Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala (A-007 Bagian 11)


📚 Konsistensi memegang makna lahiriah itu terletak pada ungkapan “بذاته” (dengan Dzat-Nya) pada semua dalil tentang “di mana Allah”. Jika tidak, pada hakikatnya telah melakukan ta-wil.

✅ Mereka yang berkeyakinan bahwa Dzat Allah berada di atas ‘Arsy selalu menyatakan bahwa mereka tidak pernah beralih dari makna lahiriyah terkait sifat-sifat Allah. Oleh karena itu, pada ayat tentang istiwa, atau ayat yang menunjukkan Allah bertempat di atas hamba-Nya, meraka selalu menambahkan tambahan keterangan “بذاته dengan Dzat-Nya” untuk menegaskan makna lahiriah yang mereka ambil.

✅ Seharusnya prinsip ini berlaku juga pada ayat atau hadits yang secara lahiriyah menyatakan bahwa Allah tidak berada di langit, misalnya hadits yang menyatakan bahwa Allah di depan wajah orang yang shalat (HR. Muslim no 547) sebagaimana telah disebutkan di Sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala (A-007 Bagian 10), atau ayat yang artinya “Kami lebih dekat kepadanya (hamba) dari pada urat lehernya” (QS. Qaf: 16).

✅ Sebetulnya ayat-ayat yang menyebutkan tentang istiwa dan yang sejenisnya tidak pernah sama sekali menyebutkan kata “ذاته Dzat-Nya” atau “بذاته dengan Dzat-Nya”, tetapi mereka menambahkan dalam penafsiran bahwa yang istiwa adalah Dzat Allah, atau yang berada di atas ‘Arsy adalah Allah dengan Dzat-Nya, untuk menegaskan bahwa yang dimaksudkan adalah istiwa dengan makna lahiriah sesuai kamus bahasa, dan yang berada di atas ‘Arsy adalah Dzat Allah.

✅ Tetapi mereka menghindari kata “ذاته Dzat-Nya” atau “بذاته dengan Dzat-Nya” dalam menafsirkan hadits “Allah di depan wajah orang yang shalat” atau pada ayat “Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya”. 

✅ Mereka menafsirkannya dengan konteks kalimat pada ayat atau hadits di atas untuk menghindari kata-kata tersebut, atau menafsirkannya dengan ayat atau hadits lain. Tapi anehnya sebagian mereka menolak dikatakan telah melakukan ta-wil, sebagian yang lain lebih berani mengakui bahwa ini adalah ta-wil, tapi ta-wil yang benar, bukan ta-wil mu’aththilah (pihak yang mendisfungsikan sifat Allah) atau ta-wil ahli bid’ah. Dan yang mereka maksudkan diantaranya adalah Asy’ariyah dan Maturidiyah.

📕 Tafsir Surat Qaf ayat 16

✅ Ibnu Taimiyah menyebutkan :

فَقَوْلُهُ: {وَنَحْنُ أَقْرَبُ إلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ} هُوَ قُرْبُ ذَوَاتِ الْمَلَائِكَةِ وَقُرْبُ عِلْمِ اللَّهِ مِنْهُ (الفتاوى 5/236)

Firman-Nya (yang artinya): “Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya” ialah dekatnya dzat para malaikat dan kedekatan ilmu-Nya darinya. (Majmu’ al-Fatawa, Ibnu Taimiyah, 5/236).

✅ Mengapa tidak dikatakan: “maksudnya adalah kedekatan Dzat Allah dengan kedekatan yang laik bagi Keagungan-Nya”?? 

✅ Jika konsisten, seharusnya dinyatakan bahwa “Allah dengan hamba-Nya lebih dekat dari urat lehernya itu adalah kedekatan Dzatnya secara hakiki sesuai dengan kelaikan dan keagungan-Nya tanpa perlu diselewengkan maknanya”. 

Bukankah menafsirkan “kedekatan Kami (Allah)” dengan “kedekatan ilmu-Nya” termasuk memalingkan lafal ayat dari makna lahiriyah ke makna kiasan dan itu adalah ta-wil?? 

✅ Ibnu Taimiyah termasuk yang tidak mau menyebutnya ta-wil atau mengambil makna kiasan, karena ia berpendapat tidak ada majaz/kiasan dalam wahyu Allah. Ia menyebutnya hakikat/lahiriah sesuai konteks kalimat, dengan melihat awal ayat dan akhir ayat, atau ayat sebelumnya dan sesudahnya. Padahal yang beliau sebut lahiriyah sesuai konteks kalimat adalah salah satu bentuk ta-wil yang dipahami oleh Asy'ariyah dan Maturidiyah.

✅ Dr. Ziyad bin Hamd al-‘Amir dalam webnya (alukah.net) menyatakan:

بعد التأمُّل في الأقوال السابقة لأهل العلم يترجَّح القول بأن قُرْب الله في هاتين الآيتين هو قُرْبه بعلمه وإحاطته لا بذاته، ولا يمنع ذلك من أن يشمل أيضًا قُرْب ملائكته

Setelah memperhatikan pendapat-pendapat ulama sebelumnya, terlihat pendapat yang kuat bahwa kedekatan Allah pada dua ayat ini adalah kedekatan dengan ilmu-Nya, bukan dengan Dzat-Nya, dan hal itu tidak menghalangi untuk mencakup juga kedekatan malaikat-Nya. (Lihat https://www.alukah.net/sharia/0/128421/#ixzz6ISLHo32e).

✅ Perhatikan bagaimana beliau menegaskan bahwa pada ayat ini kedekatan Allah bukan dengan Dzat-Nya tapi dengan ilmu-Nya. Sekali lagi, ini menunjukkan bahwa pengakuan mereka tentang “ayat atau hadits yang terkait sifat Allah harus dipahami secara lahiriah” tidak dipegang dengan konsisten.

📕 Tafsir Hadits “Allah di depan wajah orang yang shalat”

✅ Ibnu ‘Utsaimin menjelaskan :

يمكن الجمع بين ما ثبت من علو الله بذاته ، وكونه قِبَل المصلي من وجوه :
الأول: أن النصوص جمعت بينهما ، والنصوص لا تأتي بالمحال.
الثاني: أنه لا منافاة بين معنى العلو والمقابلة ، فقد يكون الشيء عالياً وهو مقابل ، لأن المقابلة لا تستلزم المحاذاة ، ألا ترى أن الرجل ينظر إلى الشمس حال بزوغها فيقول : إنها قبل وجهي , مع أنها في السماء ، ولا يعد ذلك تناقضاً في اللفظ ولا في المعنى ، فإذا جاز هذا في حق المخلوق ، ففي حق الخالق أولى .
الثالث : أنه لو فُرض أن بين معنى العلو والمقابلة تناقضاً وتعارضاً في حق المخلوق ؛ فإن ذلك لا يلزم في حق الخالق ، لأن الله تعالى ليس كمثله شيء في جميع صفاته ، فلا يقتضي كونه قِبل وجه المصلي ، أن يكون في المكان أو الحائط الذي يصلي إليه ، لوجوب علوه بذاته ، ولأنه لا يحيط به شيء من المخلوقات ، بل هو بكل شيء محيط " .

Memungkinkan untuk mengkompromikan antara yang telah pasti yaitu “ketinggian Allah dengan Dzat-Nya” dengan “Dia di depan wajah orang yang shalat” dengan beberapa penjelasan :

Pertama : Bahwa teks-teks dalil telah menggabungkan keduanya, dan teks dalil tidaklah membawa hal yang mustahil.
Kedua : Tidak ada kontradiksi antara al-‘uluww (ketinggian) dengan al-muqabalah (berhadapan). Mungkin saja sesuatu itu tinggi padahal ia di hadapan karena berhadapan tidak mesti sejajar. Tidakkah anda melihat seseorang yang memandang ke matahari saat terbit, lalu ia berkata: “matahari di hadapan wajahku” meskipun ia di atas langit, ini tidaklah kontradiktif baik dalam lafal maupun makna. Jika hal itu bisa terjadi pada makhluk, maka pada al-Khaliq lebih mungkin lagi.
Ketiga : Andai antara al-‘uluww dengan al-muqabalah dianggap kontradiktif untuk makhluk, maka kontradiksi ini tidak berlaku untuk al-Khaliq, karena Allah ta’ala tidaklah sama dengan suatu apapun dalam seluruh sifat-Nya, sehingga Dia ada di hadapan muka orang yang shalat tidak berarti Dia di tempat atau di arah dinding di mana orang itu shalat, karena sudah pasti Dia tinggi dengan Dzat-Nya, juga karena tidak ada makhluk yang melingkupi-Nya, bahkan Dialah yang melingkupi segala sesuatu.

(Majmu’ Fatawa wa Rasail al-‘Utsaimin, 4/51). 

✅ Penjelasan beliau justru menunjukkan bahwa mengambil makna lahiriah dari kedua dalil tersebut sekaligus yaitu dengan menambahkan kata “dengan Dzat-Nya” pada keduanya adalah hal yang mustahil. Di mana beliau dengan meyakinkan mengambil makna lahiriah ketinggian Allah di atas ‘Arsy melalui ungkapan “Mengkompromikan antara yang telah pasti yaitu “ketinggian Allah dengan Dzat-Nya”…”. 

✅ “Dengan Dzat-Nya” adalah kata kunci dari makna lahiriah. 

✅ Namun saat menjelaskan hadits “Allah di depan muka orang yang shalat”, kata kunci itu sama sekali tidak keluar. Artinya beliau menghindar dari makna lahiriah itu sendiri alias ta-wil. Sebab menggunakan penjelasan “dengan Dzat-Nya” pada kedua dalil tersebut sekaligus, berarti jatuh kepada pemahaman “Allah dengan Dzat-Nya ada di berbagai tempat atau di mana-mana” yang disepakati batil oleh Ahlussunnah wal Jama’ah. 
Sedangkan tiga poin yang diungkapkan hanyalah untuk menyamarkan upaya menghindar yang beliau lakukan dan sekaligus mengesankan bahwa beliau tetap berpegang dengan makna lahiriahnya. 

📕 Penjelasan Mereka tentang Hadits Nuzul

✅ Kalau terhadap “Allah berada di atas ‘Arsy dengan Dzat-Nya” mereka menyatakan tidak ada perbedaan pendapat di kalangan salaf, lain halnya dengan hadits nuzul, mereka menyebutkan bahwa Ahlus Sunnah wal Jama’ah berbeda pendapat tentang tambahan kata “بذاته dengan Dzat-Nya”.

✅ Muhammad bin ‘Ali al-Ghabasyi di https://www.alukah.net/sharia/0/131782/ menyebutkan bahwa Ahlus Sunnah sepakat menetapkan sifat Allah “nuzul” sesuai hakikatnya, namun berbeda pendapat tentang tambahan kata “بذاته dengan Dzat-Nya” menjadi tiga kelompok:  

1. ada yang menggunakannya,

2. ada yang menolaknya, 

3. dan ada yang mengatakan turun (saja), jangan dikatakan “dengan Dzat-Nya", tapi jangan pula dikatakan “tidak dengan Dzat-Nya”, tapi diam saja tidak menambahkan apapun. 

✅ Kemudian al-Ghabasyi menukil pendapat Ibnu Taimiyah bahwa beliau menerima makna (esensi) lafal tambahan tersebut meskipun mengakui tidak ada riwayat yang shahih dari Nabi ﷺ.

✅ Al-Ghabasyi juga mengutip dari Ibnul Qayyim, murid Ibnu Taimiyyah sendiri yang mentarjih pendapat ketiga :

ولعل إثبات النزول مع الإمساك عن القول بذاته أو بغير ذاته هو الأقرب؛ تمشيًا مع النصوص 

Semoga penetapan nuzul (sebagai sifat Allah) disertai menahan diri dari ucapan “dengan Dzat-Nya” atau “tanpa Dzatnya” lebih dekat (kepada kebenaran), sejalan dengan nash-nash (yang ada). (Mukhtashar al-‘Uluww, hlm 18).

✅ Kalau nuzul mereka yakini sebagai sifat yang hakiki, mengapa mesti ragu atau tidak berani menambahkan penjelasan “dengan Dzat-Nya”?! Kalau alasannya karena teks haditsnya tidak menyebutkan alias menyesuaikan nash, mengapa alasan ini tidak diterapkan pada ayat tentang “istiwa Allah” dan ayat tentang “Allah di atas ‘Arsy” ?!

✅ Ini juga contoh “tidak konsisten” lain dalam penerapan prinsip dan kaidah.

✅ Kontradiksi atau inkonsistensi seperti ini akan sering kita temukan pada tafsir mereka di berbagai ayat atau hadits tentang sifat-sifat Allah seperti yang telah dijelaskan pada materi-materi sebelumnya. Penyebabnya adalah kaidah dan prinsip yang mereka buat sendiri, terutama “berpegang teguh kepada makna lahiriah sesuai kamus bahasa dari sifat Allah”, “menolak untuk memasukkan perbedaan pendapat dalam masalah ta-wil menggunakan makna kiasan sebagai perbedaan yang dapat ditoleransi diantara aswaja”, sementara mereka sendiri melakukan ta-wil, dan menuduh yang tidak seperti mereka pasti melakukan ta-wil yang sesat yang mereka sebut dengan tahrif (penyelewengan) dan ta’thil (melakukan disfungsi ayat/hadits sifat) dan otomatis keluar dari aswaja. 

✅ Andai manhaj mereka ini benar-benar manhaj salaf seratus persen dan manhaj yang lain bukan salaf, tentu inkonsistensi ini tak kan terjadi. Sebab salaf shalih adalah generasi terbaik ummat ini yang mendapat bimbingan dari Allah ta'ala.

Ya Allah, ampuni dan cucurkanlah rahmatMu kepada seluruh kaum muslimin baik yang masih hidup maupun yang telah wafat, salaf maupun khalaf. Aamiin.

Posting Komentar untuk "Sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala (A-007 Bagian 11)"