Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menghormati Madzhab Fiqih Mayoritas Penduduk (F-005)


✅ Yang dimaksud dengan madzhab fiqih mayoritas penduduk dalam hal ini adalah salah satu dari sekian madzhab yang mu’tabar (diakui) menurut Ahlu As-Sunnah wa Al-Jama’ah, terutama empat madzhabnya yakni Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali, di mana perbedaan pendapat di antara empat madzhab tersebut adalah perbedaan yang mu’tabar dan sah. 
Dan untuk Indonesia, mayoritas ulamanya mendalami dan mengajarkan fiqih madzhab Syafi’i kepada masyarakat.

📖 Dalil yang menunjukkan penghormatan kepada madzhab mayoritas penduduk diantaranya adalah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

اَلصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ، وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ، وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ

Berpuasa adalah pada hari di mana kalian berpuasa, idul fitri adalah hari kalian beridul fitri, dan idul adha adalah hari kalian beridul adha (berqurban). (HR. At-Tirmidzi, Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra,  Ad-Daraquthni – shahih).

✅ Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullah menjelaskan makna hadits ini:

وَفَسَّرَ بَعْضُ أَهْلِ العِلْمِ هَذَا الحَدِيثَ، فَقَالَ: إِنَّمَا مَعْنَى هَذَا أَنَّ الصَّوْمَ وَالفِطْرَ مَعَ الجَمَاعَةِ وَعُظْمِ النَّاسِ .

Dan sebagian ulama menafsirkan hadits ini, dengan perkataan: “Yang dimaksud adalah bahwa berpuasa dan beridul fitri itu bersama jamaah dan mayoritas masyarakat.”

Dari hadits dan penjelasannya terlihat bahwa penghormatan terhadap pendapat mayoritas masyarakat – selama bukan kesesatan – adalah bagian dari arahan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan pendapat salah satu madzhab fiqih yang mu’tabar bukanlah kesesatan. Bahkan untuk masalah-masalah yang berkaitan erat dengan syiar persatuan dan kebersamaan, seperti puasa Ramadhan, idul fitri dan idul adha, penghormatan itu diarahkan sampai pada tingkat mengikuti pendapat mayoritas masyarakat muslim dan meninggalkan pendapat sendiri, bukan sekedar menghargai lalu tetap melaksanakan pendapat sendiri atau pendapat minoritas. Apalagi jika pendapat mayoritas ini dikuatkan dengan keputusan dari pihak yang berwenang.

🎯 Praktek Salaf Shalih dan Para Ulama Besar

✅ Sikap ‘Umar bin Abdul ‘Aziz rahimahullah

Khalifah ‘Umar bin Abdul ‘Aziz menetapkan dan mengumumkan ketetapannya ke seluruh wilayah khilafah saat itu:

لِيَقْضِ كُلُّ قَوْمٍ بِمَا اجْتَمَعَ عَلَيْهِ فُقَهَاؤُهُمْ 

Hendaklah setiap kaum memutuskan perkara (diantara mereka) dengan kesepakatan dari ahli fiqih mereka masing-masing. (Diriwayatkan oleh Ad-Darimi dalam Sunannya).

Zuraiq bin Hakim rahimahullah menulis surat kepada Umar bin Abdul Aziz saat ia menjadi gubernur Syam:

إِنَّكَ كُنْتَ تَقْضِي بِالْمَدِينَةِ بِشَهَادَةِ الشَّاهِدِ الوَاحِدِ وَيَمِينِ صَاحِبِ الحَقِّ، فَكَتَبَ إِلَيْهِ عُمَرُ بنُ عَبْدِ العَزِيزِ: إِنَّا كُنَّا نَقْضِي بِذَلِكَ بِالْمَدِينَةِ، فَوَجَدْنَا أَهْلَ الشَّامِ عَلَى غَيْرِ ذَلِكَ، فَلَا نَقْضِي إِلَّا بِشَهَادَةِ رَجُلَيْنِ عَدْلَيْنِ، أَوْ رجُلٍ وَامْرَأَتَيْنِ

“Sesungguhnya engkau dulu di Madinah memutuskan (perkara) dengan kesaksian seseorang dan sumpah dari pemilik hak.”
Maka Umar bin Abdul Aziz menulis balasannya: “Sesungguhnya kami sebelumnya memutuskan seperti itu di Madinah, lalu kami menemukan penduduk Syam tidak seperti itu. Maka kami tidak memutuskan kecuali dengan kesaksian dua orang laki-laki yang terpercaya atau dengan kesaksian seorang laki-laki dan dua orang perempuan (mengikuti kebiasaan penduduk Syam).” (I’lam Al-Muwaqqi’in, Ibnul Qayyim, 3/97).

Hal tersebut menunjukkan bahwa Umar bin Abdul Aziz amat peduli untuk TIDAK MENGUBAH kebiasaan suatu masyarakat selama kebiasaan itu tetap dalam bingkai syariat.

✅ Sikap Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah

Saat Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur hendak menyatukan kaum muslimin dari berbagai wilayah dengan pendapat Al-Imam Malik, beliau menolak dan menyatakan:

فَإِنْ ذَهَبْتَ تُحَوِّلُهُمْ مِمَّا يَعْرِفُونَ إِلَى مَا لَا يَعْرِفُونَ رَأَوْا ذَلِكَ كُفْرًا وَلَكِنْ أَقِرَّ أَهْلَ كُلِّ بَلْدَةٍ عَلَى مَا فِيهَا مِنَ العِلْمِ.

Jika Anda pergi mengubah dari apa yang mereka kenal menjadi apa yang tidak mereka kenal, mereka akan menganggapnya kufur. Akan tetapi, akuilah setiap negeri atas ilmu yang ada pada penduduknya masing-masing. (Al-Jarh wa At-Ta’dil, Ibnu Abi Hatim, hlm 29).

✅ Sikap Ibnu Abdil Bar rahimahullah

Ibnu Abdil Bar mengemukakan alasan mengapa ia mengandalkan riwayat Yahya bin Yahya dalam melakukan syarah terhadap kitab Al-Muwatha karya Al-Imam Malik rahimahullah:

إِنَّمَا اعْتَمَدْتُ عَلَى رِوَايَةِ يَحْيَى بْنِ يَحْيَى خَاصَّةً لِمَوْضِعِهِ عِنْدَ أَهْلِ بَلَدِنَا مِنَ الثِّقَةِ وَالدِّينِ وَالفَضْلِ وَالعِلْمِ وَالفَهْمِ، وَلِكَثْرَةِ اسْتِعْمَالِهِمْ لِرِوَايَتِهِ، وِرَاثَةً عَنْ شُيُوخِهِمْ وَعُلَمَائِهِمْ، فَكُلُّ قَوْمٍ يَنْبَغِي لَهُمُ امْتِثَالُ طَرِيقِ سَلَفِهِمْ فِيمَا سَبَقَ لَهُمْ مِنَ الخَيْرِ، وَسُلُوكُ مِنْهَاجِهِمْ فِيمَا احْتَمَلُوهُ عَلَيْهِ مِنَ البِرِّ، وَإِنْ كَانَ غَيْرُهُ مُبَاحاً مَرْغُوباً فِيهِ. 

Yang membuat aku mengandalkan riwayat Yahya bin Yahya secara khusus adalah karena posisi beliau yang terhormat di mata penduduk negeri kami dari sisi kepercayaan mereka terhadapnya, keagamaan, kelebihan, ilmu, dan pemahaman beliau. Juga karena para penduduk banyak menggunakan riwayatnya sebagai warisan dari para syaikh dan ulama mereka. Maka setiap kaum hendaklah mempraktekkan cara pendahulu mereka yang baik dan menempuh metode kebajikan yang telah mereka bawa selama ini, meskipun cara dan metode yang lain boleh atau menarik. (At-Tamhid, Ibnu Abdil Bar, 1/10).

✅ Sikap Abu Umar Ahmad bin Abdullah bin Hasyim rahimahullah, guru Ibnu Abdil Bar

Dalam masalah mengangkat tangan saat berpindah gerakan dalam shalat, madzhab Maliki dari riwayat Ibnu Al-Qasim rahimahullah adalah tidak mengangkat tangan sama sekali kecuali saat takbiratul ihram, berdasarkan riwayat dari sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Sementara mengangkat tangan berdasarkan riwayat Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma.

Abu Umar Ahmad bin Abdullah memuji gurunya yaitu Abu Ibrahim Ishaq bin Ibrahim rahimahullah  yang mengangkat tangan tidak hanya saat takbiratul ihram karena mengikuti hadits riwayat Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma.

Namun, ketika Ibnu ‘Abdil Bar bertanya kepada gurunya mengapa beliau tidak mengangkat tangan seperti “kakek gurunya” sesuai hadits Ibnu Umar? Sang guru menjawab:

لَا أُخَالِفُ رِوَايَةَ ابْنِ القَاسِمِ؛ لِأَنَّ الجَمَاعَةَ عِنْدَنَا اليَوْمَ عَلَيْهَا، وَمُخَالَفَةُ الجَمَاعَةِ فِيمَا قَدْ أُبِيحَ لَنَا لَيْسَ مِنْ شِيَمِ الأَئِمَّةِ 

Aku tidak akan menyalahi riwayat Ibnu Al-Qasim, alasannya karena jamaah (masyarakat) hari ini mengikuti beliau. Dan menyalahi jamaah dalam hal yang kita telah diperbolehkan mengamalkannya (maksudnya dalam maslah furu’) bukanlah sikap para imam. (Al-Istidzkar, Ibnu Abdil Bar, 1/408-409).

✅ Sikap Ibnu Taimiyah rahimahullah

Ketika membahas bacaan basmalah dalam Al-fatihah di dalam shalat, apakah dibaca keras atau tidak dst .. Ibnu Taimiyah menyelingi dengan satu adab fiqih dengan menyatakan:

وَيُسْتَحَبُّ لِلرَّجُلِ أَنْ يَقْصِدَ إِلَى تَأْلِيفِ هَذِهِ الْقُلُوبِ بِتَرْكِ هَذِهِ الْمُسْتَحَبَّاتِ؛ لِأَنَّ مَصْلَحَةَ التَّأْلِيفِ فِي الدِّينِ أَعْظَمُ مِنْ مَصْلَحَةِ فِعْلِ مِثْلِ هَذَا 

Disukai bagi seorang (imam) untuk menyengaja mengakrabkan hati (mayoritas jamaah) dengan meninggalkan (yang ia yakini mustahab/sunnah), karena maslahat keakraban (ukhuwah) di dalam agama ini lebih agung dari pada maslahat melakukan hal seperti ini (yang mustahab tsb). (Al-Qawa’id An-Nuraniyah Al-Fiqhiyah, Ibnu Taimiyah, hlm 46).

Dari ucapan dan sikap para ulama besar yang teramat memahami Al-Quran dan Hadits di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa madzhab atau pendapat mayoritas masyarakat dalam hal-hal yang tidak sesat, atau dalam hal yang memang diperbolehkan terjadi perbedaan pendapat lalu mayoritas masyarakat menganut salah satu diantaranya, maka sikap yang baik adalah menghormati mereka.

🎯 Prinsipnya adalah:
عَدَمُ التَّشْوِيشِ عَلَى النَّاسِ وَإِثَارَةِ الفِتْنَةِ بَيْنَهُمْ
Tidak mengganggu ketenangan masyarakat dan tidak memancing kegaduhan di tengah masyarakat.

Ini adalah prinsip umum yang harus didahulukan dari maslahat mengamalkan perbuatan yang kita anggap sunnah atau mustahab namun masyarakat tidak memahaminya atau membutuhkan waktu untuk memahaminya.

✅ Prinsip ini diambil dari sikap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang tidak memugar Ka’bah sesuai bangunan Nabi Ibrahim alaihissalam. Beliau membiarkannya karena jika dilakukan pemugaran akan memancing kegaduhan masyarakat Quraisy. Beliau bersabda kepada ‘Aisyah radhiyallau ‘anha:

«يَا عَائِشَةُ، لَوْلاَ قَوْمُكِ حَدِيثٌ عَهْدُهُمْ - بِكُفْرٍ - لَنَقَضْتُ الْكَعْبَةَ فَجَعَلْتُ لَهَا بَابَيْنِ بَابٌ يَدْخُلُ النَّاسُ، وَبَابٌ يَخْرُجُونَ» (رواه البخاري ومسلم)

Wahai Aisyah, kalau bukan karena kaummu belum lama kafir, pasti telah kuubah Kabah, aku jadikan dua pintu, satu pintu untuk orang-orang masuk, satu pintu untuk mereka keluar. (HR. Al-Bukhari & Muslim).

✅ Juga dari ucapan Khalifah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu:

حَدِّثُوا النَّاسَ بِمَا يَعْرِفُونَ، أتُحِبُّونَ أنْ يُكَذَّبَ اللهُ وَرَسُولُهُ ؟!

Bicaralah kepada masyarakat dengan hal yang mereka kenal (mereka mudah memahami), apakah kalian ingin Allah dan Rasul-Nya didustakan?! (Diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari  dalam Shahihnya).

Ungkapan beliau “apakah kalian ingin Allah dan Rasul-Nya didustakan?!” menunjukkan bahwa meskipun yang kita sampaikan adalah ayat Al-Quran atau Hadits Rasul yang tentu saja baik, namun jika hal itu belum dapat dimengerti oleh masyarakat, atau perlu waktu bagi mereka untuk memahaminya, maka hendaklah kita hindari, paling tidak bertahap menyampaikannya. Karena bila kita sembrono, mungkin yang terjadi adalah ayat atau hadits itu didustakan.

Membiarkan masyarakat mengamalkan amalan dari madzhab yang mu’tabar akan membuat potensi para da’i dan pemimpin lebih fokus dalam membangun hal-hal lain yang diperlukan oleh ummat. 

Posting Komentar untuk "Menghormati Madzhab Fiqih Mayoritas Penduduk (F-005)"