Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala (A-007 Bagian 12)


📚 Riwayat Para Ulama tentang Sifat-Sifat Allah

‘Abdullah bin ‘Abbas RA (3 SH – 68 H), Sepupu Rasulullah ﷺ

✅ Al-Imam ath-Thabari meriwayatkan dalam tafsirnya bahwa ‘Abdullah bin ‘Abbas RA menta-wil Kursi pada ayat Kursi dengan ilmu-Nya:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ: {وَسِعَ كُرْسِيُّهُ} قَالَ: "كُرْسِيُّهُ: عِلْمُهُ" 

Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas: Firman Allah (yang artinya): “Kursi-Nya meliputi langit dan bumi” (al-Baqarah: 255) ia berkata: “Kursi-Nya: ilmu-Nya”. (Tafsir ath-Thabari, 4/537).

Ibnu Jarir ath-Thabari (224-310 H)

✅ Ibnu Jarir Menguatkan Ta-wil ‘Abdullah bin ‘Abbas RA tentang makna Kursi:

وَأَمَّا الَّذِي يَدُلُّ عَلَى صِحَّتِهِ ظَاهَرُ الْقُرْآنِ فَقَوْلُ ابْنِ عَبَّاسٍ الَّذِي رَوَاهُ جَعْفَرُ بْنُ أَبِي الْمُغِيرَةِ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: هُوَ عِلْمُهُ، ..  وَأَصْلُ الْكُرْسِيِّ: الْعِلْمُ  

Adapun yang kebenarannya ditunjukkan oleh zhahir Al-Qur’an adalah ucapan Ibnu ‘Abbas yang diriwayatkan oleh Ja’far bin Abi al-Mugirah dari Sai’d bin Jubair, dari beliau (Ibnu ‘Abbas) bahwa beliau berkata: “ia adalah ilmu-Nya”, ... dan asal Kursi adalah ilmu. (Tafsir ath-Thabari, 4/540).

✅ Ibnu Jarir menta-wil “al-fauqiyyah” pada Al-An’am ayat 18 dengan ‘uluww al-qudrah (ketinggian kekuasaan):

يَقُولُ تَعَالَى ذِكْرُهُ: {وَهُوَ الْقَاهِرُ} [الأنعام: 18] وَاللَّهُ الْغَالِبُ خَلْقَهُ الْعَالِي عَلَيْهِمْ بِقُدْرَتِهِ 

Allah ta’ala berfirman (yang artinya): “Dan Dia lah al-Qahir” (al-An’am: 18): Dan Allah yang Mahamenang atas makhluk-Nya Mahatinggi atas mereka dengan kekuasaan-Nya. (Tafsir ath-Thabari, 9/288).

زعمت أن تأويل قوله"استوى" أقبلَ، أفكان مُدْبِرًا عن السماء فأقبل إليها؟ فإن زعم أنّ ذلك ليس بإقبال فعل، ولكنه إقبال تدبير، قيل له: فكذلك فقُلْ: علا عليها علوّ مُلْك وسُلْطان، لا علوّ انتقال وزَوال.

“Jika anda menganggap makna istiwa adalah menuju, apakah berarti Dia tadinya berpaling dari langit kemudian menuju ke sana? Kalau ia kemudian menganggap menuju di situ bukan menuju dalam arti “perbuatan bergerak” maka begitu pula dengan “Dia tinggi di atas langit” maksudnya adalah tinggi kerajaan dan kekuasaan, bukan tinggi yang menunjukkan perpindahan (ada jarak) dan lenyap. (Tafsir ath-Thabari, 1/430).

al-Imam Malik bin Anas (93-179 H)

✅ Al-Lalaka-i (wafat 418 H) meriwayatkan dengan sanadnya dari Ja’far bin Abdillah ungkapan al-Imam Malik dengan redaksi:

الْكَيْفُ غَيْرُ مَعْقُولٍ وَالِاسْتِوَاءُ مِنْهُ غَيْرُ مَجْهُوَلٍ وَالْإِيمَانُ بِهِ وَاجِبٌ وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ

Kaifiyat itu tidak masuk akal, dan istiwa darinya tidaklah “tidak diketahui” (maksudnya diketahui), percaya kepadanya wajib, dan bertanya tentangnya adalah bid’ah. (Syarh Ushul I’tiqad Ahli as-Sunnah wa al-Jama’ah, al-Lalaka-i, 3/441).

✅ Maksud “istiwa adalah ma’lum (diketahui)” dapat dipahami dengan dua kemungkinan:

Pertama, diketahui sebagai nash (teks) syariat yang pasti (معلوم الورود والثبوت). Kemungkinan ini diambil oleh Ibnu Qudamah al-Maqdisi al-Hambali (541-620 H) dalam kitabnya Dzamm at-Ta-wil halaman 26 :

وَقَوْلهمْ الاسْتوَاء غير مَجْهُول أَي غير مَجْهُول الْوُجُود لِأَن الله تَعَالَى أخبر بِهِ وَخَبره صدق يَقِينا لَا يجوز الشَّك فِيهِ وَلَا الإرتياب فِيهِ فَكَانَ غير مَجْهُول لحُصُول الْعلم بِهِ وَقد رُوِيَ فِي بعض الْأَلْفَاظ الاسْتوَاء مَعْلُوم

Dan ucapan mereka istiwa tidaklah majhul (tidak diketahui) maksudnya tidak majhul keberadaannya, karena Allah ta’ala telah mengabarkannya dan kabar dariNya yakin pasti benar tidak ada keraguan dan sangsi padanya. Tidak majhul karena telah sampai ilmu tentangnya. Dan telah diriwayatkan di beberapa redaksi dengan istiwa ma’lum.

Kedua, diketahui maknanya menurut bahasa sebelum ia dinisbatkan kepada Allah, diantara maknanya ialah استقرّ istaqarra (menetap) dan علا ‘alaa (tinggi). Adapun setelah dinisbatkan kepada Allah maka makna lahiriah secara bahasa tidak boleh diambil, karena berakibat tasybih, dan kita serahkan atau tafwidh hakikat istiwa itu kepada Allah.

✅ Oleh karena itu redaksi dari al-Imam Malik sendiri dalam suatu riwayat mengatakan الاستواء معلوم “istiwa itu diketahui”, bukan استواء الله معلوم “istiwa Allah itu diketahui”.

✅ Dengan penjelasan tersebut, ungkapan al-Imam Malik menunjukkan tafwidh dalam sifat istiwa.

✅ Begitu pula yang dilakukan oleh al-Qurthubi al-Maliki (600-671 H), beliau menjelaskan makna istiwa secara bahasa, tetapi ketika sudah membahas istiwa Allah ta’ala beliau menolak penafsiran dengan makna lahiriah menurut bahasa Arab, dan menyatakan pelakunya sebagai pelaku tasybih seraya menyatakan :

وَقَالَ بَعْضُهُمْ: نَقْرَؤُهَا وَنُفَسِّرُهَا عَلَى مَا يَحْتَمِلُهُ ظَاهِرُ اللغَةِ. وَهَذَا قَوْلُ الْمُشَبِّهَةِ.

Sebagian mereka berkata : “Kita membacanya dan menafsirkannya berdasarkan kandungan makna lahiriyah (menurut) bahasa.” Dan ini adalah ucapaan pelaku tasybih. (Tafsir al-Qurthubi, 7/219).

✅ al-Imam Malik menta-wil hadits “nuzul”:

تأويل مالك بن أنس وغيره معناه تنزل رحمته وأمره وملائكته

Malik bin Anas dan lainnya menta-wil maknanya dengan turun rahmat-Nya, perintah-Nya dan malaikat-Nya. (Syarh Shahih Muslim, an-Nawawi, 6/37).

✅ Ibnu Hajar mengutip kesimpulan al-Baihaqi (384-458 H) dan dipastikan oleh Ibnu Daqiq al-Id (625-702 H) bahwa madzhab al-Imam Malik dalam sifat-sifat Allah adalah tafwidh secara umum, dan terkadang melakukan ta-wil berdasarkan dalil (Lihat Fath al-Bari 3/30).

Ibnu ‘Abdil Bar al-Maliki (368-463 H)

✅ Abu ‘Umar Ibnu ‘Abdil Barr menolak ungkapan “bidzatih” tentang hadits “nuzul”, bukan semata karena tidak ada nash-nya, juga karena mengandung tasybih dengan makhluk:

وَقَدْ قَالَتْ فِرْقَةٌ مُنْتَسِبَةٌ إِلَى السُّنَّةِ إِنَّهُ يَنْزِلُ بِذَاتِهِ! وَهَذَا قَوْلٌ مَهْجُورٌ لِأَنَّهُ تَعَالَى ذِكْرُهُ لَيْسَ بِمَحَلٍّ لِلْحَرَكَاتِ وَلَا فِيهِ شَيْءٌ مِنْ عَلَامَاتِ الْمَخْلُوقَاتِ

Dan satu kelompok yang menisbatkan dirinya kepada Sunnah berkata “Sesungguhnya Dia turun dengan DzatNya!” Ini adalah ucapan yang (harus) ditinggalkan, karena Dia yang Mahatinggi kemuliaanNya bukanlah wadah bagi gerakan-gerakan, dan tak ada sedikitpun ciri-ciri makhluk padaNya. (al-Istidzkar, Ibnu ‘Abdil Bar, 2/530).

al-Imam Ahmad bin Hambal (164-241 H)

✅ al-Imam Ahmad menta-wil “المجيء” (datang) pada surat al-Fajr ayat 22 dengan kedatangan balasan-Nya:

✅ Ibnu Katsir (701-774 H) menyebutkan dalam al-Bidayah wa an-Nihayah:

وروى البيهقي عن الحاكم عن أبي عمرو بن السماك عن حنبل أن أحمد بن حنبل تأول قول الله تعالى: (وجاء ربك) [الفجر: 22] أنه جاء ثوابه. ثم قال البيهقي: وهذا إسناد لا غبار عليه. 

Dan al-Baihaqi (384-458 H) telah meriwayatkan dari al-Hakim dari Abu ‘Amr bin as-Sammak dari Hambal bahwasanya Ahmad bin Hambal menta-wil firman Allah ta’ala (yang artinya): “Dan telah datang Tuhan-Mu” (QS. al-Fajr: 22) bahwa maksudnya adalah telah datang balasan-Nya. Kemudian al-Baihaqi berkata: Ini adalah sanad yang tak berdebu (bersih/shahih). (al-Bidayah wa an-Nihayah, Ibnu Katsir, 10/361).

✅ Ibnu al-Jauzi al-Hambali (510-597 H) menjelaskan kepada sebagian orang yang mengaku pengikut al-Imam Ahmad, bahwa mengambil makna lahiriyah sesuai kamus bahasa bukanlah madzhab al-Imam Ahmad:

فإياكم أن تبتدعوا في مذهبه ما ليس منه؛ ثم قلتم في الأحاديث "تحمل على ظاهرها" فظاهر القدم الجارحة .. 
فلو أنكم قلتم نقرأ الأحاديث ونسكت لما أنكر أحد عليكم إنما حملكم إياها على الظاهر قبيح. 

Maka janganlah kalian berbuat bid’ah (mengada-adakan) di dalam madzhabnya sesuatu yang bukan darinya, kemudian kalian mengatakan tentang hadits-hadits (sifat Allah) “dimaknai dengan makna lahiriyah”, makna lahiriyah kaki adalah anggota tubuh … 
Andai kalian mengatakan kami membaca hadits-hadits itu dan kami diam, maka tidak ada yang akan mengingkari, kalian membawanya kepada makna lahiriyah adalah suatu keburukan. (Daf’ Syubah at-Tasybih, Ibnu al-Jauzi, hlm 8).

✅ Ibnu Hajar al-Haitami asy-Syafi’i (909-973 H) menjelaskan hal yang sama :

وَمَا اشْتهر بَين جهلة المنسوبين إِلَى هَذَا الإِمَام الْأَعْظَم الْمُجْتَهد من أَنه قَائِل بِشَيْء من الْجِهَة أَو نَحْوهَا فكذب وبُهتان وافتراء عَلَيْهِ، ... وَقد بَين الْحَافِظ الْحجَّة الْقدْوَة الإِمَام أَبُو الْفرج بن الْجَوْزِيّ من أَئِمَّة مذْهبه المبرئِّين من هَذِه الوصمة القبيحة الشنيعة، أنَّ كل مَا نسب إِلَيْهِ من ذَلِك كذب عَلَيْهِ وافتراء وبهتان وَأَن نصوصه صَرِيحَة فِي بطلَان ذَلِك وتنزيه الله تَعَالَى عَنهُ فَاعْلَم ذَلِك فَإِنَّهُ مُهِمّ. (الفتاوى الحديثية لابن حجر الهيتمي، 145)

Yang masyhur di kalangan orang-orang bodoh yang mengaku bermadzhab imam mujtahid agung ini bahwa beliau mengatakan sesuatu tentang “arah” (bagi Allah) dan sejenisnya, itu adalah dusta, hoax dan fitnah kepada beliau… Telah dijelaskan oleh al-Hafizh al-Hujjah yang menjadi teladan dan imam, yaitu Abu al-Faraj Ibnu al-Jauzi, seorang tokoh madzhab Hambali yang membebaskan beliau dari tuduhan keji ini, bahwa semua yang dinisbatkan kepada beliau dari hal-hal semacam itu adalah dusta dan hoax, teks-teks dari beliau tegas menolak hal tersebut dan tegas menyucikan Allah darinya, maka anda harus tahu, karena ini penting. (al-Fatawa al-Haditsiyyah, al-Haitami, hlm 145).

Sufyan ats-Tsauri (97-161 H)

وكذلك سفيان الثوري أول الاستواء على العرش بقصد أمره

Dan demikian pula Sufyan ats-Tsauri menta-wil istiwa ‘ala al-‘Arsy dengan “menujukan/mengarahkan urusan-Nya” (Mirqah al-Mafatih, ‘Ali al-Qari, 3/924).

Al-Hasan al-Bashri (21-110 H) Seorang Tabi’in Senior

وَجاءَ رَبُّكَ، قَالَ الْحَسَنُ: جَاءَ أَمْرُهُ وَقَضَاؤُهُ 

(Firman Allah yang artinya): “Dan telah datang Tuhanmu” al-Hasan berkata: telah datang perintah-Nya dan ketetapan-Nya. (Tafsir al-Baghawi, 5/252).

Al-Imam al-Bukhari (194-256 H)

{كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ} [القصص: 88]: " إِلَّا مُلْكَهُ "

(Firman-Nya yang artinya): “Segala sesuatu akan hancur kecuali wajah-Nya” (QS. Al-Qashash: 88) maksudnya: kecuali kerajaan-Nya. (Shahih al-Bukhari, 6/112 pada tafsir Surat al-Qashash).

✅ Al-Baihaqi menyebutkan ta-wil al-Imam al-Bukhari tentang hadits muttafaq ‘alaih bahwa Allah tertawa kepada dua orang yang saling membunuh kemudian keduanya masuk surga, yang pertama terbunuh syahid, yang kedua akhirnya masuk Islam kemudian mati syahid juga :

قال البخاري: «معنى الضحك الرحمة». قال أبو سليمان (يعني الخطابي) قول أبي عبد الله قريب، وتأويله على معنى الرضى لفعلهما أقرب وأشبه 

Al-Bukhari telah berkata: “Makna adh-dhahik (tertawa) adalah kasih sayang (Allah). Abu Sulaiman (al-Khaththabi) berkata: “Ucapan Abu ‘Abdillah (al-Bukhari) ini dekat (maknanya). Dan ta-wil dengan mengartikannya “ridha” dengan perbuatan keduanya lebih dekat lagi dan lebih sesuai.” (al-Asma wa ash-Shifat, al-Baihaqi, 2/402).

✅ Ibnu Hajar al-‘Asqalani mendukung pernyataan al-Khaththabi dengan menyatakan:

ويدل على أن المراد بالضحك الإقبال بالرضا تعديته بـ "إلى" 

Yang menunjukan bahwa maksud “adh-dhahik” adalah menerima dengan ridha adalah penggunaan huruf “ilaa” (pada kata dhahik untuk menghubungkannya dengan objeknya).. (Fath al-Bari, 6/40).

Abu Sulaiman al-Khaththabi (319-388 H)

وليس معنى قول المسلمين إن الله على العرش هو أنه تعالى مماس له أو متمكِّن فيه أو متحيّز في جهة من جهاته، لكنه بائن من جميع خلقه، وإنما هو خبر جاء به التوقيف فقلنا به ونفينا عنه التكييف إذ ﴿لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ﴾

Ucapan kaum muslimin bahwa “sesungguhnya Allah ‘ala al-‘Arsy” artinya bukan Dia menyentuh (menempel) padanya, atau menetap kokoh padanya, atau berada di salah satu arahnya, tetapi Dia berbeda dari seluruh makhluk-Nya. Ia hanyalah kabar yang wahyu datang membawanya, maka kita pun mengatakannya, kita tiadakan kaifiyat karena “Tak ada sesuatu apapun yang semisal dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar, Maha Melihat”. (A’lam al-Hadits (Syarh Shahih al-Bukhari), al-Khaththabi, 2/1474).

al-Imam asy-Syafi’i (150-204 H)

✅ al-Imam asy-Syafi’i menjelaskan:

واعلموا أن البارئ لا مكان له. والدليل عليه هو أن الله تعالى كان ولا مكان فخلق المكان وهو على صفته الأزلية كما كان قبل خلقه المكان. لا يجوز عليه التغيير فى ذاته والتبديل فى صفاته، ولأن من له مكان وله تحت يكون متناهى الذات محدودا. والمحدود مخلوق. تعالى الله عن ذلك. 

Dan ketahuilah bahwa Allah al-Bari tak ada tempat untuk-Nya. Dalilnya adalah bahwa sesungguhnya Allah ta’ala ada dan tempat tidak ada lalu Dia menciptakan tempat, dan Dia dengan sifat azali-Nya seperti sebelum menciptakan tempat. Tidak mungkin Dia berubah pada Dzat-Nya dan sifat-sifat-Nya. Juga karena yang mempunyai tempat dan ada bawahnya berarti ia dzat yang punya akhir dan batas, sementara yang berbatas adalah makhluk, Mahatinggi Allah dari hal itu. 

(ad-Din al-Khalish, Mahmud Muhammad Kaththab as-Subki, 1/35; Ithaf as-Sadah al-Muttaqin, Murtadha az-Zabidi, 2/24).

Al-Imam Abu Hanifah (80-150 H)

والله تعالى يُرى في الآخرة، ويراه المؤمنون وهم في الجنة بأعين رؤوسهم بلا تشبيه ولا كيفية، ولا يكون بينه وبين خلقه مسافة

Dan Allah dapat dilihat di akhirat, orang-orng beriman akan melihat-Nya di surga dengan mata kepala mereka tanpa tasybih dan tanpa kaifiyat, dan antara Dia dengan makhluk-Nya tak ada jarak (tidak di arah tertentu). (al-Fiqh al-Akbar, Abu Hanifah, hlm 53).

✅ Al-Imam Abu Hanifah juga berkata :

ونقر بأن الله سبحانه وتعالى على العرش استوى من غير أن يكون له حاجة إليه واستقرار عليه، وهو حافظ العرش وغير العرش من غير احتياج، فلو كان محتاجًا لَمَا قدر على إيجاد العالم وتدبيره كالمخلوقين، ولو كان محتاجًا إلى الجلوس والقرار فقبل خلق العرش أين كان الله، تعالى الله عن ذلك علوًّا كبيرًا

Dan kita mengakui bahwa Allah subhanahu wa ta’ala istawaa ‘ala al-‘Arsy tanpa ada kebutuhan terhadapnya dan tanpa istiqrar (menetap) di atasnya. Dan Dia yang menjaga ‘Arsy dan selain ‘Arsy tanpa ada kebutuhan. Andai Dia memerlukan (sesuatu), pasti Dia tidak mampu menciptakan alam dan mengaturnya seperti makhluk. Andai Dia perlu duduk dan menetap, lalu sebelum penciptaan ‘Arsy di mana Allah berada?! Mahatinggi Allah dari hal itu setinggi-tingginya. (al-Washiyyah, Abu Hanifah, hlm 2; Syarh al-Fiqh al-Akbar, Mulla ‘Ali al-Qari, hlm 70).

Abu Bakr al-Baqillani al-Maliki (338-402 H)

✅ Beliau bergelar Syaikh as-Sunnah, menjelaskan :

أنه تعالى متقدس عن الاختصاص بالجهات، والاتصاف بصفات المحدثات، وكذلك لا يوصف بالتحول، والانتقال، ولا القيام، والقعود ... ولا نقول إن العرش له - أي لله - قرار ولا مكان، لأن الله تعالى كان ولا مكان، فلما خلق المكان لم يتغيّر عما كان" انتهى

Bahwa Dia (Allah) ta’ala Mahasuci dari arah tertentu, dari sifat-sifat makhluk, begitu pula tidak disifati dengan perubahan, perpindahan, berdiri, duduk … Kita tidak mengatakan bahwa ‘Arsy adalah tempat menetap bagi-Nya, karena Allah ta’ala ada dan tak ada tempat, maka ketika mencipta tempat, Dia tak berubah dari sebelumnya. (al-Inshaf, al-Baqillani, hlm 65).

Abu Ishaq az-Zajjaj (241-311 H)

وَالله تَعَالَى عَال على كل شَيْء وَلَيْسَ المُرَاد بالعلو ارْتِفَاع الْمحل لِأَن الله تَعَالَى يجل عَن الْمحل وَالْمَكَان وَإِنَّمَا الْعُلُوّ علو الشَّأْن وارتفاع السُّلْطَان .

Dan Allah ta’ala Mahatinggi atas segala sesuatu. Dan maksud dari al-‘uluww bukanlah ketinggian tempat (arah/bidang), karena sesungguhnya Allah ta’ala Mahaagung dari bidang dan tempat. Tetapi al-‘uluww yang dimaksud adalah ketinggian urusan-Nya dan ketinggian kekuasaan. (Tafsir Asma-illah al-Husna, Abu Ishaq Ibrahim bin as-Sariy az-Zajjaj), hlm 61).

Mar’i bin Yusuf al-Karmi al-Maqdisi al-Hambali (wafat 1033 H)

وَجُمْهُور أهل السّنة مِنْهُم السّلف وَأهل الحَدِيث على الْإِيمَان بهَا وتفويض مَعْنَاهَا المُرَاد مِنْهَا إِلَى الله تَعَالَى وَلَا نفسرها مَعَ تنزيهنا لَهُ عَن حَقِيقَتهَا 

Dan mayoritas Ahlus-Sunnah - diantara mereka adalah salaf dan ahli Hadits - berada di atas iman kepadanya (ayat & hadits sifat khabariyah) dan tafwidh makna yang dimaksudkannya kepada Allah ta’ala, dan kita tidak menafsirkannya, disertai tanzih (menyucikan-Nya) dari hakikat (makna lahiriah) nya. (Aqawil ats-Tsiqat fi Ta-wil al-Asma wa ash-Shifat, Mar’i bin Yusuf al-Hambali, hlm 60).

✅ Jadi menurut Syaikh Mar'i mayoritas Ahlus Sunnah memilih tafwidh makna, berarti minoritas memilih ta-wil. Ada di mana posisi mereka yang membid'ahkan tafwidh makna dan ta-wil sekaligus?? Wallahu a'lam.

Ta-wil Sejumlah Sahabat dan Tabi'in :

يَقُولُ تَعَالَى ذِكْرُهُ {يَوْمَ يُكْشَفُ عَنْ سَاقٍ} [القلم: 42] قَالَ جَمَاعَةٌ مِنَ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ مِنْ أَهْلِ التَّأْوِيلِ: يَبْدُو عَنْ أَمْرٍ شَدِيدٍ

Allah ta’ala berfirman (yang artinya): “Pada hari betis disingkap” (QS. Al-Qalam: 42). Sejumlah sahabat Nabi ﷺ dan tabi’in dari kalangan ahli tafsir berkata: “tampaknya urusan yang dahsyat” (Tafsir ath-Thabari, 23/186).

✅ Apakah penggunaan makna majazi pada sesuatu pasti ada makna hakiki padanya? Lihat:

Posting Komentar untuk "Sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala (A-007 Bagian 12)"