Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Prioritas Amal yang Kontinyu Dibanding Amal yang Terputus (FA-005)



📚  أَوْلَوِيَةُ العَمَلِ الدَّائِمِ عَلَى العَمَلِ المُنْقَطِعِ

✅ Hendaklah kita berusaha menjalankan amal yang lebih dapat dilakukan terus menerus meskipun sedikit dibandingkan dengan amal yang banyak tapi hanya dilakukan sesekali atau di beberapa kesempatan saja. 

📌 Dasar dari awlawiyat ini adalah:

📒 Firman Allah ta’ala:

إِنَّ الْإِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوعًا (19) إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوعًا (20) وَإِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوعًا (21) إِلَّا الْمُصَلِّينَ (22) الَّذِينَ هُمْ عَلَى صَلَاتِهِمْ دَائِمُونَ 

Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir, kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat, yang mereka itu tetap (terus menerus) mengerjakan shalatnya. (QS. Al-Ma’arij: 19-23).

✅ Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan salah satu maknanya:

الْمُرَادُ بِذَلِكَ الَّذِينَ إِذَا عَمِلُوا عَمَلًا دَاوَمُوا عَلَيْهِ وَأَثْبَتُوهُ

Maksudnya adalah orang-orang yang jika mengamalkan suatu amal, maka mereka kontinyu di atas amal itu dan meneguhkannya. (Tafsir Ibnu Katsir, 8/226).

📒 Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam

عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَحَبُّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا، وَإِنْ قَلَّ» متفق عليه

Dari ‘Aisyah (radhiyallahu ‘anha) berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Amal yang paling dicintai Allah ta’ala adalah yang paling kontinyu walaupun sedikit.” (Muttafaq ‘alaih).

✅ Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menjelaskan:

وَإِنَّمَا كَانَ القَلِيلُ الدَّائِمُ خَيْرًا مِنَ الكَثِيرِ المُنْقَطِعِ لِأَنَّ بِدَوَامِ القَلِيلِ تَدُومُ الطَّاعَةُ وَالذِّكْرُ وَالمُرَاقَبَةُ وَالنِّيَّةُ وَالإِخْلَاصُ وَالإِقْبَالُ عَلَى الخَالِقِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَيُثْمِرُ القَلِيلُ الدِّائِمُ بِحَيْثُ يَزِيدُ عَلَى الكَثِيرِ المُنْقَطِعِ أَضْعَافًا كَثِيرَةً 

Sedikit yang terus menerus lebih baik dari pada banyak yang terputus, semata-mata karena dengan kontinyuitas yang sedikit itulah ketaatan menjadi kontinyu, juga dzikir, muraqabah, niat, keikhlasan dan perbuatan menghadap kepada Allah – subhanahu wata’ala - menjadi terus menerus. Dan sedikit yang kontinyu akan berbuah berupa pertambahan berlipat ganda melebihi amal banyak yang terputus. (Syarh An-Nawawi ‘ala Muslim, 6/71).

✅ Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullah juga menyebutkan:

وَالْحِكْمَةُ فِي ذَلِكَ أَنَّ الْمُدِيمَ لِلْعَمَلِ يُلَازِمُ الْخِدْمَةَ فَيُكْثِرُ التَّرَدُّدَ إِلَى بَابِ الطَّاعَةِ كُلَّ وَقْتٍ لِيُجَازَى بِالْبِرِّ لِكَثْرَةِ تَرَدُّدِهِ فَلَيْسَ هُوَ كَمَنْ لَازَمَ الْخِدْمَةَ مَثَلًا ثُمَّ انْقَطَعَ وَأَيْضًا فَالْعَامِلُ إِذَا تَرَكَ الْعَمَلَ صَارَ كَالْمُعْرِضِ بَعْدَ الْوَصْلِ فَيَتَعَرَّضُ لِلذَّمِّ وَالْجَفَاءِ

Dan hikmah hal itu adalah bahwa pelaku amal kontinyu melazimkan khidmahnya dengan memperbanyak mendatangi pintu ketaatan di setiap waktu agar meraih balasan kebaikan karena sering mendatanginya. Ia tidak sama dengan orang melakukan khidmah kemudian berhenti. Juga karena seorang yang beramal jika ia tinggalkan amalnya bagaikan orang yang berpaling setelah sebelumnya tersambung (dengan amal) sehingga ia dapat terkena celaan dan ketidakramahan. (Fath Al-Bari, 11/299).

📌 Apakah Amal yang Banyak Selalu Identik dengan Tidak Kontinyu ?

🎯 Banyak atau tidaknya suatu amal sangatlah relatif bagi setiap insan. Yang diarahkan oleh syariat untuk kita hindari adalah “banyak” yang mengandung “pemaksaan berlebihan” terhadap diri dalam melakukannya sehingga memberatkan dan berakibat “kapok” atau “bosan” lalu tidak beramal lagi.

✅ Sebagaimana disebutkan di dalam hadits:

عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَعِنْدِي امْرَأَةٌ، فَقَالَ: «مَنْ هَذِهِ؟» فَقُلْتُ: امْرَأَةٌ لَا تَنَامُ تُصَلِّي، قَالَ: «عَلَيْكُمْ مِنَ الْعَمَلِ مَا تُطِيقُونَ، فَوَاللهِ لَا يَمَلُّ اللهُ حَتَّى تَمَلُّوا، وَكَانَ أَحَبَّ الدِّينِ إِلَيْهِ مَا دَاوَمَ عَلَيْهِ صَاحِبُهُ»

Dari ‘Aisyah (radhiyallahu ‘anha) ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masuk ke tempatku sementara di sisiku ada seorang wanita, maka beliau bersabda: “Siapakah ini?” maka aku menjawab: “Seorang wanita yang tidak tidur, (di malam hari karena) shalat.” Beliau bersabda: “Lakukanlah amal yang kalian sanggupi, demi Allah, Allah tidak bosan sampai kalian bosan, dan sebaik-baik sikap beragama di sisi Allah adalah yang dilakukan kontinyu oleh pelakunya.”” (HR. Muslim).

✅ Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menjelaskan:

قَالَ المُحَقِّقُونَ مَعْنَاهُ لَا يُعَامِلُكُمْ مُعَامَلَةَ المَالِّ فَيَقْطَعَ عَنْكُمْ ثَوَابَهُ وَجَزَاءَهُ وَبَسْطَ فَضْلِهِ وَرَحْمَتِهِ حَتَّى تَقْطَعُوا عَمَلَكُمْ

Para ulama muhaqqiqin (peneliti) berkata bahwa makna (Allah tidak bosan) adalah bahwa Dia tidak akan memperlakukan kalian seperti perlakuan pihak yang bosan dengan memutuskan balasan dan ganjaran amal, juga hamparan karunia dan rahmatNya sampai kalian sendiri memutuskan amal kalian. (Syarh An-Nawawi ‘ala Muslim, 6/71).

✅ Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menyatakan:

وَالْمَلَالُ اسْتِثْقَالُ الشَّيْءِ وَنُفُورُ النَّفْسِ عَنْهُ بَعْدَ مَحَبَّتِهِ وَهُوَ مُحَالٌ عَلَى اللَّهِ تَعَالَى بِاتِّفَاقٍ قَالَ الْإِسْمَاعِيلِيُّ وَجَمَاعَةٌ مِنَ الْمُحَقِّقِينَ إِنَّمَا أُطْلِقَ هَذَا عَلَى جِهَةِ الْمُقَابَلَةِ اللَّفْظِيَّةِ مَجَازًا كَمَا قَالَ تَعَالَى "وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا" 

Dan al-malal (bosan) adalah merasa berat dengan sesuatu dan menjauhnya jiwa darinya setelah sebelumnya menyukainya. (Hal ini) disepakati oleh para ulama adalah sifat mustahil bagi Allah ta’ala. Berkata Al-Isma’ili dan sekelompok ulama muhaqqiqin bahwa kata ini digunakan (di dalam hadits) untuk menunjukkan kesepadanan lafal saja sebagai ungkapan kiasan (bukan hakikat) seperti firman Allah ta’ala (yang artinya): Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa. (QS. Asy-Syura: 40). (Fath Al-Bari, 1/102).

✅ Beliau juga menyebutkan:

فَأَمَّا غَيْرُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا خَشِيَ الْمَلَلَ لَا يَنْبَغِي لَهُ أَنْ يُكْرِهَ نَفْسَهُ

Selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, jika khawatir bosan, maka tidak sepantasnya memaksakan diri (dalam melakukan amal yang banyak/berat). (Fath Al-Bari, 3/15).

🎯 Di sinilah terasa pentingnya setiap muslim mengenal kekuatan dan kelemahan dirinya, dan tidak memaksakan diri menggunakan standar orang lain, sehingga ia dapat memperkirakan kadar banyak, sedang dan sedikit dalam amalnya. Jika ia ingin meningkatkan kuantitas amalnya sekaligus berniat melakukannya secara kontinyu, maka jangan sampai hal itu mengakibatkan kebosanan, lakukan peningkatan secara bertahap. Al-Imam An-Nawawi mencontohkan dalam masalah tilawah Al-Qur’an:

وَالْمُخْتَارَ أَنَّهُ يَسْتَكْثِرُ مِنْهُ مَا يُمْكِنُهُ الدَّوَامُ عَلَيْهِ وَلاَ يَعْتَادُ إِلاَّ مَا يَغْلِبُ عَلَى ظَنِّهِ الدَّوَامُ عَلَيْهِ فِي حَالِ نَشَاطِهِ وَغَيْرِهِ.

Pendapat yang dipilih adalah hendaknya ia memperbanyak membaca Al-Quran (dengan frekuensi khatam) yang mungkin ia jaga kontinyuitasnya. Dan jangan membiasakan kecuali yang ia duga kuat dapat melakukannya dengan kontinyu di saat bersemangat atau tidak bersemangat. (Syarh An-Nawawi ‘ala Shahih Muslim, 8/43).

✅ Yang paling aman adalah mengambil kadar sedang atau pertengahan sebagaimana arahan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

وَالْقَصْدَ الْقَصْدَ تَبْلُغُوا (رواه البخاري)

Dan komitmenlah dengan yang pertengahan, yang pertengahan, niscaya kalian akan sampai.. (HR. Al-Bukhari).

✅ Memperbanyak amal sampai pada tingkat pengerahan kemampuan maksimal tetap baik dilakukan jika tidak diniatkan melakukannya secara rutin, tidak berakibat berhenti lama setelah itu, dan tidak menghambat pelaksanaan amal lain terutama yang wajib. Bahkan sangat dianjurkan melakukannya pada momen-momen istimewa karena Allah melipatgandakan nilai amal pada saat tertentu atau tempat tertentu, seperti pada bulan Ramadhan atau saat berada di tanah suci, karena keistimewaan momen dapat menambah motivasi sehingga batas kebosanan semakin jauh.

✅ Misalnya, tentang mengkhatamkan Al-Qur’an kurang dari tiga hari, Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah menjelaskan:

وَإِنَّمَا وَرَدَ النَّهْيُ عَنْ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ فِي أَقَّلَّ مِنْ ثَلاَثٍ عَلَى الْمُدَاوَمَةِ عَلَى ذَلِكَ، فَأَمَّا فِي الأَوْقَاتِ الْمُفَضَّلَةِ كَشَهْرِ رَمَضَانَ خُصُوْصًا اللَّيَالِي الَّتِي يُطْلَبُ فِيْهَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ، أَوْ فِي الأَمَاكِنِ الْمُفَضَّلَةِ كَمَكَّةَ لِمَنْ دَخَلَهَا مِنْ غَيْرِ أَهْلِهَا فَيُسْتَحَبُّ الإِكْثَارُ فِيْهَا مِنْ تِلاَوَةِ القُرْآنِ اِغْتِنَامًا لِلزَّمَانِ وَالْمَكَانِ، وَهُوَ قَوْلُ أَحْمَدَ وَإِسْحَاقَ وَغَيْرِهِمَا مِنَ الأَئِمَّةِ، وَعَلَيْهِ يَدُلُّ عَمَلُ غَيْرِهِمْ. 

Terdapat larangan membaca seluruh Al-Qur’an kurang dari tiga hari hanya bagi yang melakukannya terus menerus. Sedangkan pada waktu-waktu utama seperti bulan Ramadhan khususnya malam-malam yang dicari darinya lailatul qadar, atau di tempat-tempat utama seperti Mekkah bagi yang memasukinya dan bukan penduduknya, maka dianjurkan untuk memperbanyak tilawah Al-Qur’an mengoptimalkan waktu dan tempat tersebut. Dan ia adalah pendapat Ahmad, Ishaq dan imam-imam selain mereka berdua. Dan yang dilakukan oleh selain mereka juga menunjukkan hal ini. (Lathaif Al-Ma’arif, hlm 171).

Referensi Utama: Fi Fiqh Al-Awlawiyyat, Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, hlm 87-88.

Posting Komentar untuk "Prioritas Amal yang Kontinyu Dibanding Amal yang Terputus (FA-005)"