Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala (A-007 Bagian 8)

📚 Ayat yang Diperselisihkan Oleh Sesama Para Tokoh yang Tegas Menyatakan Sebagai Pelaku “Itsbat” (menetapkan) Makna Lahiriyah Sesuai Kamus Bahasa terhadap Sifat Khabariyah

Allah ta’ala berfirman :

أَنْ تَقُولَ نَفْسٌ يَاحَسْرَتَا عَلَى مَا فَرَّطْتُ فِي جَنْبِ اللَّهِ وَإِنْ كُنْتُ لَمِنَ السَّاخِرِينَ

Supaya jangan ada orang yang mengatakan: "Amat besar penyesalanku atas kelalaianku dalam (menunaikan kewajiban) terhadap Allah, sedang aku sesungguhnya termasuk orang-orang yang memperolok-olokkan (agama Allah). (QS. Az-Zumar: 56).

✅ Terjemah “dalam menunaikan hak Allah” atau “dalam menunaikan kewajiban terhadap Allah” adalah makna kiasan dari redaksi aslinya في جنب الله. 

Apa makna lahiriyah al-janbu menurut kamus bahasa?

✅ Disebutkan dalam kamus Lisan al-‘Arab :

الجَنْبُ والجَنَبةُ والجانِبُ : شِقُّ الإِنْسانِ وغيره ... وجُنِب الرَّجُلُ: شَكا جانِبَه. وضَرَبَه فجنَبَه أَي كسَرَ جَنْبَه أَو أَصاب جَنْبَه (لسان العرب 1/275)

“al-janbu, al-janabatu, al-janibu" : bagian samping (sisi) tubuh manusia dan selain manusia. “juniba ar-rajulu" : seorang laki-laki mengeluhkan sakit di bagian sisi tubuhnya. “dharabahu fajanabahu” : dia memukulnya hingga mematahkan sisi tubuhnya atau mengenai sisi tubuhnya. (Lisan al-‘Arab, 1/275).

✅ Asy’ariyah dan Maturidiyah sepakat bahwa makna lahiriyah tersebut mustahil menjadi sifat dari Dzat Allah ta’ala. 

✅ Sedangkan para pelaku itsbat makna lahiriyah berbeda pendapat apakah al-janbu adalah sifat Allah atau bukan.

📎 Ta-wil Beberapa Ulama Tafsir

Para ahli tafsir tidak mengambil makna lahiriyahnya, mereka memilih ta-wil (mengambil makna kiasan) dari ungkapan جنب الله, mereka menafsirkannya dengan hak Allah, baik berupa iman, taat, amal shalih dan makna lain yang sejalan dengannya, berdasarkan makna yang tampak jelas (zhahir) sesuai konteks kalimat dan bahwa ia tidak termasuk sifat Allah. 

Diantara mereka adalah:

📕 Ath-Thabari

على ما ضيعت من العمل بما أمرني الله به، وقصرت في الدنيا في طاعة الله. وبنحو الذي قلنا في ذلك قال أهل التأويل.

(Amat besar penyesalanku) atas amal yang diperintahkan Allah yang telah aku sia-siakan di dunia di dalam taat kepada Allah. Dan para ahli tafsir berpendapat sama seperti yang kami katakan. (Tafsir ath-Thabari, 21/314). 

📕 Ibnu Katsir

أي: يوم القيامة يتحسر المجرم المفرط في التوبة والإنابة، ويود لو كان من المحسنين المخلصين المطيعين لله عز وجل.

Maksudnya: pada hari kiamat pendosa yang melalaikan taubat dan inabah akan menyesal, dan ia akan berangan-angan seandainya ia termasuk orang-orang baik, ikhlas dan taat kepada Allah azza wajalla. (Tafsir Ibnu Katsir, 7/110).

📕 Al-Qurthubi

قَالَ الْحَسَنُ: فِي طَاعَةِ اللَّهِ. وَقَالَ الضَّحَّاكُ: أَيْ فِي ذِكْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ. قَالَ: يَعْنِي الْقُرْآنَ وَالْعَمَلَ بِهِ. وَقَالَ أَبُو عُبَيْدَةَ: فِي جَنْبِ اللَّهِ أَيْ فِي ثَوَابِ اللَّهِ ...  

Al-Hasan telah berkata: di dalam ketaatan kepada Allah. Adh-Dhahhak berkata: di dalam mengingat Allah yaitu Al-Qur’an dan mengamalkannya. Abu ‘Ubaidah berkata : fi janbillah maksudnya di dalam (meraih) pahala dari Allah… (Tafsir al-Qurthubi, 15/271).

📎 Perbedaan Pendapat Para Tokoh yang Menetapkan (Itsbat) Makna Lahiriyah Sesuai Kamus Bahasa

✅ Meskipun para tokoh itsbat makna lahiriyah memiliki beberapa kaidah yang sama tentang sifat Allah yang ditetapkan oleh Ibnu Taimiyah, namun mereka berbeda pendapat tentang beberapa nash Al-Qur’an dan Hadits tentang sifat khabariyah. 

✅ Diantara kaidah yang mereka gunakan :

القول في بعض الصفات كالقول في بعضها الآخر

Ucapan (penjelasan) tentang salah satu sifat sama seperti penjelasan tentang sifat yang lain.

✅ Kaidah ini biasanya mereka gunakan untuk membantah Asy’ariyah dan Maturidiyah yang menerima makna lahiriyah dari sifat ma’ani seperti pendengaran dan penglihatan, tapi menolak makna lahiriyah dari sifat khabariyah seperti tangan, kaki, pinggang dan lainnya.

✅ Meskipun memiliki kaidah tersebut, mereka tetap berbeda pendapat tentang "bagian sisi" (al-janbu) apakah ia sifat dari Dzat Allah secara lahiriyah atau bukan.

✅ Diantara mereka yang menetapkan al-janbu sifat Allah adalah Abu ‘Umar ath-Thalamanki, Muhammad Shiddiq Hasan Khan dan ‘Abdul ‘Aziz bin Baz.
 
✅ Sementara yang menolaknya adalah mayoritas diantara mereka, seperti ad-Darimi, Ibnu Taimiyah dan muridnya: Ibnul Qayim, Abu Ya’la al-Farra,  dan ‘Alawi bin ‘Abdul Qadir as-Saqqaf. 

✅ Sebetulnya sikap Ibnu Taimiyah sendiri masih diperdebatkan. Dr. Ziyad bin Hamd al-‘Amir menyebutkan bahwa ada kemungkinan Ibnu Taimiyah menetapkan al-janbu sebagai sifat Allah (lihat: https://www.alukah.net/sharia/0/129225/). Namun mayoritas mereka menyatakan sebaliknya. Dalam tulisan ini kami memasukkan Ibnu Taimiyah menurut pendapat mayoritas.

📕 Yang Menetapkan الجنب sebagai Sifat dari Dzat Allah.

Abu ‘Umar ath-Thalamanki

Adz-Dzahabi mengisyaratkan bahwa Abu ‘Umar ath-Thalamanki menetapkan “bagian sisi” sebagai sifat Allah:

رأيت له كتابا في السنة في مجلدين عامته جيد، وفي بعض تبويبه ما لا يوافق عليه أبدا مثل: باب الجنب لله

Aku telah melihat sebuah kitab karya beliau tentang as-Sunnah dalam dua jilid, secara umum baik. Pada beberapa bab-nya ada yang tak disepakati seperti “bab tentang (sifat) al-janbu bagi Allah”. (Siyar A’lam an-Nubala, 13/220).

Abu Ya’la al-Farra juga menyebutkan riwayat dari salah seorang gurunya, Abu ‘Abdillah, bahwa sekelompok sahabat beliau mengambil makna lahiriyah dari ayat (az-Zumar: 56) dalam menetapkan al-janbu sebagai sifat Allah. (Ibthal at-Ta-wilat, Abu Ya’la, 2/427).

Shiddiq Hasan Khan

ومن صفاته سبحانه: اليد واليمين والكف والإصبع والشمال والقدم والرجل والوجه والنفس والعين والنزول والإتيان والمجيء والكلام والقول والساق والحقو والجنب والفوق والاستواء ..

Dan diantara sifat-sifatNya yang Mahasuci : tangan, kanan, telapak tangan, jari jemari, kiri, tungkai kaki, kaki, wajah, diri, mata, turun, datang dengan kuat, datang, firman, ucapan, betis, pinggang, bagian sisi, arah atas, bersemayam … (Qatfu ats-Tsamar fi Bayan ‘Aqidah Ahli al-Atsar, Muhammad Shiddiq Hasan Khan, hlm 70-71). 

‘Abdul ‘Aziz bin Baz

قوله سبحانه وتعالى : " يَاحَسْرَتَا عَلَى مَا فَرَّطْتُ فِي جَنْبِ اللَّهِ" يستفاد منه:
1 - أن المراد حسب سياق الآية أي في حق الله وما يستحقه على عباده
2 - إثبات الصفة الذاتية بالجنب لله تعالى يليق بجلاله جل وعلا

FirmanNya subhanahu wata’ala (yang artinya) “Amat besar penyesalanku atas kelalaianku dalam (menunaikan kewajiban) terhadap Allah” dapat diambil faidah darinya:

1.  Bahwa maksudnya sesuai konteks ayat adalah “dalam hak Allah dan yang menjadi kewajiban hamba-hambaNya.
2.  Penetapan sifat dzatiyah yaitu bagian sisi dari Allah ta’ala yang laik bagi keagunganNya.

(al-Fawaid al-Jaliyyah min Durus asy-Syaikh bin Baz al-‘Ilmiyyah, hlm 14-15).

✅ Ibnu Baz dalam hal ini menggabungkan antara makna zhahir menurut konteks kalimat di dalam ayat dengan makna lahiriyah menurut bahasa sehingga beliau tetap menetapkan bahwa Allah memiliki al-janb (bagian sisi) sesuai kelaikan-Nya (menggabungkan antara makna hakiki dan kiasan).

📕 Yang Menolak الجنب sebagai Sifat Allah

Ad-Darimi

Ad-Darimi menegaskan pendapat salaf dalam bantahannya atas al-Muraisi:

إنما تفسيرها عندهم: تحسر الكفار على ما فرطوا في الإيمان والفضائل التي تدعو إلى ذات الله تعالى، واختاروا عليها الكفر والسخرية بأولياء الله، فسماهم الساخرين، فهذا تفسير (الجنب) عندهم، فمن أنبأك أنهم قالوا: جنب من الجنوب؟!. فإنه (لا) يجهل هذا المعنى كثير من عوام المسلمين، فضلاً عن علمائهم.

Tafsir mereka terhadapnya adalah penyesalan orang-orang kafir atas kelalaian mereka dalam iman dan berbagai kebaikan yang menyeru kepada Dzat Allah, dan mereka memilih kekafiran serta mengolok-olok wali Allah, maka Dia menamakan mereka para pengolok-olok. Inilah tafsir al-janbu menurut mereka. Siapa yang memberitahukan kepadamu (wahai al-Muraisi) bahwa mereka mengatakan “bagian sisi” ? Maksud dari ayat ini kaum muslimin yang awam pun tahu, apalagi ulama mereka. (Radd ad-Darimi ‘ala al-Muraisi, hlm 184).

Abu Ya’la al-Farra

Abu Ya’la menyebutkan:

ونقلت من خط أبي حفص البرمكي: قال ابن بطة قوله: بذات الله، أمر الله، كما تقول: في جنب الله، يعني في أمر الله وهذا منه يمنع أن يكون الجنب صفة ذات، وهو الصحيح عندي

Aku telah menukil dari tulisan tangan Abu Hafsh al-Barmaki: Ibnu Baththah telah berkata “terhadap Dzat Allah” “perintah Allah” sebagaimana engkau mengatakan “fi janbillah” artinya dalam perintah Allah. Ungkapan darinya ini menunjukkan larangan menjadikan al-janbu sebagai sifat Allah, dan ini benar menurut saya. (Ibthal at-Ta-wilat, Abu Ya’la, 2/427).

‘Alawi bin ‘Abdul Qadir as-Saqqaf

Dalam website ad-Durar as-Sunniyyah di mana beliau sebagai musyrif 'am (pemimpin redaksinya), disebutkan:

جعل بعضهم (الجنب) صفةً من صفات الله الذاتية، مستدلين بقولـه تعالى: أَنْ تَقُولَ نَفْسٌ يَاحَسْـرَتَا عَلَى مَا فَرَّطْتُ فِي جَنْبِ اللهِ . وهذا خطأ، والسلف على خلاف ذلك.

Sebagian mereka menjadikan al-janbu sifat diantara sifat-sifat dari Dzat Allah berdalil dengan ayat (yang artinya): "Amat besar penyesalanku atas kelalaianku dalam (menunaikan kewajiban) terhadap Allah”. Dan ini adalah kesalahan. Sementara salaf justru menentang hal itu. (https://dorar.net/aqadia/812/-%D8%A7%D9%84%D9%80%D8%AC%D9%86%D8%A8).

Ibnu al-Qayyim

وظاهر القرآن يدل على أنَّ قول القائل "يَاحَسْرَتَا عَلَى مَا فَرَّطْتُ فِي جَنْبِ اللهِ" ليس أنه جعل فعله أو تركه في جنب الله يكون من صفات الله وأبعاضه 

Zhahir (ayat) Al-Quran menunjukkan bahwa maksud orang yang menyatakan “amat besar penyesalanku atas kelalaianku dalam جنب الله” tidak berarti bahwa berbuatnya atau tidak berbuatnya terkait جنب الله membuat al-janbu jadi sifat Allah atau bagian dari-Nya. (ash-Shawa’iq al-Mursalah, 1/250).

Ibnu Taimiyah

لا يُعرف عالم مشهور عند المسلمين، ولا طائفة مشهورة من طوائف المسلمين، أثبتوا لله جنباً نظير جنب الإنسان، وهذا اللفظ جاء في القرآن في قوله: "أَنْ تَقُولَ نَفْسٌ يَاحَسْرَتَا عَلَى مَا فَرَّطْتُ فِي جَنْبِ اللهِ" فليس في مجرد الإضافة ما يستلزم أنْ يكون المضاف إلى الله صفة له ... والتفريط ليس في شيء من صفات الله عزَّ وجلَّ، والإنسان إذ قال: فلان قد فرط في جنب فلان أو جانبه؛ لا يريد به أنَّ التفريط وقع في شيء من نفس ذلك الشخص، بل يريد به أنه فرط في جهته وفي حقه.

Tidak diketahui ada seorang ulama yang terkenal atau kelompok terkenal dari kaum muslimin yang menetapkan “bagian sisi” bagi Allah yang sepadan dengan “bagian sisi” tubuh manusia. Lafal الجنب ini terdapat dalam Al-Qura’an dalam firman-Nya (yang artinya): “supaya jangan ada orang yang mengatakan: "Amat besar penyesalanku atas kelalaianku dalam (menunaikan kewajiban) terhadap Allah”. Bahwa murni idhafah (penyandaran) sesuatu kepada Allah tidak berarti ia menjadi sifat-Nya… Tafrith (sikap lalai) tidak sama sekali menimpa sedikitpun dari sifat Allah azza wajalla. Dan seseorang jika ia berkata: “Si Fulan telah bersikap lalai terhadap “bagian sisi” si fulan” pasti ia tidak bermaksud sikap itu mengenai fisiknya, tapi maksudnya adalah lalai terhadap haknya. (al-Jawab ash-Shahih, Ibnu Taimiyah, 3/145-146).

✅ Ungkapan Ibnu Taimiyah ini sebetulnya bertentangan dengan kaidah yang beliau sebutkan sendiri dalam Fatawa beliau, yaitu:

كَلُّ مَا يُضَافُ إلَى اللَّهِ إنْ كَانَ عَيْنًا قَائِمَةً بِنَفْسِهَا فَهُوَ مِلْكٌ لَهُ وَإِنْ كَانَ صِفَةً قَائِمَةً بِغَيْرِهَا لَيْسَ لَهَا مَحَلٌّ تَقُومُ بِهِ فَهُوَ صِفَةٌ لِلَّهِ

Semua yang diidhafahkan (disandarkan) kepada Allah jika ia adalah benda yang berdiri sendiri maka ia adalah (makhluk) milik-Nya, dan jika ia adalah sifat (sesuatu) yang berdiri pada selainnya, sementara tidak punya media sandaran, maka ia adalah sifat Allah. (Majmu’ al-Fatawa, 9/290-291).

✅ Ibnu Taimiyah mencontohkan yang termasuk makhluk (bukan sifat Allah) adalah unta Allah pada ayat tentang kisah Nabi Shalih, atau rumah Allah (Ka’bah) karena unta dan Ka’bah berdiri sendiri (secara utuh) tidak memerlukan sandaran (bukan bagian). 

Tentunya yang termasuk sifat Allah menurut kaidah ini adalah tangan Allah, karena tidak mungkin tangan berdiri sendiri, tanpa bersandar kepada yang lain (pemiliknya).

✅ Dari kaidah tersebut, seharusnya Ibnu Taimiyah dan yang sependapat dengan kaidahnya, seharusnya menetapkan الجنب sebagai sifat Allah, karena bagian sisi sesuatu memerlukan sesuatu itu sendiri, tak terpisahkan, sebagaimana tangan memerlukan sandaran. Apalagi Ibnu Taimiyah juga dengan tegas menetapkan الحقو al-haqwu atau الحجزة al-hujzah (pinggang) sebagai sifat Allah (lihat Bayan Talbis al-Jahmiyyah 6/205-206), padahal antara bagian sisi dengan pinggang tidak terlalu jauh berbeda.

✅ Alasan Ibnu Taimiyyah menolak al-Janbu sebagai sifat Allah adalah karena perbuatan lalai orang kafir tidak pernah mengenai Allah dan sifat-Nya, dengan demikian al-janbu bukan sifat Allah. 

✅ Alasan ini dapat dijawab dengan ayat Al-Qur’an yang lain tentang “istihza” (perbuatan mengolok-mengolok) Allah, Rasul-Nya dan kalamullah (Al-Quran) yang dilakukan oleh orang-orang munafik.

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ 

Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan manjawab, "Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja". Katakanlah: "Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?" (QS. At-Taubah: 65).

✅ Pada ayat tersebut perbuatan olok-olok orang-orang munafik ditujukan kepada Allah, Rasul-Nya dan ayat-ayat-Nya (kalam-Nya). Apakah berarti olok-olok itu mengenai Dzat Allah dan kalam Allah? Tentu saja tidak. Dan apakah hanya karena alasan olok-olok itu tidak mengenai kalam Allah, lalu kalam tidak termasuk sifat Allah??

✅ Manshur bin ‘Abdul ‘Aziz as-Simari yang melakukan tahqiq, ta’liq, dan takhrij hadits pada kitab Naqd ‘Utsman bin Sa’id (ad-Darimi) ‘ala al-Muraisi al-Jahmi al-‘Anid hlm 518 juga membantah pihak yang menolak al-janbu sebagai sifat Allah.

✅ Inti bantahan beliau adalah : Jika Allah bukan termasuk yang memiliki al-janbu secara hakiki, maka tidak boleh ada ungkapan tentang Allah yang menggunakan istilah al-janbu meskipun bermakna kiasan (lihat penjelasan kaidah ini di materi sebelumnya: https://www.ilmusyariah.com/2020/07/penggunaan-makna-majazi-selalu-ada.html). Dan jika alasan seperti yang diungkapkan Ibnu Taimiyah dibenarkan, maka itu akan menafikan sifat Allah yang lain seperti tangan, dan الهرولة harwalah (berlari-lari kecil).

✅ Jadi, pihak yang menolak al-janbu sebagai sifat Allah sebenarnya telah melakukan ta-wil (meskipun mereka menolak disebut ta-wil) terhadap ayat tentang جنب الله seperti yang dilakukan para ahli tafsir dan juga tokoh-tokoh Asy’ariyah dan Maturidiyah.

✅ Sebaliknya mereka yang menetapkannya sebagai sifat dari Dzat Allah lebih konsisten dengan prinsip dan kaidah yang mereka yakini, meskipun resiko jatuh pada tasybih (penyerupaan dengan makhluk) dan tajsim (penggambaran bentuk tubuh) lebih besar. Bahkan sebagian menilai mereka sudah jatuh pada keduanya.

Posting Komentar untuk "Sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala (A-007 Bagian 8)"