Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala (A-007 Bagian 4)


📚 Mengapa Ulama Asy’ariyah dan Maturidiyah Menolak Makna Lahiriyah Menurut Kamus/Bahasa dalam Sifat Khabariyah?

📎 Sebuah kata di dalam bahasa apapun, biasanya mengandung mafhum (مفهوم / konsep) dan mishdaq (مصداق / ekstensi). 

✅ Mafhum adalah yang dipahami dan tergambar di dalam benak pikiran, sedangkan mishdaq adalah hakikat atau realita di luar dari yang ada dalam benak pikiran. Seperti kata “mobil” dalam bahasa Indonesia, ada mafhum yang terlintas dalam benak, dan ada realitanya di luar pikiran.

✅ Kata pendengaran (السمع) mafhumnya menurut ulama Aqidah adalah idrak lil-masmu’at (إدراك للمسموعات) yaitu didengarnya sesuatu yang menjadi objek pendengaran.

✅ Jika sifat pendengaran ini kita nisbatkan kepada manusia sehingga menjadi “pendengaran manusia”, maka mafhumnya menjadi didengarnya objek pendengaran oleh pendengaran manusia. Mishdaqnya berupa pendengaran dengan telinga beserta organ-organnya, juga gelombang suara dengan frekuensi tertentu sehingga telinga manusia dapat mendengarnya, dan seterusnya.

✅ Jika kita nisbatkan kepada Allah sehingga menjadi pendengaran Allah, maka mafhumnya adalah didengarnya objek pendengaran oleh Allah, tanpa mengharuskan kita membayangkan alat atau anggota tubuh, sehingga pada sifat pendengaran ini dapat kita lakukan itsbat al-ma’na (penetapan makna), karena dapat lepas dari tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk). 

Adapun mishdaq atau hakikatnya tentu saja tidak kita ketahui sama sekali. Jadi hakikat sifat pendengaran Allah juga merupakan bagian yang harus ditafwidh. Namun yang terbayang dalam benak kita (mafhumnya) tetap dapat tergambar oleh akal tanpa mengharuskan kita membayangkan tubuh atau anggota tubuh.

✅ Begitu pula halnya dengan penglihatan, ilmu, dan sifat kesempurnaan yang lain. Jadi kita mengetahui mafhum pendengaran, penglihatan dan ilmu, baik yang dinisbatkan kepada manusia maupun kepada Allah. Sedangkan mishdaq pendengaran, penglihatan, dan ilmu, .. jika dinisbatkan kepada Allah tentu saja kita tidak mengetahuinya karena kesempurnaanNya yang tiada batas. Dan itu bagian yang harus ditafwidh juga.

✅ Berbeda halnya dengan tangan dan kaki, atau turun dan datang, dan sejenisnya.. Mafhum dari kata-kata tersebut tidak bisa kita pisahkan sama sekali dari anggota tubuh atau perpindahan. Oleh karena itu makna lahiriyahnya untuk Allah Yang Mahasuci harus ditolak.

✅ Kata tangan misalnya, walaupun kita nisbatkan dia ke apapun atau siapapun tetap saja mafhumnya tidak dapat dipisahkan sama sekali dari bagian tubuh : tangan manusia, tangan kera, tangan cangkir, tangan teko, .. hatta andai kita nisbatkan dia kepada Allah yang Mahasuci dan Mahaagung, mafhum lahiriyahnya tidak dapat dipisahkan sama sekali dari makna “bagian dari sesuatu” atau “anggota tubuh” yang mengandung tasybih (penyerupaan dengan makhluk).

✅ Begitu juga kata turun, jika kita nisbatkan kepada apapun atau siapapun, tetap saja mafhum lahiriyahnya tak dapat dipisahkan dari perpindahan dari atas ke bawah.

✅ Sehingga kandungan tasybih tidak akan hilang hanya dengan menyatakan "tangan Allah sesuai yang laik bagi keagunganNya" atau "Allah turun sesuai yang laik bagi keagunganNya" jika tetap meyakini makna lahiriyah/makna hakiki menurut bahasa/kamus.

📎 Ungkapan Para Ulama yang Tegas Menolak Jawarih Dinisbatkan kepada Allah Ta’ala Akibat Mengambil Makna Lahiriyah Menurut Bahasa

📕 Ungkapan Asy-Syathibi 

Asy-Syathibi, seorang ulama besar Madzhab Maliki, dalam kitabnya al-I’tisham menyatakan dengan tegas bahwa mafhum dari tangan, mata, dan sejenisnya adalah jawarih (anggota tubuh), dan itu adalah sifat kekurangan :

وَقَدْ عَلِمَ الْعُلَمَاءُ أَنَّ كُلَّ دَلِيلٍ فِيهِ اشْتِبَاهٌ وَإِشْكَالٌ لَيْسَ بِدَلِيلٍ فِي الْحَقِيقَةِ، حَتَّى يَتَبَيَّنَ مَعْنَاهُ وَيَظْهَرَ الْمُرَادُ مِنْهُ، وَيُشْتَرَطُ فِي ذَلِكَ أَنْ لَا يُعَارِضَهُ أَصْلٌ قَطْعِيٌّ، فَإِذَا لَمْ يَظْهَرْ مَعْنَاهُ لِإِجْمَالٍ أَوِ اشْتِرَاكٍ، أَوْ عَارَضَهُ قَطْعِيٌّ؛ كَظُهُورِ تَشْبِيهٍ؛ فَلَيْسَ بِدَلِيلٍ؛ ... 
وَمِثَالُهُ فِي مِلَّةِ الْإِسْلَامِ مَذَاهِبُ الظَّاهِرِيَّةِ فِي إِثْبَاتِ الْجَوَارِحِ لِلرَّبِّ ـ الْمُنَزَّهِ عَنِ النَّقَائِصِ ـ؛ مِنَ الْعَيْنِ، وَالْيَدِ، وَالرِّجْلِ، وَالْوَجْهِ، وَالْمَحْسُوسَاتِ، وَالْجِهَةِ. . . . . . وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنَ الثَّابِتِ لِلْمُحْدَثَاتِ.

Dan para ulama benar-benar telah mengetahui bahwa semua dalil yang mutasyabih atau ada problem (dalam menentukan maksudnya) pada hakikatnya bukanlah dalil, sampai jelas maknanya dan maksud darinya. Untuk bisa seperti itu syaratnya ia tidak boleh bertentangan dengan dalil yang qath’i. Jika tidak jelas maksudnya karena masih global atau multi arti atau kontra dengan yang qath’i seperti mengandung tasybih, maka hakikatnya ia bukanlah dalil … Dan contohnya dalam agama Islam adalah para penganut madzhab lahiriyah dalam menetapkan jawarih (anggota tubuh) untuk Rabb – Yang Mahasuci dari segala kekurangan – berupa mata, tangan, kaki, wajah, dan hal-hal indrawi lainnya, juga arah … dan semua yang jelas diperuntukkan bagi makhluk. 
(al-I’tisham, asy-Syathibi, 1/304-305).

✅ Dapat dipahami dari pernyataan Asy-Syathibi bahwa tidak boleh tasybih (penyerupaan dengan makhluk) adalah hal yang qath’i (pasti) yang harus dijadikan pegangan dalam menentukan maksud dari sebuah dalil dalam memahami sifat Allah. Sehingga jika dalil tersebut mengandung makna yang dinilai tasybih, maka makna tersebut wajib ditolak. Kemudian beliau menegaskan hal tersebut dengan contoh pemahaman keliru terhadap dalil dari madzhab yang menisbatkan anggota tubuh kepada Allah ta’ala berupa mata, tangan, kaki, wajah dan arah, sebagai akibat mereka memilih makna lahiriyah dalam memahami maksudnya.

📕 Ungkapan Al-Qurthubi

✅ Al-Qurthubi dalam tafsirnya al-Jami’ li Ahkam al-Quran bahkan menyatakan bahwa kemustahilan salaf memahami ayat dan hadits sifat dengan makna lahiriah adalah sebuah hal yang pasti :

وَقَدْ عُرِفَ، أَنَّ مَذْهَبَ السَّلَفِ تَرْكُ التَّعَرُّضِ لِتَأْوِيلِهَا مَعَ قَطْعِهِمْ بِاسْتِحَالَةِ ظَوَاهِرِهَا، فَيَقُولُونَ أَمِرُّوهَا كَمَا جَاءَتْ

Dan telah dikenal bahwa madzhab salaf adalah tidak terlibat melakukan ta-wil, dengan kepastian dari mereka bahwa makna lahiriyahnya adalah mustahil, lalu mereka mengatakan biarkan ia lewat seperti ia datang (lakukan imrar (baca saja)). (Tafsir al-Qurthubi, 4/14).

📕 Ungkapan Ibnu Hajar al-‘Asqalani

Ulama Hadits mumpuni, Ibnu Hajar al-‘Asqalani, menjelaskan peta perbedaan pendapat tentang sifat khabariyah dengan mengambil contoh “hadits nuzul”:

قوله: "ينزل ربنا إلى السماء الدنيا" 
استدل به من أثبت الجهة وقال: هي جهة العلو، وأنكر ذلك الجمهور لأن القول بذلك يفضي إلى التحيز - تعالى الله عن ذلك. 
وقد اختلف في معنى النزول على أقوال: 
فمنهم من حمله على ظاهره وحقيقته وهم المشبهة - تعالى الله عن قولهم.
ومنهم من أنكر صحة الأحاديث الواردة في ذلك جملة وهم الخوارج والمعتزلة وهو مكابرة. والعجب أنهم أولوا ما في القرآن من نحو ذلك وأنكروا ما في الحديث إما جهلا وإما عنادا. 
ومنهم من أجراه على ما ورد مؤمنا به على طريق الإجمال منزها الله تعالى عن الكيفية والتشبيه وهم جمهور السلف. ونقله البيهقي وغيره عن الأئمة الأربعة والسفيانين والحمادين والأوزاعي والليث وغيرهم. 
ومنهم من أوله على وجه يليق مستعمل في كلام العرب. 
ومنهم من أفرط في التأويل حتى كاد أن يخرج إلى نوع من التحريف. 
ومنهم من فصل بين ما يكون تأويله قريبا مستعملا في كلام العرب وبين ما يكون بعيدا مهجورا فأول في بعض وفوض في بعض وهو منقول عن مالك وجزم به من المتأخرين ابن دقيق العيد. 
قال البيهقي: وأسلمها الإيمان بلا كيف والسكوت عن المراد إلا أن يرد ذلك عن الصادق فيصار إليه ومن الدليل على ذلك اتفاقهم على أن التأويل المعين غير واجب فحينئذ التفويض أسلم.

Sabda beliau ﷺ: “Tuhan kita nuzul (turun) ke langit dunia”

Dengan hadits ini, orang yang itsbat (menetapkan) jihah/arah (untuk Allah) mengatakan ada arah "tinggi" (atas). Mayoritas (ulama) mengingkarinya, karena perkataan seperti itu menyeret kepada tahayyuz (menempati bidang) – Mahatinggi Allah dari hal itu.

Telah terjadi perbedaan tentang maksud nuzul menjadi beberapa pendapat:

Diantara mereka ada yang membawanya ke arti lahiriyah dan makna hakikinya, mereka adalah pelaku tasybih – Mahatinggi Allah dari perkataan mereka. 

Ada yang mengingkari keshahihan hadits yang diriwayatkan tentang hal ini secara keseluruhan, mereka adalah Khawarij dan Mu’tazilah. Dan ini adalah sikap arogan. Anehnya mereka menta-wil ayat Al-Quran yang sejenis dengan hadits ini tapi mengingkari haditsnya, karena kebodohan atau pembangkangan.

Diantara mereka ada yang memperlakukannya apa adanya dalam keadaan beriman dengannya secara global, dengan tetap menyucikan Allah ta’ala dari kaifiyat dan tasybih. Mereka adalah mayoritas salaf. Al-Baihaqi dan yang lainnya meriwayatkannya dari empat imam madzhab, dua Sufyan (Sufyan ats-Tsauri & Sufyan bin ’Uyaynah), dan dua Hammad (Hammad bin Zaid & Hammad bin Salamah), al-Auza’i, al-Laits dan lain-lain.

Ada diantara mereka yang melakukan ta-wil dengan cara yang laik dan memang dipakai dalam ungkapan orang-orang Arab.
Dan diantara mereka ada juga yang berlebihan dalam ta-wil sehingga hampir saja keluar menuju semacam tahrif (penyimpangan).

Dan diantara mereka ada juga yang membedakan antara mana yang dapat dita-wil dengan ta-wil yang dekat, dan memang dipakai dalam ungkapan orang Arab; dengan ta-wil yang jauh dan diabaikan. Maka mereka melakukan ta-wil pada sebagian (sifat) dan melakukan tafwidh pada yang lain. Dan ini diriwayatkan dari (al-Imam) Malik. Diantara generasi terakhir yang memastikannya adalah Ibnu Daqiq al-‘Id.

Al-Baihaqi mengatakan: “Dan yang paling selamat adalah iman kepadanya tanpa kaifiyat dan diam dari membicarakan maksudnya kecuali jika ada riwayat dari ash-Shadiq (Rasulullah ﷺ) maka ia dijadikan pegangan. Diantara indikatornya adalah kesepakatan mereka bahwa melakukan ta-wil dengan makna tertentu tidaklah wajib, dengan demikian tafwidh lebih selamat.

(Fath al-Bari, 3/30).

📕 Ungkapan Badruddin Ibnu Jama’ah

Badruddin Ibnu Jama’ah menegaskan dalam kitabnya :

وَمن انتحل قَول السّلف وَقَالَ بتشبيه أَو تكييف أَو حمل اللَّفْظ على ظَاهره مِمَّا يتعالى الله عَنهُ من صِفَات الْمُحدثين فَهُوَ كَاذِب فِي انتحاله بَرِيء من قَول السّلف واعتداله

Dan siapa yang mengikuti ucapan salaf tapi berkata dengan perkataan tasybih atau menetapkan ada kaifiyat atau membawa lafalnya kepada makna lahiriyah seperti sifat makhluk sementara Allah Mahasuci darinya, maka ia adalah pendusta dalam pengakuannya, tak ada hubungannya dengan ucapan dan lurusnya salaf. 
(Idhah ad-Dalil fi Qath’i Hujaj Ahli at-Ta-wil, hlm 93).

Posting Komentar untuk " Sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala (A-007 Bagian 4)"