَالَ لَمْ يَفْعَلْهُ النَّبِيُّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - وَلَا أَصْحَابُهُ... 
وَمَنْصُوصُ أَحْمَدَ وَجَمْعٍ مُحَقِّقِينَ خِلَافُهُ قَالَ الشَّيْخُ تَقِيُّ الدِّينِ وَهُوَ الصَّوَابُ إلَّا فِي إحْرَامٍ

✅ Dan melafalkannya yakni niat dan yang dia maksudkan baik dalam wudhu, mandi atau tayammum dan dalam semua ibadah adalah bid’ah, ia (Ibnu Taimiyyah) mengatakannya dalam Al-Fatawa Al-Mishriyyah. Beliau berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah melakukannya, juga para sahabat beliau… 
Dan yang tersurat dari Al-Imam Ahmad dan sekelompok ulama muhaqqiq adalah kebalikannya (kebalikan pendapat madzhab). Syaikh Taqiyyudin (Ibnu Taimiyyah) berkata: “Ini yang benar kecuali dalam ihram. (Kasysyaf Al-Qina’ ‘an Matn Al-Iqna’, Manshur bin Yunus Al-Bahuti, 1/87).

📌 Pendapat yang Menyatakan Boleh Namun Tidak Utama, Kecuali bagi yang Was-Was (Maliki).

✅  (وَلَفْظُهُ) أَيْ تَلَفُّظُ الْمُصَلِّي بِمَا يُفِيدُ النِّيَّةَ كَأَنْ يَقُولَ نَوَيْت صَلَاةَ فَرْضِ الظُّهْرِ مَثَلًا (وَاسِعٌ) أَيْ جَائِزٌ بِمَعْنَى خِلَافِ الْأَوْلَى. 

✅ Dan melafalkannya yakni orang yang shalat melafalkan niat, seperti ia berkata: “Aku niat shalat fardhu Zhuhur” misalnya, adalah (perkara) yang luas, maksudnya boleh tapi bukan pilihan utama. 

✅ لكِنْ يُسْتَثْنَى مِنْهُ الْمُوَسْوِسُ فَإِنَّهُ يُسْتَحَبُّ لَهُ التَّلَفُّظُ بِمَا يُفِيدُ النِّيَّةَ لِيَذْهَبَ عَنْهُ اللُّبْسُ

✅ Akan tetapi dikecualikan orang yang was-was, maka mustahab baginya melafalkan niat agar hilang waswasnya. (Hasyiah Ad-Dasuqi ‘ala Asy-Syarh Al-Kabir, Muhammad bin Ahmad Ad-Dasuqi Al-Maliki, 1/233-234).

📌  Penyebab Perbedaan Pendapat
(سبب الاختلاف)

1. Semua ulama empat madzhab ini mengakui bahwa qiyas adalah salah satu dalil hukum syar’i, tetapi yang menjadi sebab perbedaan adalah bolehkah dalam masalah ibadah - yakni terkait dengan melafalkan niat - dilakukan qiyas?

✅  Para ulama yang membolehkannya, menqiyaskan masalah pelafalan niat dalam semua ibadah dengan ibadah haji yang niatnya dilafalkan. 
✅  Sebaliknya para ulama yang tidak memperbolehkannya akan berkesimpulan bahwa bahwa melafalkan niat tak didukung oleh dalil, sehingga menyatakan bahwa hukumnya adalah bid’ah. 
✅  Sementara yang tidak menganggapnya bid’ah karena masalahnya bukan pada pokok persoalan, tetapi idhafah (tambahan) terkait kaifiyat niat itu sendiri, maka mereka lebih memilih makruh.

2. Bolehkah berargumentasi dengan maslahat dalam hal ini? 
Maksudnya: apakah “memperkuat niat di hati dengan melafalkannya” adalah maslahat yang dibenarkan?

✅  Bagi yang membenarkannya, maka mereka menjadikan maslahat penguatan tersebut sebagai argumentasi bahwa hukum melafalkan adalah mustahab atau minimal boleh. 
✅  Jika seseorang cukup kuat dengan niat di hatinya, tak terganggu dengan was-was, maka maslahat ini tidak diperlukan sehingga hukum melafalkan niat adalah makruh atau bukan yang utama. 
✅  Sementara yang tidak membenarkan maslahat dalam masalah ini, menyatakan bahwa melafalkan niat tak berdalil sama sekali sehingga hukumnya adalah bid’ah.

Apa saja dalil masing-masing? 
Insya Allah di bagian 2 tulisan ini.

Posting Komentar untuk "Melafalkan Niat (QF-006) Bagian 1"