Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Fiqih Puasa (F-007) Bagian 3


📚 Kafarat Jima’ Di Siang Ramadhan

📕 Matan Abu Syuja’

وَمَنْ وَطِئَ فِي نَهَارِ رَمَضَانَ عَامِدًا فِي الْفَرْجِ فَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ وَالْكَفَّارَةُ وَهِيَ: عِتْقُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ، فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّينَ مِسْكِينًا لِكُلِّ مِسْكِينٍ مُدٌّ.

Dan siapa yang bersanggama di siang Ramdhan dengan sengaja di farji maka wajib baginya qadha dan kafarat, yaitu memerdekakan budak yang beriman, jika tidak ia dapati maka berpuasa dua bulan berturut-turut, dan jika ia tidak sanggup maka memberi makan 60 orang miskin, setiap orangnya satu mud.

📒 Penjelasan

📎 Dalil utama masalah ini adalah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di mana beliau menceritakan:

بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكْتُ. قَالَ: «مَا لَكَ؟» قَالَ: وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِي وَأَنَا صَائِمٌ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «هَلْ تَجِدُ رَقَبَةً تُعْتِقُهَا؟» قَالَ: لاَ، قَالَ: «فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ»، قَالَ: لاَ، فَقَالَ: «فَهَلْ تَجِدُ إِطْعَامَ سِتِّينَ مِسْكِينًا». قَالَ: لاَ، قَالَ: فَمَكَثَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَبَيْنَا نَحْنُ عَلَى ذَلِكَ أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَقٍ فِيهَا تَمْرٌ - وَالعَرَقُ المِكْتَلُ - قَالَ: «أَيْنَ السَّائِلُ؟» فَقَالَ: أَنَا، قَالَ: «خُذْهَا، فَتَصَدَّقْ بِهِ» فَقَالَ الرَّجُلُ: أَعَلَى أَفْقَرَ مِنِّي يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ فَوَاللَّهِ مَا بَيْنَ لاَبَتَيْهَا - يُرِيدُ الحَرَّتَيْنِ - أَهْلُ بَيْتٍ أَفْقَرُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِي، فَضَحِكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ، ثُمَّ قَالَ: «أَطْعِمْهُ أَهْلَكَ»

Ketika kami duduk-duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tiba-tiba datanglah seseorang sambil berkata: “Wahai, Rasulullah, celaka!” Beliau menjawab,”Ada apa denganmu?” Dia berkata,”Aku menggauli istriku (jima’), padahal aku sedang berpuasa.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata,”Apakah kamu dapat menemukan budak untuk dimerdekakan?” Dia menjawab,”Tidak!” Lalu Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berkata lagi,”Mampukah kamu berpuasa dua bulan berturut-turut?” Dia menjawab,”Tidak.” Lalu Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya lagi: “Mampukah kamu memberi makan enam puluh orang miskin?” Dia menjawab,”Tidak.” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diam. Dalam keadaan seperti ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam diberi satu ‘araq berisi kurma tamr – ‘araq adalah takaran - Beliau berkata: “Mana orang yang bertanya tadi?” Dia menjawab,”Saya.” Beliau berkata lagi: “Ambillah ini dan bersedekahlah dengannya!” Kemudian orang tersebut berkata: “Apakah kepada orang yang lebih fakir dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada satupun keluarga diantara dua kawasan bebatuan hitam yang mengapit kota ini (Madinah) yang lebih fakir dari keluargaku”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tertawa sampai tampak gigi taringnya, kemudian beliau berkata: “Berilah makan keluargamu!” (HR. Al-Imam Al-Bukhari).

Definisi Qadha

اَلْقَضَاءُ: أَدَاءُ مِثْلِ الْوَاجِبِ بَعْدَ وَقْتِهِ اسْتِدْرَاكًا لِمَا سَبَقَ

Qadha adalah pelaksanaan seperti kewajiban (yang telah ditetapkan) di luar waktunya sebagai ganti (kewajiban) yang lewat tersebut. (Mu’jam Lughah Al-Fuqaha, hlm 365).

Definisi Kafarat

اَلْكَفَّارَةُ: تَصَرُّفٌ أَوْجَبَهُ الشَّرْعُ لِمَحْوِ ذَنْبٍ مُعَيَّنٍ، كَالإِعْتَاقِ وَالصِّيَامِ وَالإِطْعَامِ، وَغَيْرِ ذَلِكَ

Kafarat adalah tindakan yang diwajibkan oleh syariat untuk menghapus dosa tertentu, seperti memerdekakan budak, berpuasa, atau memberi makan (orang miskin), dan lain-lain. (Mu’jam Lughah Al-Fuqaha, hlm 382).

✅ Yang dimaksud dengan “sengaja” yang disebutkan pada matan Abu Syuja adalah sadar atau tidak lupa bahwa ia sedang berpuasa Ramadhan dan juga punya pengetahuan tentang keharaman jima’ di siang Ramadhan. Dengan demikian pelakunya berdosa sehingga ia dikenakan sanksi kafarat disamping qadha.

مَنْ أَفْطَرَ فِيْ شَهْرِ رَمَضَانَ نَاسِيًا فَلاَ قَضَاءَ عَلَيْهِ وَلاَ كَفَّارَةَ

Siapa yang berbuka di bulan Ramadhan karena lupa, maka tidak ada kewajiban qadha dan tidak ada kewajiban kafarat”. (HR. Ibnu Hibban, Ad-Daraquthni 2/178, dan Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya no 1990 – isnadnya hasan).

✅ Tentang kewajiban qadha atau mengganti puasa di hari lain di mana seseorang membatalkannya karena jima’, Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan:

وَبِإِيجَابِ قَضَائِهِ قَالَ جَمِيعُ الْفُقَهَاءِ سِوَى الْأَوْزَاعِيِّ
 
Wajibnya qadha puasa (karena jima’) adalah pendapat seluruh fuqaha kecuali Al-Auza’i. (Al-Majmu’ 6/345).

✅ Tentang kafarat, beliau menjelaskan:

إذَا وَطِئَ الصَّائِمُ فِي نَهَارِ رَمَضَانَ وَقَالَ جَهِلْتُ تَحْرِيمَهُ فَإِنْ كَانَ مِمَّنْ يَخْفَى عَلَيْهِ لِقُرْبِ إسْلَامِهِ وَنَحْوِهِ فَلَا كَفَّارَةَ وَإِلَّا وَجَبَتْ وَلَوْ قَالَ عَلِمْتُ تَحْرِيمَهُ وَجَهِلْتُ وُجُوبَ الْكَفَّارَةِ لَزِمَتْهُ الْكَفَّارَةُ بِلَا خِلَافٍ ... لِأَنَّهُ مُقَصِّرٌ

Jika laki-laki yang berpuasa bersanggama di siang Ramadhan dan ia berkata: “Saya tidak tahu keharamannya”, seandainya informasi memang luput darinya karena ia baru saja masuk Islam atau sejenisnya maka tak wajib kafarat baginya, jika tidak demikian maka wajib baginya. Andai ia berkata: “Saya tahu keharamannya, tapi saya tidak tahu tentang wajibnya kafarat” tetap wajib baginya kafarat, tanpa perbedaan pendapat... karena ia dianggap kurang berusaha. (Al-Majmu’ 6/344).

✅ Al-Imam An-Nawawi rahimahullah juga menyebutkan bahwa pendapat yang lebih shahih dalam madzhab Syafi’i bahwa yang wajib kafarat hanya suami saja. Sedangkan istri wajib baginya qadha saja. (Al-Majmu’, 6/331). 

Alasannya adalah karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits di atas hanya memerintahkan sang suami untuk melaksanakan kafarat, sementara sang istri tidak. Seandainya istri wajib kafarat, tentu Rasulullah menyuruhnya juga, karena beliau tidak akan menunda penjelasan hukum yang harus diketahui saat itu juga. 

✅ Ulama madzhab Syafi’i sepakat bahwa kafarat ini berulang diwajibkan jika pelanggaran juga berulang dilakukan di hari yang berbeda di bulan Ramadhan, tanpa melihat apakah kafarat pertama sudah dilaksanakan atau belum. (Al-Majmu’, 6/336).

✅ Bagaimana dengan jima’ di siang hari saat sedang puasa qadha Ramadhan, apakah terkena kafarat? Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan:

لَوْ جَامَعَ فِي صَوْمِ غَيْرِ رَمَضَانَ مِنْ قَضَاءٍ أَوْ نَذْرٍ أَوْ غَيْرِهِمَا فَلَا كَفَّارَةَ كَمَا سَبَقَ وَبِهِ قَالَ الْجُمْهُورُ 

Seandainya seseorang melakukan jima’ bukan pada puasa Ramadhan, seperti puasa qadha, nadzar, atau lainnya maka tidak ada kafarat sebagaimana telah dijelaskan, dan ini adalah pendapat jumhur ulama. (Al-Majmu’, 6/345).

✅ Urutan pertanyaan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam kepada pelaku sebagaimana tersebut dalam hadits menunjukkan bahwa pilihan kafarat batal puasa karena jima’ di siang hari Ramadhan secara sadar ini harus berurutan, artinya pilihan pertama yang harus diambil adalah memerdekakan budak terlebih dulu, jika tidak ada budak atau tidak sanggup memerdekakannya, baru pilihan kedua diambil yaitu berpuasa dua bulan berturut-turut, bila tidak sanggup, barulah pilihan ketiga (terakhir) diambil yaitu memberi makan 60 orang miskin.

✅ Jika semua pilihan itu tidak sanggup ia lakukan saat itu, maka kafarat tersebut tetap menjadi beban kewajibannya sampai ia sanggup melakukan salah satunya di kemudian hari. (Al-Fiqh Al-Manhaji ‘ala Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’I, 2/95).

📌 Memerdekakan Budak yang Beriman

✅ Meskipun dalam hadits di atas tidak disebutkan syarat beriman untuk budak yang akan dimerdekakan, namun syarat beriman ini diberlakukan berdasarkan ayat Al-Qur’an yang menyebutkan memerdekakan budak beriman. Dalam ushul fiqih disebut dengan istilah حَمْلُ الْمُطْلَقِ عَلَى المُقَيَّدِ (membawa dalil yang tanpa keterangan (muthlaq) kepada dalil yang memiliki keterangan tambahan (muqayyad)). (Al-Fiqh Asy-Syafi’i Al-Muyassar, 1/367).

Ayat yang dimaksud adalah firman Allah ta’ala tentang kafarat membunuh tidak sengaja:

فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ 

Maka hendaklah ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman.. (QS. An-Nisa: 92).

Di zaman sekarang pilihan kafarat ini tidak dapat dilaksanakan.

📌 Berpuasa Dua Bulan Berturut-Turut

✅ Artinya jika batal puasa kafarat ini tanpa udzur syar’i di hari kesekian, maka ia harus mengulang lagi dari awal.

📌 Memberi Makan 60 Orang Miskin, Masing-Masing 1 Mud Makanan Pokok Setempat

✅ Kadar satu mud ini ditentukan berdasarkan hadits tentang hal yang sama dari riwayat Abu Dawud, di mana di dalamnya disebutkan kadar takaran ‘araqnya adalah 15 sha’

فَأُتِيَ بِعَرَقٍ فِيْهِ تَمْرٌ قَدْرَ خَمْسَةَ عَشَرَ صَاعاً

… maka didatangkan kepada beliau ‘araq yang di dalamnya ada kurma tamr dengan kadar lima belas sha’ (HR. Abu Dawud – shahih).

✅ Sedangkan satu sha’ itu empat mud. Jadi lima belas sha’ adalah enam puluh mud untuk enam puluh orang miskin, sehingga jatah setiap orangnya adalah satu mud.

✅ Mud sendiri sebenarnya adalah ukuran satu cakupan penuh dua telapak tangan laki-laki dewasa normal yang digabungkan. Jadi ia bukanlah ukuran berat, tetapi berupa takaran, sehingga jika ingin dikonversi ke dalam gram misalnya maka sangat tergantung kepada berat jenis makanan pokok yang ditimbang dan juga kadar airnya.

✅ Setelah dilakukan konversi, 1 mud rata-rata setara dengan 675 gram (Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, Wahbah Az-Zuhaili, 3/1737). Ada juga beberapa pendapat lain tentang konversi mud menjadi gram ini. Untuk kehati-hatian sebaiknya dilebihkan dari ukuran yang diperkirakan, jika mampu.

✅ Makanan pokok untuk orang miskin ini tidak boleh dibagikan kepada keluarga pelaku pelanggaran. Adapun yg disebutkan di dalam hadits adalah khusus untuk beliau saja, tidak berlaku bagi yang lain. (Al-Fiqh Asy-Syafi'i Al-Muyassar, 1/366).

Posting Komentar untuk "Fiqih Puasa (F-007) Bagian 3"