Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Fiqih Puasa (F-007) Bagian 1


✅ Pembahasan fiqih di sini akan menggunakan salah satu kitab fiqih madzhab Syafi’i yaitu Matn Al-Ghayah wa At-Taqrib karya Al-Qadhi Abu Syuja’ Ahmad bin Al-Husain bin Ahmad Al-Ashfahani - rahimahullah (wafat th 593 H).

✅ Kami akan memulainya dengan Fiqih Shiyam mengingat bulan Ramadhan (saat akan memposting tulisan ini ke channel Telegram Ilmu SYARIAH) sebentar lagi akan tiba. Wabillahi At-Taufiq.

📚 Syarat Wajib Puasa

📕 Matan Abi Syuja’:

وَشَرَائِطُ وُجُوبِ الصَّوْمِ أَرْبَعَةُ أَشْيَاءَ: اَلْإِسْلَامُ، وَالْبُلُوغُ، وَالْعَقْلُ، وَالْقُدْرَةُ عَلَى الصَّوْمِ. 

Dan syarat wajib puasa ada empat hal: Islam, baligh, berakal (sehat), dan (punya) qudrah (kemampuan) berpuasa.

📒 Penjelasan:

✅ Arti shaum menurut istilah fiqih adalah:

إِمْسَاكٌ عَنِ الْمُفْطِرَاتِ مِنْ طُلُوعِ الْفَجْرِ إِلَى غُرُوبِ الشَّمْسِ مَعَ النِّيَّةِ

Perbuatan menahan diri dari hal-hal yang membatalkan (puasa) dari terbit fajar sampai terbenam matahari disertai niat. (Al-Fiqh Al-Manhaji ‘ala Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i, 2/73).

✅ Yang dimaksud dengan syarat wajib (شَرْطُ الوُجُوبِ) ialah:

مَا يَجِبُ وُجُودُهُ لِوُجُوبِ الشَّيْئِ 

Yang harus ada agar sesuatu menjadi wajib hukumnya (atas seseorang). (Mu’jam Lughah Al-Fuqaha, Muhammad Rawwas Qal’aji, hlm 260).

Syarat wajib puasa berarti hal-hal yang harus ada pada diri seseorang sehingga puasa menjadi wajib ia laksanakan. Bila tidak ada salah satunya saja, maka puasa tidak wajib baginya.

✅ Kewajiban Puasa

📎 Dalil kewajiban puasa secara umum adalah firman Allah ta’ala:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (QS. Al-Baqarah: 183).

📎 Sedangkan kewajiban puasa Ramadhan secara khusus disebutkan di ayat 185:

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. (QS. Al-Baqarah: 185).

📎 Dari hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, adalah saat seorang Arab Badui bertanya kepada beliau:

أَخْبِرْنِي مَاذَا فَرَضَ عَلَيَّ اللهُ مِنَ الصَّوْمِ؟

Beritahu aku puasa apa yang Allah wajibkan kepadaku?

Rasulullah menjawab:

صِيَامُ رَمَضَانَ

Puasa Ramadhan. (HR. Al-Bukhari no 1792, dan Muslim no 11).

📎 Kewajiban Puasa Ramadhan juga didasarai oleh ijma' (konsensus) ulama kaum muslimin.

📌 Syarat Islam

Orang kafir tak dituntut berpuasa di dunia, karena puasa adalah cabang dari keislaman. Tapi di akhirat orang kafir diberi sanksi atas kekafirannya dan amal dalam Islam yang ia tinggalkan. (Al-Fiqh Al-Manhaji 'ala Madzhab Al-Imam Asy-Syafi'i, 2/79).

📌 Dalil tentang baligh dan berakal sehat sebagai syarat wajib:

📎 Hadits:

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثٍ: عَنْ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنْ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ , وَعَنْ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ

Telah diangkat pena (catatan amal) dari tiga orang: dari orang yang tidur hingga ia bangun, dari anak kecil hingga ia baligh, dan dari orang gila hingga ia (kembali) berakal sehat. (HR. Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa-i, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Al-Hakim, dari hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha – shahih).

Telah diangkat pena, maksudnya: perbuatan mereka tidak dicatat sebagai kebaikan maupun keburukan.

📌 Dalil tentang qudrah sebagai syarat wajib:

📎 Firman Allah ta’ala:

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. (QS. Al-Baqarah: 184).

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menjelaskan tentang ayat ini:

لَيْسَتْ بِمَنْسُوخَةٍ هُوَ الشَّيْخُ الكَبِيرُ، وَالمَرْأَةُ الكَبِيرَةُ لاَ يَسْتَطِيعَانِ أَنْ يَصُومَا، فَيُطْعِمَانِ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا

Ayat ini tidak mansukh (di-naskh/dihapus pemberlakuan hukumnya). Yang dimaksud adalah lelaki dan perempuan tua yang tak mampu berpuasa, maka mereka berdua memberi makan seorang miskin untuk semua hari yang mereka tidak puasa. (HR. Al-Bukhari no 4235).

📚 Fardhu Puasa

📕 Matan Abu Syuja’:

وَفَرَائِضُ الصَّوْمِ أَرْبَعَةُ أَشْيَاءَ: اَلنِّيَّةُ وَالإِمْسَاكُ عَنِ الأَكْلِ وَالشُّرْبِ، وَالْجِمَاعِ، وَتَعَمُّدِ الْقَيْءِ

Dan fardhu puasa itu empat  hal: niat, menahan diri dari makan dan minum, dari jima’ (hubungan badan), dan dari sengaja muntah.

📒 Penjelasan dan Dalil:

Sebagian ulama menyebutkan fardhu puasa tersebut dengan istilah rukun.

✅ Fardhu menurut mayoritas ulama sama dengan wajib. Dalam Mu’jam Lughah Al-Fuqaha disebutkan fardhu adalah:

مَا أَوْجَبَهُ اللهُ عَلَى عِبَادِهِ
اَلْفَرْضُ قَدْ يُطْلَقُ عَلَى الرُّكْنِ، وَقَدْ يُطْلَقُ عَلَى مَالَا يَصِحُّ بِدُونِهِ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ رُكْنًا

Apa yang diwajibkan Allah kepada hamba-hambaNya. Istilah fardhu kadang digunakan untuk rukun, kadang untuk sesuatu yang menentukan sahnya sesuatu meskipun ia bukan rukun. (Mu’jam Lughah Al-Fuqaha, hlm 343).

✅ Sedangkan rukun sendiri definisinya adalah:

اَلْجَانِبُ الأَقْوَى مِنَ الشَّيْءِ أَوْ مَا لَا يَقُومُ الشَّيْءُ إِلَّا بِهِ

Bagian terkuat dari sesuatu, atau bagian yang menentukan tegaknya sesuatu. (Mu’jam Lughah Al-Fuqaha, hlm 226).

✅ Dapat juga kita katakan bahwa fardhu atau rukun puasa itu dua: niat dan imsak (menahan diri). Lalu imsak ini ada tiga: imsak dari makan-minum, imsak dari jima’ dan imsak dari muntah dengan sengaja.

📌 Niat

✅ Niat dihadirkan sebelum fajar (tabyit an-niyyah) dan setiap hari 

📎 Berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

«مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامَ قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ»

Siapa yang tidak tabyit niat shiyam sebelum fajar, maka tidak sah shiyamnya. (HR. Ad-Daraquthni 2/172 dan lainnya. Beliau berkata: “Perawinya orang-orang tepercaya” & Al-Baihaqi 4/202).

✅ Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menjelaskan dalam kitab Al-Majmu’:

وَمَحَلُّ النِّيَّةِ الْقَلْبُ وَلَا يُشْتَرَطُ نُطْقُ اللِّسَانِ بِلَا خِلَافٍ وَلَا يَكْفِي عَنْ نِيَّةِ الْقَلْبِ بِلَا خِلَافٍ وَلَكِنْ يُسْتَحَبُّ التَّلَفُّظُ مَعَ الْقَلْبِ كَمَا سَبَقَ فِي الْوُضُوءِ وَالصَّلَاةِ

Tempat niat itu adalah hati dan tidak disyaratkan diucapkan dengan lisan - tanpa ada perbedaan pendapat, dan tanpa niat di hati tidaklah cukup - juga tak ada perbedaan pendapat, tetapi melafalkan niat itu mustahab (disukai/dianjurkan) menyertai niat di hati sebagaimana telah dijelaskan dalam pembahasan wudhu dan shalat. (Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadz-dzab, 6/289).

✅ Niat setiap hari utk semua puasa, sedang tabyit niat untuk semua puasa yang wajib. (Al-Majmu', 6/289)

📌 Imsak dari Makan-Minum dan Jima’

📎 Dalilnya firman Allah ta’ala:

فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ

Maka sekarang campurilah mereka (istrimu) dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. (QS. Al-Baqarah: 187).

✅ Potongan ayat tersebut membolehkan jima’ suami istri dan makan minum di malam hari hingga fajar. Artinya wajib imsak saat fajar hingga shaum hari itu selesai dengan terbenamnya matahari.

✅ Termasuk yang harus dihindari adalah keluarnya mani karena bercumbu meskipun tidak sampai terjadi jima’ atau keluar karena onani, karena hal itu membatalkan puasa. Adapun karena mimpi, maka ia tidak membatalkan karena di luar kendali seseorang.

📌 Imsak dari Muntah dengan Sengaja

📎 Dalinya adalah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

مَنْ ذَرَعَهُ قَيْءٌ وَهُوَ صَائِمٌ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ وَإِنِ اسْتَقَاءَ فَلْيَقْضِ

Siapa yang dikalahkan oleh muntah (tak disengaja) dalam keadaan puasa maka tak wajib qadha atasnya, dan jika ia menyengaja muntah maka wajib baginya qadha (di hari lain). (HR. Abu Dawud no 2380, At-Tirmidzi no 720, dan lainnya).

✅ Tidak wajib qadha artinya puasanya tidak batal, wajib qadha berarti puasanya batal.

📚 Mufthir (Pembatal) Puasa

📕 Matan Abu Syuja’

وَالَّذِي يُفْطِرُ بِهِ الصَّائِمُ عَشَرَةُ أَشْيَاءَ: مَا وَصَلَ عَمْدًا إِلَى الْجَوْفِ أَوِ الرَّأْسِ، وَالْحُقْنَةُ فِي أَحَدِ السَّبِيلَيْنِ، وَالْقَيْءُ عَمْداً، وَالْوَطْءُ عَمْدًا فِي الْفَرْجِ، وَالإِنْزَالُ عَنْ مُبَاشَرَةٍ، وَالْحَيْضُ، وَالنِّفَاسُ، وَالْجُنُونُ، وَالْإِغْمَاءُ كُلَّ الْيَوْمِ، وَالرِّدَّةُ.

Dan yang membuat orang puasa batal puasanya ada sepuluh hal: 

1. Apa saja yang dengan sengaja dimasukkan menuju al-jauf (bagian dalam tubuh atau bagian dalam kepala)
2. Obat atau benda yang masuk ke salah satu dari lubang kemaluan atau dubur
3. Muntah dengan sengaja
4. Hubungan badan di kemaluan dengan sadar
5. Keluarnya mani karena aktivitas seksual
6. Haid
7. Nifas
8. Gila
9. Hilang kesadaran sepanjang hari (waktu puasa)
10. Murtad

📌 Penjelasan No 1 & 2
1. Apa saja yang dengan sengaja dimasukkan menuju al-jauf (bagian dalam tubuh atau bagian dalam kepala).
2. Obat atau benda yang masuk ke salah satu dari lubang kemaluan atau dubur

✅ Al-Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’ mengutip pernyataan Ar-Rafi’i - rahimahumallah:

قَالَ الرَّافِعِيُّ: وَضَبَطَ الْأَصْحَابُ الدَّاخِلَ الْمُفْطِرَ بِالْعَيْنِ الْوَاصِلَةِ مِنْ الظَّاهِرِ إلَى الْبَاطِنِ فِي مَنْفَذٍ مَفْتُوحٍ عَنْ قَصْدٍ مَعَ ذِكْرِ الصَّوْمِ

Ar-Rafi’i berkata: Ashab (para ulama madzhab) membuat patokan untuk benda masuk yang membatalkan puasa dengan “’ain (الْعَيْن) yaitu benda terlihat yang sampai dari luar ke dalam tubuh melalui “manfadz maftuh”(celah/lubang terbuka dari tubuh) dengan sengaja dan sadar sedang berpuasa”. (Al-Majmu’ 6/316).

✅ Benda kasat mata dalam bahasa Arab sering disebut ‘ain, oleh karena itu harta berupa benda yang terlihat disebut juga ‘ain:

يُقَالُ هُوَ عَيْنٌ غَيْرُ دَيْنٍ، أَيْ هُوَ مَالٌ حَاضِرٌ تَرَاهُ الْعُيُونُ

Dikatakan ia ‘ain bukan piutang maksudnya harta yang ada wujudnya karena dapat dilihat oleh ‘ain (mata). (Mu’jam Maqayis Al-Lughah, 4/203).

✅ Jadi benda yang dapat membatalkan puasa ketika masuk ke dalam celah/lubang terbuka pada tubuh adalah benda yang terlihat oleh mata normal. Oleh karena itu merokok membatalkan puasa, karena asap rokok jelas kelihatan.

✅ Dr. Wahbah Zuhaili dalam Al-Fiqh Asy-Syafi’i Al-Muyassar menafsirkan al-‘ain dengan ذَاتٌ لَا رِيْح (zat padat bukan sekadar angin/gas). (1/355).

✅ Sedangkan celah atau lubang yang dimaksud adalah mulut hingga melewati rongga mulut, hidung hingga melewati rongga hidung, telinga hingga masuk ke bagian dalamnya, kemaluan dan anus. (Al-Fiqh Asy-Syafi’i Al-Muyassar, 1/354).  

Dengan demikian tetesan ke mata tidak membatalkan puasa karena mata tidak termasuk rongga, sementara tetesan ke lubang telinga hingga masuk ke dalamnya membatalkan puasa, karena ia termasuk lubang terbuka. Hindari pula korek kuping hingga bagian dalam.

Injeksi obat melalui pembuluh darah tidak membatalkan puasa karena pembuluh darah tidak termasuk lubang terbuka. Namun infus yang berisi makanan meskipun tidak melalui lubang terbuka sehingga pada lahirnya tidak membatalkan puasa, sebaiknya dihindari karena ada “unsur makanan” di situ. Kenyataannya, orang tidak diinfus kecuali sedang sakit serius dan yang seperti itu tidak berpuasa.

📌 No 3 (muntah dengan sengaja) telah dijelaskan sebelumnya.

📌 No 4 & 5 (hubungan badan di kemaluan dengan sadar dan keluarnya mani karena aktivitas seksual) telah dijelaskan sebelumnya. 

✅ Perlu tambahan penjelasan bahwa keluar mani bukan karena jima’, bercumbu, dan onani, tetapi karena berkhayal misalnya, maka hal tersebut tidak membatalkan puasa. (Al-Fiqh Asy-Syafi’i Al-Muyassar, 1/356).
Namun perlu diingat bahwa tidak membatalkan puasa berbeda sama sekali dengan tidak merusak nilai atau pahala puasa atau menghilangkannya sama sekali. Tidak batal puasa artinya tidak ada kewajiban qadha. 

📌 Penjelasan No 6 (Haid) & 7 (Nifas)

📎 Dalilnya adalah riwayat dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ketika ditanya tentang haid:

كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ، وَلَا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ

Dulu saat kami mengalami haid, kami diperintahkan untuk qadha shaum, dan tidak diperintahkan untuk qadha shalat. (HR. Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa-i).

Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam memerintahkan qadha shaum artinya tidak sah puasa perempuan yang haid, atau batal puasanya ketika datang haid.

✅ Sedangkan nifas diqiyaskan dengan haid.

📌 Penjelasan No 8 (Gila), 9 (Hilang kesadaran sepanjang hari (waktu puasa)) & 10 (Murtad)

✅ Ketiga hal tersebut membatalkan puasa karena ketiganya menyebabkan seseorang kehilangan ahliyyah (kelaikan) untuk untuk menjadi mukallaf, atau kehilangan syarat wajib berpuasa sebagaimana telah dijelaskan.

✅ Hilang kesadaran yang membuat puasa tidak sah adalah hilang kesadaran sepanjang hari. Jika ia sempat sadar di waktu berpuasa meski sesaat dan telah tabyit niat, maka puasanya tetap sah, karena memenuhi unsur imsak meskipun sebentar. (Al-Fiqh Asy-Syafi’i Al-Muyassar, 1/356).

📒 Perlu ditegaskan bahwa semua hal yang membatalkan puasa menjadi tidak membatalkan jika terjadi tidak disengaja atau lupa sedang puasa atau di luar kemampuan manusia untuk menghindarinya, kecuali haid, nifas, gila dan pingsan. Keempat hal ini membatalkan puasa meski tidak dapat dihindari, karena syariat menjadikannya sebagai penghalang ibadah mahdhah atau penghalang kelaikan sebagai mukallaf.

Posting Komentar untuk "Fiqih Puasa (F-007) Bagian 1"